
Pada akhir tahun 2022, asosiasi perusahaan rekaman Amerika, The Recording Industry Association of America atau yang lebih dikenal dengan RIAA, mengajukan keberatan atas adanya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bidang musik kepada perwakilan dagang Amerika Serikat. Menurut RIAA, kecerdasan buatan itu telah memorakporandakan ekosistem industri musik dunia, khususnya di AS.
Teknologi AI membuat siapa pun dapat membuat musik kendati tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang musik. Awalnya, jauh sebelum persoalan AI di industri musik mencuat, beberapa platform musik digital, katakanlah Spotify, telah terlebih dahulu menggunakan algoritma machine learning (AML) yang disematkan pada akun users lewat pengalamannya mendengarkan dan memutar lagu.
Tanpa kita sadari, platform musik digital selalu berhasil merangkum dan merekomendasikan musik-musik pilihan kepada pendengarnya. Dengan cara ini, layanan streaming musik itu mampu menjadi jembatan bagi pengguna yang haus akan musik-musik tertentu, tetapi kesulitan mencarinya pada media-kanal lain.
AML akan merangkum segala tindakan seseorang saat memilih dan memutar lagu. Misalnya, lagu apa yang kita putar, pada bagian mana lagu (lirik, melodi) itu diulang-ulang oleh penggunanya, tempo, kecenderungan alur melodi, keras lirihnya suara (loudness), lagu apa saja yang disematkan ke playlist, seberapa banyak satu lagu didengarkan dan diputar dalam sehari.
Semua dirangkum, menjadi metadata, kemudian AML akan mencari lagu-lagu lain yang memiliki karakter dan jenis hampir serupa, dan merekomendasikan kepada pengguna. Hal itu mengakibatkan pengguna merasa memiliki ikatan kuat dengan platform streaming musik terkait.
Apabila AI awalnya digunakan untuk memanjakan pengguna layanan musik streaming, beberapa waktu belakangan justru melampaui batasan-batasan itu. Siapa pun dengan seketika dapat membuat karakter dan genre musik yang disukai.
AI AIVA, misalnya, memanjakan publik dengan model penciptaan berbasis pemungutan data pada musik-musik yang terlebih dahulu eksis. Jika Anda penyuka musik klasik dan hendak menciptakan musik genre itu, AIVA dapat membantu dengan mendata ribuan jenis musik klasik, kita tinggal memasukkan kategori sesuai dengan keinginan, kemudian muncullah komposisi musik klasik ”ciptaan kita”.
Komposisi baru (new music composing) itu tentulah berbeda dengan musik klasik yang lebih dahulu lahir, tetapi memiliki kekuatan yang melampauinya karena komposisi baru adalah hasil reduksi akhir dari kekuatan dan keunikan ratusan karya musik yang dipungut AI.
Google tidak mau ketinggalan. Mesin pencari paling populer itu dalam waktu dekat meluncurkan MusicLM, yakni membuat karya musik bergenre apa pun berdasarkan atas deskripsi teks yang kita tuliskan. Semakin detail deskripsi teks yang kita tuliskan, semakin detail pula musik yang tercipta. Dengan seketika, AI itu akan mengumpulkan metadata jutaan musik yang karakternya sesuai dengan teks yang kita tuliskan, mereduksinya, menggabungkan satu elemen musikal dengan lainnya (disebut spektogram), dan terciptalah musik baru sebagaimana yang kita inginkan.
Jika MusicLM masih dalam pengembangan, AI Riffusion sudah dapat diakses oleh siapa pun. Sama seperti MusicLM, pengguna Riffusion hanya diminta menuliskan ”kata-kata” yang diinginkan, kemudian akan lahir musik berdasar kata-kata itu. Walaupun masih terbatas dalam genre pop, jaz, rock, dan klasik, ke depan akan lebih banyak lagi varian yang ditanamkan di AI tersebut.
Terbaru, Sony, perusahaan rekam musik terkenal dunia, lewat Sony CSL Research Laboratory mengembangkan AI bernama Flow Machines, dengan hasil yang mendekati ”sempurna”. AI itu mampu mengidentifikasi, mempelajari, dan memahami lagu-lagu pop dengan kecenderungan yang sangat detail. Saat kita hendak menciptakan musik pop berbasis karya-karya The Beatles misalnya, Flow Machines akan mengumpulkan semua karya Beatles (yang dapat diakses di internet), menganalisis kecenderungan lagunya, liriknya, volume, durasi, dinamika, tempo, irama, melodi, dan penekanan-penekanan nada-nada tertentu.
Semua data itu dihimpun, diseleksi, direduksi, kemudian lahirlah komposisi baru yang seolah-olah diciptakan oleh ”The Beatles”. Sederhananya, AI ini akan mampu melahirkan karya-karya baru dari sumber musik yang sama. Karya berjudul ”Daddy’s Car” (klik judul itu di Youtube) adalah salah satu contohnya.
Hak cipta
Oktober 2022, dua senator Amerika Serikat merasa cemas dengan perkembangan AI di bidang musik. Mereka meminta pemerintah untuk membuat undang-undang tentang keberadaan AI (disebut dengan AI Commission). Ada kecenderungan AI akan semakin masif digunakan dan merusak intellectual property karya musik.
Jika satu karya musik tercipta lewat AI, kepada siapa hak cipta (copyright ownership) itu disematkan, apakah kepada penggunanya (user) atau kepada AI-nya? Persoalan tersebut yang hingga kini belum menemukan titik temu.
Lalu, bagaimana dengan musik-musik yang menjadi sumber penciptaan karya baru oleh AI? Apakah ada kompensasi kepada pemegang hak ciptanya? Bagaimana cara mengetahui jika musik dari AI itu berbasis karya musik tertentu (milik orang lain), mengingat AI dapat bekerja dengan membuat karya musik yang sangat jauh berbeda dari sumber-sumber yang dipungutnya. Ini seperti ChatGPT, dapat membantu membuat karya tulis dan tidak terdeteksi mesin plagiasi semacam turnitin.
Adanya AI bidang musik ini disambut sangat antusias oleh kreator konten Youtube. Selama ini, Youtuber sering kali kesulitan dalam mencari background music sesuai dengan keinginannya. Sebagaimana kita tahu, Youtube menyediakan non-copyright music (musik bebas hak cipta), dapat digunakan sebagai background pada video yang dibuat. Namun, hampir semua kreator konten menggunakannya dan hal itu dirasa sangat membosankan. Dengan adanya AI musik, para kreator konten dapat membuat musik sesuai keinginan tanpa harus terusik dengan klaim hak cipta.
Ke depan, akan semakin banyak musik baru tercipta berbasis AI, pilihannya adalah seberapa kaya referensi musik yang dimiliki oleh users sehingga mampu memunculkan kategori yang jauh lebih spesifik (input), sehingga musik yang dihasilkan benar-benar unik dan berkelas (output).
Urusan berkarya musik hari ini menjadi sangat sepele. Pertanyaannya ke depan, barangkali perlu didefinisikan ulang tentang apa itu komposer, pencipta musik, penata musik, dan kepada siapa hak cipta musik itu kita sematkan. Jika kepada AI, hari ini sejatinya kita sedang menghamba pada mesin. Aduh!!!
Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta