Intensitas bencana terus meningkat tanpa mengenal batas geografis. Desa maupun kota tak lepas dari intaian aneka rupa bencana. Namun, kita tak boleh menyerah.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Bencana, kata itu kian akrab di telinga. Bahkan, semakin banyak penduduk di Tanah Air ini yang mengalaminya langsung. Data dan fakta mencatat panjang.
Di negeri yang hanya dua musim ini, bencana datang silih berganti setiap waktu. Ketiklah kata “bencana”, lebih dari 40 juta hasil pencarian muncul dalam sepersekian detik, mulai dari definisi, kasus, lokasi, hingga instansinya.
Setiap tahun, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan data kejadian bencana berikut cakupan hingga dampak. Jutaan jiwa manusia terdampak berikut lahan produktif, infrastruktur publik, hingga permukiman. Tak terhitung berapa rupiah kerugian yang ditimbulkannya.
Terbaru, data 2012-2022, dari 30.771 kejadian bencana, mayoritasnya melanda kawasan urban atau perkotaan dengan 44,95 juta jiwa terdampak. (Kompas, 15/5/2023)
Statistik menyebut, 56,7 persen dari 271 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di wilayah urban. Nah!
Dari berbagai jenis bencana itu, banjir menempati posisi teratas. Lalu, longsor di setiap musim hujan dan kekeringan atau krisis air saat kemarau. Dengan kata lain, terkait dinamika air dan atmosfer yang disebut dengan hidrometeorologi.
Tak terbantahkan, itulah yang terjadi. Namun, rasanya ceroboh jika selalu mengaitkan banjir dan kekeringan sebagai dampak perubahan iklim, seperti banjir dan rob di Semarang (Jawa Tengah), banjir di Aceh Timur (Aceh), banjir di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), kekeringan di sejumlah wilayah di NTT, atau kebakaran lahan di kota-kota di Sumatera dan Kalimantan. Kebijakan pemerintah daerah terkait tata ruang dan wilayah, serta daya dukung lingkungan sangatlah menentukan.
Secara global, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UN DESA) tahun 2018 telah mengingatkan, setiap 3 dari 5 megakota berpenduduk 500 ribu di dunia berisiko tinggi terdampak bencana alam. Secara keseluruhan, megakota itu menjadi rumah bagi 1,4 miliar jiwa yang tersebar di 679 megakota dari 1,146 megakota pada masa itu.
Berbagai bencana itu, yakni banjir, longsor, kekeringan, siklon tropis, gempa bumi, dan erupsi gunung. Dua bencana terakhir terus hadir di Tanah Air, seperti gempa Cianjur di Jawa Barat, yang hingga kini belum selesai proses rehabilitasi dan rekonstruksinya. Masyarakat sekitar Gunung Sinabung di Sumatera Utara pun puluhan tahun diintai erupsi.
Atas segala keprihatinan itulah harian ini menghadirkan liputan tematis “kota-kota disergap bencana” pada Senin (15/5/2023) kemarin. Kita mengangkat data dan fakta terkini, sekaligus mengingatkan bahwa perkotaan tak semata soal potensi (ekonomi) atau kriminalitas, tetapi juga potensi berwujud risiko, yakni kebencanaan.
Jelang tahun politik, kepada siapa saja yang maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, kita ingatkan untuk tidak melupakan gagasan dan rencana aksi, yakni mitigasi dan adaptasi kebencanaan. Rencana saja pun belum cukup. Harus diimplementasikan dalam kebijakan nyata dan dikawal.