Antara Kemudahan Berusaha dan Perlindungan Masyarakat
Komunitas obat dan alkes telah memiliki standar regulasi global dan regional. RUU Kesehatan perlu dikuatkan dengan memasukkan ketentuan standar usaha serta perlindungan masyarakat dari WHO, AMDD, dan lainnya.
Oleh
RANDY H TEGUH
·4 menit baca
Pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Kesehatanomnibus law, menggantikan beberapa undang-undang terkait kesehatan, termasuk UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai RUU Kesehatan ini, yaitu memberikan landasan hukum dalam melakukan transformasi layanan kesehatan untuk menjangkau seluruh rakyat Indonesia, mendorong kemandirian obat dan alat kesehatan (alkes), serta mendorong masuknya investasi dengan menyederhanakan perizinan berusaha.
Salah satu wacana yang mendorong keluarnya RUU ini adalah sorotan bahwa pengurusan perizinan obat dan alkes di Indonesia sangat berbelit-belit sehingga menghambat kemudahan berusaha dan investasi. Untuk menjawab wacana tersebut ada perubahan mencolok dalam hal perizinan obat dan alkes dalam RUU Kesehatan.
Dalam UU No 36/2009, perlindungan kepada masyarakat dicerminkan dengan kewajiban memiliki izin edar untuk setiap sediaan farmasi dan alkes. Adapun dalam RUU Kesehatan, perlindungan masyarakat diwujudkan dalam kewajiban memenuhi perizinan berusaha bagi mereka yang akan memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan alkes.
Perubahan itu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana nasib izin edar produk yang selama ini jadi garda terdepan menjaga keselamatan masyarakat?
Dalam praktiknya, untuk mendapatkan izin edar, pengusaha harus sudah memiliki perizinan berusaha (termasuk sertifikasi badan usaha) yang sesuai. Setelah itu, pengusaha harus memastikan bahwa produk yang diedarkan juga telah ditelaah dan disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk obat, termasuk vaksin, makanan, dan kosmetik, serta Direktorat Jenderal Farmalkes Kementerian Kesehatan untuk alkes dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT).
Dengan meniadakan kewajiban izin edar dan hanya menyebut perizinan berusaha, maka RUU Kesehatan yang baru tidak secara jelas mengatur keharusan memiliki izin edar obat dan alkes sebelum diedarkan.
Potensi risiko
Menurut WHO Global Benchmarking Tool for Evaluation of National Regulatory System of Medical Products (2021), National Regulatory Authority (NRA) adalah institusi yang berwenang memastikan kualitas, keamanan, dan kemujaraban/kinerja (K3) dari produk medis (seperti obat dan alkes). NRA yang dimaksud adalah BPOM untuk obat dan Ditjen Farmalkes untuk alkes. Tanggung jawab untuk menerbitkan izin edar berada di pundak kedua institusi tersebut.
Apabila ketentuan tentang izin edar obat/alkes tidak tegas disebutkan dalam UU (meskipun mungkin diatur dalam peraturan turunannya), yang mungkin terjadi adalah:
Pertama, ketidaktegasan kewenangan dalam pelaksanaan. Siapa yang berwenang mengeluarkan izin edar yang berakibat pada kerancuan dalam proses dan standar yang digunakan? Masalah menjadi runyam jika pihak yang dilibatkan dalam penerbitan izin edar tidak memiliki pengetahuan teknis tentang obat dan alkes.
Kedua, lemahnya penegakan hukum karena sanksi denda atau pidana hanya terdapat di dalam UU. Berdasarkan RUU kesehatan saat ini, hanya dikenakan kepada perusahaan yang tidak memiliki perizinan berusaha, bukan kepada pengusaha yang mendistribusikan produk tanpa izin edar.
Kondisi di atas sangat mungkin akan melemahkan jaminan keselamatan masyarakat yang selama ini telah terkawal baik.
Transformasi kesehatan tidak berjalan seperti yang diharapkan karena penyebaran layanan kesehatan tidak diikuti dengan jaminan keamanan, kualitas, kemujaraban, kinerja.
Dampak kontraproduktif
Lemahnya jaminan keamanan, kualitas, kemujaraban/kinerja untuk obat dan alkes ini akan memberikan dampak kontraproduktif kepada tujuan yang ingin dicapai dalam RUU Kesehatan, antara lain:
Adanya celah dalam pengurusan izin edar dan lemahnya penegakan hukum akan dimanfaatkan oleh produk-produk impor (khususnya dari negara yang belum memiliki sistem regulasi memadai) karena masih ada ceruk pasar seperti rumah sakit swasta dan alkes. Perkembangan kemandirian obat dan alkes menjadi terganggu.
Apabila izin edar sampai tergantikan sistem lain (misalnya harus mengurus sertifikat semacam CE mark), biaya pengurusan izin edar mungkin semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Belum lagi jika lembaga yang ditunjuk tidak siap sehingga terjadi antrean panjang. Akibatnya, bukan kemudahan berusaha dan malah kerumitan yang didapat. Bisa mematikan minat investasi.
Transformasi kesehatan tidak berjalan seperti yang diharapkan karena penyebaran layanan kesehatan tidak diikuti dengan jaminan keamanan, kualitas, kemujaraban, kinerja. Hal ini bahkan akan meningkatkan biaya perbaikan di lapangan, seperti penarikan produk, penghentian sementara, penyelidikan, dan lain-lain. Contohnya adalah kasus pencemaran ethylene glycol pada obat sirup pereda panas.
Rujuk standar global
Komunitas obat dan alkes telah memiliki standar regulasi global dan regional, antara lain, WHO dan ASEAN Medical Device Directive (AMDD). Ini seyogianya dirujuk oleh pemerintah dalam menetapkan standar lokal agar produk Indonesia dipercaya pasar global.
Keterlepasan Indonesia dari komunitas regional dan global juga dapat menghambat masuknya investasi dari luar, khususnya dari negara-negara maju yang telah mengadopsi standar regional dan global. Apabila Indonesia memiliki cara tersendiri dalam perizinan produk, mereka harus menyesuaikan dokumen teknis dengan investasi yang jauh lebih besar.
Dari paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa RUU Kesehatan perlu dikuatkan dengan memasukkan ketentuan adanya izin edar produk obat dan alkes agar efektif mengawal transformasi kesehatan.
Tentunya kita harus memahami bahwa ada persyaratan yang harus dipenuhi dan sejalan dengan persyaratan alkes di negara-negara lain.
Seandainya proses sekarang dirasa kurang efisien dan kurang baik, penulis mengimbau agar kita memperbaiki prosesnya dan bukannya mencoba menyelesaikan masalah dengan melepaskan mata rantai yang justru berpotensi mengganggu tujuan RUU Kesehatan.
Randy H Teguh, Wakil Ketua Komite Tetap Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kadin Indonesia