Menantang Hegemoni Dollar AS
Terlalu dini menyimpulkan dollar AS akan tergantikan. Paling tepat jika kita sebut dunia tengah mencari titik ekuilibrium baru. Pembayaran bilateral dengan mata uang lokal upaya mereduksi ketergantungan pada dollar AS.
Langkah Bank Indonesia dan Bank of Korea menyepakati kerja sama penggunaan mata uang lokal untuk transaksi bilateral baru-baru ini menambah daftar panjang upaya dunia menantang hegemoni dollar AS.
Biaya transaksi yang lebih hemat dan mitigasi risiko nilai tukar menjadi alasan mengurangi ketergantungan terhadap greenback (dollar AS).
Upaya itu menggenapi deretan kerja sama serupa yang dilakukan Indonesia. Sebelumnya, kita telah menjalin kesepakatan bilateral dengan lima negara, yakni Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan Singapura. Langkah itu dipercaya akan memperdalam pasar keuangan serta mempermudah transaksi perdagangan dan investasi di negara masing-masing.
Baca juga: ”Dedolarisasi” dalam Perdagangan Bilateral Tuai Sejumlah Tantangan
Sejak meninggalkan standar nilai emas lewat Perjanjian Bretton Woods pada 1944, dollar AS kian perkasa. Dollar AS dipercaya sebagai nilai tukar acuan dan mata uang transaksi internasional. Keperkasaan itu kian terlegitimasi setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) menyetujui penggunaan dollar AS sebagai mata uang transaksi perdagangan minyak mentah pada 1975.
Implikasinya mudah ditebak. Dollar AS jadi primadona cadangan devisa di banyak negara. Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkap, hingga akhir 2022, sekitar 59 persen cadangan devisa bank sentral di dunia didominasi aset berdenominasi dollar AS. Namun, ibarat menaruh telur dalam satu keranjang, ketergantungan dunia terhadap dollar AS juga punya dua efek negatif.
Pertama, rentan tertular krisis. Perekonomian AS pada kenyataannya tidak seperkasa mata uangnya. Hal itu terbukti dari krisis keuangan global 2007-2009, dipicu anjloknya harga surat berharga berbasis kredit perumahan (subprime mortgage) yang menimpa ”Negeri Paman Sam” itu.
Bank Dunia mengestimasi lebih dari 67 negara, sebagian besar di Eropa, mengalami resesi akibat efek rambat krisis keuangan di AS. Dengan kata lain, semakin bergantung pada dollar AS, semakin besar pula risiko eksternal yang mengalir ke dalam perekonomian domestik suatu negara.
Tentu kita masih ingat fenomena kebangkrutan Yunani. Pada 2015, Yunani dicap sebagai negara gagal setelah tidak mampu membayar utangnya sebesar 1,6 juta dollar AS kepada IMF. Ketergantungan terhadap utang berdenominasi dollar AS saat terjadi krisis keuangan dunia menjadi alasan utama kegagalan ”Negeri Para Dewa”.
Penutupan tiga bank besar di AS beberapa waktu lalu membuat banyak negara, termasuk Indonesia, ketar-ketir. Dunia menanti efek rambatnya akan sejauh dan sebesar apa.
Kekhawatiran terjadi krisis lagi kian mengemuka setelah Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan AS berpotensi gagal bayar utang pada 1 Juni 2023 lantaran kehabisan uang untuk membayar kewajibannya.
Ketergantungan terhadap utang berdenominasi dollar AS saat terjadi krisis keuangan dunia menjadi alasan utama kegagalan ”Negeri Para Dewa ”.
Berkaca dari fakta di atas, dedolarisasi diyakini menjadi jalan keluar. Urgensi itu paling tidak diamini oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS), yang tengah berencana menerbitkan mata uang regional seperti euro.
Di antara lima negara tersebut, China ada di barisan paling depan setelah memancang renmimbi sebagai alat pembayaran impor migas dari Rusia, memanfaatkan momentum Perang Rusia-Ukraina.
