Insularitas Akademik
Isu birokrasi pendidikan dan riset sebagai problem utama keruwetan akademik kita. Selain itu, mentalitas beberapa dosen dan periset yang tidak fokus pada tugasnya. Mereka suka mencari pekerjaan sampingan, nyambi.
–
Berbagai isu dan persoalan di dunia akademik kita menjadi bahasan yang terus berulang di tahun 2023 ini. Di antaranya terkait obral gelar, perjokian di kampus untuk kenaikan pangkat atau menjadi guru besar, kasus plagiarisme, profesionalisme para ilmuwan, komersialisasi dan industrialisasi lembaga pendidikan, insularitas akademik, dan juga terkait aturan jabatan fungsional (JF) yang membuat waktu tempuh menjadi profesor cukup panjang.
Pada diskusi di Pusat Riset Kewilayahan (PRW) BRIN, 7 Maret 2023, Vedi R Hadiz, ilmuwan Indonesia yang menjadi wakil rektor di Universitas Melbourne, membahas berbagai bentuk insularitas akademik di Indonesia dan berbagai persoalan yang membelenggu para akademisi. Makna dari insularitas di sini adalah ketertutupan, abai atau kurang peduli dengan ide, gagasan, budaya, dan juga persoalan di luar dirinya. Bahasa mudahnya, insularitas akademik itu seperti ”katak dalam tempurung”. Bentuk insularitas akademik itu, di antaranya, adalah minimnya ilmuwan Indonesia, bahkan termasuk dalam lingkup Indonesian studies (kajian Indonesia), yang diakui reputasinya secara global.
Baca juga: Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah
Banyak teori ilmu sosial yang lahir dari studi tentang Indonesia, tapi tak dilakukan oleh ilmuwan Indonesia. Teori dualisme ekonomi (perekonomian ganda) yang melihat dikotomi antara ekonomi sektor besar dan kemampuan modern bersebelahan dengan ekonomi sektor kecil kemampuan tradisional, supermall vs pasar tradisional, gedung pencakar langit vs perumahan kumuh yang mengelilinginya, dilahirkan oleh JH Booke.
Teori tentang nasionalisme sebagai imagined community dilahirkan oleh Ben Anderson, teori tentang plural society ditulis oleh JS Furnivall, teori tentang agama sebagai system of symbols ditulis oleh Clifford Geertz, dan kajian tentang SD Inpres yang kemudian mendapat hadiah Nobel justru dilakukan oleh Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer. Tentu saja Indonesia memiliki sejumlah ilmuwan yang serius, dedicated, dan diakui reputasinya di komunitas akademik global, seperti Taufik Abdullah, Azyumardi Azra, dan juga yang muda-muda. Namun, jumlahnya belum banyak.
Thailand memilki ilmuwan seperti Thongchai Winichakul yang memiliki konsep sangat berpengaruh di dunia akademik tentang Thai nationalism seperti ditulis dalam bukunya, Siam Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation. Filipina memiliki ilmuwan seperti Reynaldo Ileto yang menulis tentang revolusi, Pasyon and Revolution: Popular Movements in the Philippines yang menjadi referensi untuk studi tentang gerakan-gerakan revolusi di dunia. Singapura tentu saja memiliki lebih banyak ilmuwan kaliber internasional dan salah satunya adalah Syed Hussein Alatas dengan bukunya The Myth of the Lazy Native.
Baca juga: Ziarah Kubur
Berbagai tulisan telah berupaya menganalisis mengapa terjadi berbagai keruwetan dan problematika di dunia akademik kita, mengapa terjadi insularitas akademik. Beberapa melihat academic governance seperti isu birokrasi pendidikan dan riset sebagai problem utama. Rakhmat Hidayat, dalam tulisannya ”Kebangkitan Pengetahuan” (Kompas, 8 Mei 2023), misalnya, menyebut adanya ”birokratisasi konservatif” di mana “negara terlalu mengintervensi administratif prosedural dibanding proses produksi pengetahuan itu sendiri”.
