Satgas TPPU Rp 349 Triliun, Antara Harapan dan Capaian
Keberanian Menko Polhukam mengungkap transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 349 triliun dengan dugaan tindak pencucian uang membuat kaget publik. Lalu, transaksi yang bagaimana yang dimaksud transaksi mencurigakan?
Banyak pihak tersentak tatkala mendengar berita tentang transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 349 triliun dengan dugaan tindak pidana pencucian uang atau TPPU yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh Mahfud MD. Kekagetan masyarakat sangatlah dapat dimengerti mengingat nilai transaksi yang begitu besar. Apalagi, yang menyampaikan adalah Menko Polhukam dengan merujuk pada sumber data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Transaksi keuangan mencurigakan
Transaksi yang bagaimanakah yang diklasifikasikan sebagai transaksi mencurigakan?
Pasal 1 angka 5 huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa suatu transaksi dikategorikan sebagai transaksi mencurigakan jika, pertama, transaksi tersebut menyimpang dari profil, karakteristik, atau pola kebiasaan dari pengguna jasa yang bersangkutan.
Kemudian, kedua, transaksi yang dimaksudkan untuk menghindari pelaporan, seperti memecah transaksi. Ketiga, transaksi yang menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan.
Serta keempat, transaksi yang diminta PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Baca juga : Satgas TPPU Terbentuk dan Segera Bekerja Usut Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
Dari laporan hasil analisis (LHA), laporan hasil pemeriksaan (LHP), dan informasi PPATK mengenai transaksi keuangan yang mencurigakan senilai Rp 349 triliun tersebut, terlihat jelas bahwa sebagian besar seharusnya sudah dapat ditindaklanjuti.
Hal itu mengingat kandungan dari LHA/LHP sudah meliputi profil pihak terlapor; uraian kasus yang memuat data dan informasi tentang sumber dana, pemindahan dana, dan peruntukan dana serta pihak-pihak yang terindikasi dalam aliran transaksi; analisis dari uraian kasus yang menggabungkan analisis aspek keuangan dan hukum. Selain itu, juga kesimpulan dari PPATK yang memuat tindak pidana asal yang melahirkan TPPU dari transaksi mencurigakan tersebut.
Sayangnya, LHA dan LHP itu tidaklah ditindaklanjuti sebagaimana mestinya oleh penerima LHA, LHP, dan informasi tersebut. Dalam hal ini, sebanyak 200 LHA, LHP, dan informasi dikirimkan kepada Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai dan Itjen); serta 100 LHA, LHP, dan informasi yang dikirimkan kepada penegak hukum (termasuk 34 yang dikirimkan ke KPK, serta sisanya kepada kepolisian dan kejaksaan).
Banyak hal yang menjadi penyebab kemungkinan tidak ditindaklanjutinya LHA/LHP tersebut oleh pihak penerima. Penyebabnya, antara lain, pihak penerima kurang peduli atau sangat dikhawatirkan terdapat intervensi dari pihak-pihak tertentu yang mempunyai pengaruh, baik karena kekuasaan, politik, maupun keuangan.
Keberanian seorang Menko Polhukam mengangkat masalah ini ke permukaan menempatkannya ibarat musafir menemukan oase di padang pasir; namun perlu ikhtiar yang sungguh-sungguh dan hati-hati jika kita ingin mengambil air dari sumur oase tersebut karena kondisi medannya yang labil dan bisa membahayakan. Ditambah lagi, letak airnya tidak gampang untuk dijangkau.
Tamsil tersebut didasarkan pada fakta bahwa transaksi mencurigakan skala jumbo dimaksud sudah lama terjadi. Dan, dilihat dari jumlahnya yang fantastis, sangat mungkin melibatkan pihak-pihak yang ”licin” karena punya pengaruh kepada banyak pihak.
Akibatnya, untuk mengungkap dan menyelesaikannya secara tuntas, tidak gampang. Bahkan, mungkin saja dapat menimbulkan bahaya bagi pihak yang akan menyelesaikannya jika kita ingin mengungkap, membongkar, dan menyelesaikan secara tuntas transaksi mencurigakan tersebut.
Alasan lain sulitnya mengungkap dan menyelesaikan transaksi fantastis tersebut juga karena fungsi satgas sesungguhnya hanyalah fungsi manajerial yang pada pokoknya melakukan supervisi dan evaluasi.
Ditambah lagi dengan waktu yang diberikan hanya tujuh bulan (508 hari kerja), sementara yang menangani dan menyelesaikannya adalah para penyidik dari instansi penerima. Dapat dibayangkan, apa jadinya jika yang menindaklanjuti transaksi fantastis tersebut adalah orang-orang yang sama dengan orang-orang yang dulu menerima laporan dimaksud.
Dapat dibayangkan, apa jadinya jika yang menindaklanjuti transaksi fantastis tersebut adalah orang-orang yang sama dengan orang-orang yang dulu menerima laporan dimaksud.
Besar kemungkinan akan muncul beberapa dalih, antara lain rekening terlapor sudah ditutup, sulit mendapatkan dan mengumpulkan alat bukti, para pihak yang terindikasi terlibat sudah tidak diketahui keberadaannya, serta alasan-alasan pembelaan lain.
Melihat besarnya nilai transaksi mencurigakan yang menarik perhatian banyak pihak, termasuk Komisi III DPR, transaksi ini ibarat virus yang membahayakan stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, yang pada akhirnya akan memengaruhi pula reputasi Kementerian Keuangan, instansi penegak hukum, bahkan negara.
Oleh karena itu, sangat diharapkan terbangun komitmen bersama antara anggota parlemen, pemerintah (dalam hal ini Kemenkeu dan penegak hukum), Satgas TPPU, serta masyarakat dengan sumber energi the power of netizen-nya.
Kesamaan komitmen, tujuan, dan dukungan tersebut dibutuhkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat pengungkapan dan penyelesaian transaksi mencurigakan fantastis tersebut.
Terutama untuk mengantisipasi intervensi dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, pengaruh, dan kekuasaan untuk menggagalkan pengungkapan dan penyelesaian transaksi mencurigakan ini.
Keberanian atau ketegaran Mahfud MD tidak saja harus diapresiasi, tetapi hendaknya juga dimanfaatkan untuk menuntaskan kasus ini agar menimbulkan efek jera bagi sang pelaku dan efek cegah agar tidak ditiru oleh orang lain. Jika tak diambil sikap seperti ini, rasanya kita semua akan ikut berdosa karena telah membiarkan sesuatu yang tak baik terus eksis di negeri tercinta ini.
Memang pengungkapan transaksi jumbo ini telah mengganggu reputasi Kementerian Keuangan dan penegak hukum, tetapi bak kata pepatah, setiap kejadian pasti ada hikmah di dalamnya atau sesudahnya.
Tugas Satgas TPPU dan penerima LHA, LHP, dan informasi untuk mengambil dan memanfaatkan hikmah tersebut dengan cara merampas harta kekayaan dari pihak-pihak yang tidak berhak, berikut memberikan sanksi kepada mereka agar jargon Indonesia sebagai negara hukum tidak hanya menjadi isapan jempol.
Satgas TPPU, yang walaupun kewenangannya sebatas aspek manajerial (supervisi dan evaluasi), haruslah mengambil langkah-langkah, antara lain: memastikan tim penyidik dan penyelidik dari instansi penyidik terdiri atas orang-orang yang berintegritas, profesional, dan disiplin.
Selain itu, membentuk tim penyidik secara proporsional dengan jumlah LHA, LHP, dan informasi transaksi mencurigakan yang mereka terima. Misalnya, di Kementerian Keuangan ada 300 laporan. Karena itu, mungkin perlu dibentuk sepuluh tim penyidik.
Kemudian, memberikan tenggang waktu selama tujuh bulan sesuai masa kerja satgas untuk menuntaskan LHA, LHP, dan informasi yang setidak-tidaknya menjadi prioritas, baik karena pertimbangan besarnya nilai transaksi maupun karena melibatkan orang-orang besar dan berpengaruh.
Keberanian atau ketegaran Mahfud MD tidak saja harus diapresiasi, tetapi hendaknya juga dimanfaatkan untuk menuntaskan kasus ini agar menimbulkan efek jera bagi sang pelaku dan efek cegah agar tidak ditiru oleh orang lain.
”Three in one criminality”
Selain hal di atas, ada hal yang selama ini diabaikan para penyidik yang menerima LHA, LHP, dan informasi terkait transaksi mencurigakan dari PPATK, yaitu tiga kejahatan dari satu kasus atau laporan (three in one criminality).
Yang dimaksud di sini adalah dalam setiap transaksi mencurigakan seperti yang berasal dari suap, tak mungkin uang tersebut dinikmati hanya oleh sang pelaku. Pasti ada yang dinikmati oleh keluarga atau koleganya, atau bahkan disembunyikan/disamarkan oleh sang pelaku. Berarti di sini ada tindak pidana suap dan tindak pidana pencucian uang.
Oleh karena uang tersebut berasal dari kejahatan, sang pelaku juga tidak mungkin mengisi surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar. Ini berarti ada tindak pidana perpajakan.
Dengan demikian, dari setiap LHA atau LHP yang dikirimkan oleh PPATK, terdapat tiga tindak pidana tersebut. Oleh sebab itu, seharusnya konsep three in one criminality ini diimplementasikan oleh penyidik.
Ketentuan tentang pemanfaatan LHA, LHP, dan informasi yang dikirimkan oleh PPATK kepada penyidik sesungguhnya telah dikuatkan dengan Inpres Nomor 2 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pemanfaatan LHA dan LHP PPATK, khususnya diktum keempat dan kelima.
Sayangnya, ketentuan ini tidak diikuti atau tidak dilaksanakan. Padahal, begitu banyak kesempatan negara untuk mendapatkan pemasukan dari pemungutan pajaknya.
Bayangkan, berapa banyak pendapatan yang diperoleh negara melalui pemanfaatan dari LHA, LHP, dan informasi jika untuk 300 LHA, LHP, dan informasi yang menyangkut Kemenkeu saja mencapai nilai Rp 349 triliun. Belum lagi LHA dan LHP lainnya. Ditambah lagi jika dikenakan denda dari kewajiban pajak yang harus mereka bayar.
Semoga tamsil oase di padang pasir tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan dan menghilangkan dahaga akan tegaknya keadilan dan kepastian hukum di negeri ini.
Muhammad Yusuf, Kepala PPATK Periode 2011-2016