Kerentanan itulah yang membuat dunia mengurangi ketergantungannya pada dollar AS. Dalam 25 tahun terakhir, IMF mencatat pangsa dollar AS dalam cadangan devisa merosot 12 persen, dari semula 71 persen menjadi 59 persen. Pada sisi sebaliknya, portofolio renmimbi meningkat hingga 9 persen, menyusul agresivitas China membiayai pembangunan di beberapa negara berkembang.
Tak ingin terdampak krisis karena gonjang-ganjing ekonomi AS, banyak negara, termasuk Indonesia, menakar ulang struktur neraca perdagangannya. Melihat kembali daftar negara yang menjadi mitra dagang utama. Kemudian menyepakati penggunaan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan dan investasi secara bilateral.
.
Kedua, faktor biaya. Sistem kuotasi ganda akan berlaku ketika dollar AS digunakan sebagai mata uang transaksi internasional. Eksportir dan importir perlu mengonversi mata uang asalnya ke dalam dollar AS terlebih dahulu sebelum bertransaksi. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi dua kali lipat lebih tinggi. Di samping itu, risiko fluktuasi nilai tukar pun akan terus membayangi.
Kelemahan itu membuat skema local currency transaction (LCT) kian diminati. Lewat LCT, pelaku perdagangan antarnegara cukup menggunakan kuotasi tunggal sehingga biaya transaksi dapat direduksi. Risiko nilai tukar, kendati tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, akan turun karena tidak lagi dibayang-bayangi fluktuasi dollar AS saat bertransaksi.
Ekuilibrium baru
Dari sudut pandang ekonomi, nilai suatu mata uang akan sangat bergantung pada tingkat kepercayaan pengguna (trust). Melorotnya hegemoni dollar AS dalam tiga dekade terakhir menandakan kepercayaan dunia terhadap mata uang itu kian menurun. Pertanyaannya, apakah dollar AS benar-benar akan tergantikan?
Jika menilik bentang sejarah, butuh waktu lebih dari seabad sebelum dominasi mata uang berganti.
Jika menilik bentang sejarah, butuh waktu lebih dari seabad sebelum dominasi mata uang berganti. Tatkala Inggris merajai dunia pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pound sterling menjadi mata uang utama dalam transaksi perdagangan global. Mirip seperti dollar AS pada era modern.
Kepercayaan terhadap pound sterling mulai menurun seusai Perang Dunia II, melahirkan AS sebagai negara adidaya baru. Konstelasi berganti, mata uang dunia beralih. Era globalisasi dimulai, sekat antarnegara kian memudar. Sekat itu perlahan kembali menebal setelah globalisasi mengungkap kelemahannya, berupa krisis multidimensi berulang akibat efek rambat yang begitu cepat.
Kendati penggunaannya menurun, faktanya dollar AS masih mendominasi. Jadi, terlalu dini menyimpulkan dollar AS akan tergantikan. Paling tepat jika kita sebut dunia tengah mencari titik ekuilibrium baru. Ditandai dengan kian gencarnya upaya negara berkembang mempromosikan penggunaan mata uang lokal untuk penyelesaian transaksi bilateral.
Baca juga: Tantangan Dedolarisasi
Buktinya, interkonektivitas pembayaran regional menjadi salah satu agenda utama keketuaan Indonesia pada ASEAN 2023. Indonesia sendiri mencatat peningkatan total nilai transaksi LCT yang cukup signifikan, yakni 52 persen dalam setahun, dari 2,5 miliar dollar AS pada 2021 menjadi 3,8 dollar AS pada 2022.
Pada akhirnya, pembayaran bilateral dengan mata uang lokal turut menjaga rupiah tetap stabil. Kestabilan nilai tukar menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi era inflasi tinggi. Khususnya untuk memitigasi risiko inflasi yang bersumber dari kenaikan harga barang impor (imported inflation).
Di tengah ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian, satu hal yang perlu diupayakan adalah memperkuat resiliensi. Kendati prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan, untuk saat ini, LCT adalah jalan terbaik bagi Indonesia untuk sedikit demi sedikit mereduksi ketergantungan akan dollar AS dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Adhi Nugroho, Kepala Unit Humas Bank Indonesia Kalimantan Selatan