Urusan melarang musisi lain terlihat melampaui batas dan kewenangan. Soalnya, tidak ada undang-undang yang melarang musisi menyanyikan lagu karya orang lain sejauh ia membayar royalti kepada sang pemegang hak cipta.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·4 menit baca
Gaduh persoalan pembayaran royalti musik antara pentolan Dewa 19, Ahmad Dhani, dengan mantan vokalisnya, Once Mekel, beberapa waktu lalu cukup menyedot perhatian publik. Teranyar, Dhani melarang Once menyanyikan lagu-lagu Dewa 19 ciptaannya.
Sebagaimana diketahui, Dhani merasa lagu-lagunya dibawakan oleh Once tanpa royalti yang dibayarkan kepadanya, dan hal tersebut konon telah berlangsung sejak tahun 2010 silam. Padahal, mungkin, karya Dhani hanya akan menjadi karya biasa jika penyanyinya bukan Once Mekel. Kita melupakan bahwa urusan musik tidak hanya tentang kualitas karya, tetapi juga bagaimana musik itu dimainkan, dan ini yang lebih penting: siapa yang membawakannya. Dan kebetulan saya adalah generasi yang memandang bahwa Dewa 19 tanpa Once berarti bukan Dewa 19.
Masalah royalti musik di hari ini seolah tak kunjung usai. Negara sejatinya menghadirkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang memiliki mekanisme rinci dalam memungut royalti musik untuk kemudian diserahkan kepada pemegang hak cipta karya (baca PP No 56/2021). Namun, selama ini wilayah kerjanya justru tampak sebagai mediator yang memediasi pertikaian antara pengarya (pemegang hak cipta) dengan musisi pengguna. Gaduh tentang royalti musik itu pun terjadi justru di Ibu Kota, dalam scope-nya yang terbatas, semata melibatkan antar-”artis nasional”. Selebihnya publik, atau musisi di daerah masih adem-ayem, membawakan atau menyanyikan lagu-lagu tanpa takut tergugat oleh urusan royalti.
Lingkup
Pemungutan royalti menjadi persoalan kompleks manakala dihadapkan dengan sistem kontrol atau pengawasan minim. Hanya panggung-panggung musik berskala besar saja yang dapat dijangkau dan diakses, sementara panggung musik di daerah sebaliknya. Apalagi, LMKN telah menetapkan bahwa Event Organizer (EO) diwajibkan membuat daftar susunan lagu-lagu yang akan dibawakan oleh artis atau penyanyinya.
Susunan lagu-lagu itu disampaikan dan didaftarkan ke situs LMKN. Terakhir, pihak EO diwajibkan membayar royalti atas lagu-lagu tersebut.
Dalam konteks ini masih belum diketahui bagaimana besaran royalti yang harus dibayarkan mengingat sebuah forum pertunjukan musik akan bergantung pada beberapa hal, di antaranya jumlah penonton yang hadir dan membeli tiket, kapasitas atau skala pertunjukan, harga tiket, durasi pertunjukan, dan tata kelola manajemen EO.
Poin terakhir, misalnya, juga patut menjadi catatan, setiap EO memiliki manajemen pengelolaan berbeda sehingga berpengaruh pada totalitas anggaran (budgeting) yang juga berbeda. Dengan kata lain, acuan besaran royalti pada artis (dan lagu) yang sama, antara satu EO dan yang lain, idealnya bisa berbeda.
Kasus yang sama terjadi saat penarikan royalti berdasarkan Pasal 3 dalam PP No 56/2021. Sebagaimana diketahui, usaha semacam kafe atau restoran harus membayar Rp 60.000 per kursi untuk lagu yang mereka putar atau mainkan setiap tahunnya. Hal itu menjadi tidak adil manakala terdapat usaha yang jumlah kursinya lebih banyak, tetapi dengan pendapatan yang jauh lebih kecil, sebutlah misalnya usaha food and beverage.
Kompleksitas pembayaran royalti menunjukkan bahwa musik bukan semata peristiwa estetik, tetapi juga peristiwa ekonomi yang membutuhkan perhatian khusus. Ironisnya, sering kali sebuah kebijakan atau aturan disusun dengan semakin detail, maka pelaksanaannya juga akan semakin ribet dan melelahkan. Lebih penting lagi adalah siapa yang dengan sukarela menjadi ”polisi pencatat royalti” di lapangan? Pengawasan terhadap penggunaan lagu jika dibebankan kepada publik juga menjadi buah simalakama.
Hal itu karena, pada satu sisi publik ingin mendapatkan karya-karya monumental. Dan untuk mendapatkan karya demikian, maka apresiasi kepada pencipta (pemegang hak cipta) mutlak diperlukan, dan salah satu jalannya adalah memberikan hak atas royalti dari karya-karyanya. Namun, pada sisi yang lain, publik masih termanjakan pada sesuatu yang bersifat gratisan, tak berbayar, alias cuma-cuma.
Mereka saban hari dapat mendengarkan lagu-lagu gratis dari media sosial semacam Youtube. Jika mendengarkan secara daring terasa mengganggu karena hadirnya iklan, tinggal diunduh dalam format yang diinginkan, seperti MP3, MP4, atau sejenisnya. Media sosial itu menyediakan kumpulan lagu dari berbagai kategori dengan jumlah membeludak.
Publik termanjakan dan urusan royalti bisa dikesampingkan. Apalagi, pemerintah belum secara khusus memiliki regulasi yang mengatur royalti pada jagat digital. Upaya mendengungkan agar negara lewat LMKN juga mampu menarik royalti dalam laman digital (sebutlah seperti Youtube dan Spotify) juga menjadi pepesan kosong belaka.
Kuasa pemerintah selama ini hanya sekadar memblokir dan mengizinkan akses, tidak dalam kapasitas lebih jauh, yakni terlibat pada manajemen tata kelola pembagian royalti. Artinya, platform-platform itu memiliki kuasa mengatur dirinya, bebas dari intervensi siapa pun, termasuk negara, kendatipun dalam takaran tertentu—kepentingan ekonomi—terasa sangat timpang atau bermasalah.
Royalti musik seperti benang kusut sulit terurai. Akan senantiasa muncul persoalan-persoalan baru yang tak kalah pelik. Urusan melarang musisi lain (yang dalam konteks ini Once Mekel) menyanyikan karya-karya Dewa-19 juga terlihat melampaui batas dan kewenangan. Soalnya, tidak ada undang-undang yang melarang musisi menyanyikan lagu karya orang lain sejauh ia membayar royalti kepada sang pemegang hak cipta lewat lembaga atau institusi yang ditentukan (LMKN).
Apabila pemegang hak cipta berhak menentukan siapa-siapa yang boleh dan tidak dalam menyanyikan karyanya, betapa rapuhnya ekosistem industri musik kita karena urusan pribadi bercampur di ranah profesional. Bukankah, sekali karya tercipta, karya itu akan berpendar jauh, menjadi rupa-rupa tafsir baru di tangan musisi lain. Hal tersebut sah sejauh tidak ada hukum yang dilanggar.
Hari ini, panggung-panggung musik tumbuh semarak, forum-forum musik bermunculan dari tingkat kampung, pentas kampus, hingga kafe-kafe. Lagu-lagu terus dinyanyikan. Sementara di situ kita berharap ada petugas pencatat royalti datang, melaporkan ke LMKN, dan royalti berhasil dipungut. Jawabannya: hal itu mustahil. Aduh!!