Taufiqurrahman dalam ”Kultur Toksik Dunia Akademik” (Kompas, 8 Mei 2023) menyebut feodalisme yang masih menjadi kerangka dan sistem akademik kita. Ini ditunjukkan di antaranya pada banyaknya acara seremonial di lembaga akademik. Ini belum termasuk isu gaji rendah, seperti yang ditulis Ahmad Arif dalam ”Polemik Gaji Rendah Dosen” (Kompas, 10 Mei 2023) dan teknokratisme yang diulas oleh Andrew Gloss dalam bukunya, The Floracrats (2011). Inayah Rakhmani, dosen Universitas Indonesia (UI), dan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (AMI), telah melakukan berbagai riset tentang isu akademik ini sejak 2013, di antaranya melihat beberapa kampus yang bertransformasi menjadi badan hukum milik negara (BHMN) terfokus mengumpulkan uang dan terjebak menjadi industri atau komersialisasi jasa pendidikan dan pengajarnya menjadi ”buruh dosen”.
Baca juga: Nahdlatul Ulama
Di luar dari hal-hal di atas, ada hal menarik yang dikemukakan Vedi R Hadiz terkait mentalitas beberapa dosen dan periset yang tidak fokus pada tugasnya. Mereka suka mencari pekerjaan sampingan selain kerja penelitian atau mereka suka nyambi.”Banyak peneliti kita yang memiliki mental pedagang kaki lima, bukan peneliti…. Saya heran dengan orang-orang yang sudah full time dosen atau full time peneliti, tapi masih sempat nyambi ke mana-mana,” ungkap Hadiz.
Dunia akademik adalah bagian dari budaya ilmiah, science is culture. Di dalamnya termasuk sistem, governance, mentalitas, dan habitus manusia. Ketika ada dorongan publikasi internasional sementara tradisi peer review belum kuat, bahasa Inggris masih lemah, dan menulis sesuai standar akademik global belum menjadi kebiasaan, maka tak jarang terjadi keterjebakan pada predatory journals atau jurnal abal-abal dan vanity press (penerbit yang tak menjaga kualitas dan menerbitkan tulisan atau buku hanya karena penulisnya membayar).Bentuk lain dari pemenuhan tuntutan di atas adalah menerbitkan dalam bentuk proceeding. Seperti ditulis dalam ”Ranking Researchers: Evidence from Indonesia” (2023), 62 persen dari total kenaikan publikasi dari Indonesia itu berbentuk conference proceedings.
Hal lain, ketika dosen-dosen di kampus mengeluhkan beban kerja atau Tri Dharma Perguruan Tinggi, peneliti yang diberi tugas dengan Eka Dharma hanya meneliti dan memproduksi pengetahuan, dengan gaji dan tunjangan kinerja untuk peneliti utama sekitar 27 juta per bulan rupanya banyak yang mencari kesibukan tambahan dengan menjadi dosen, senang dengan beban tambahan mengajar di samping tugas utamanya sebagai peneliti. Ada yang jam mengajarnya lebih banyak dari meneliti dan menulis. Bahkan ada periset yang dengan bangga mengunggah SK pekerjaan sampingannya itu di media sosial.
Berbagai keluhan dan problematika akademik di Indonesia itu sebetulnya yang hendak dijawab dengan pendirian BRIN yang pada 28 April 2023 lalu memperingati ulang tahun keduanya. Mandat kehadiran BRIN, antara lain, adalah memperkuat ekosistem riset dan inovasi nasional, ekosistem yang kondusif untuk pengembangan talenta-talenda akademik bangsa. Berbagai skema telah berjalan dan dibuka untuk umum, termasuk di antaranya mengundang visiting fellows dari dalam dan luar negeri untuk menjadi enabler (pengungkit) ekosistem riset tersebut. Selain itu, juga ada sejumlah skema pendanaan riset, seperti Riset Dasar, Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM), Pendanaan Ekspedisi dan Eksplorasi, Perusahaan Pemula Berbasis Riset, Pengujian Produk Inovasi Pertanian, Pengujian Produk Inovasi Kesehatan, Hari Layar, dan Pusat Kolaborasi Riset.
Selain sebagai executing agency atau lembaga yang menjadi pelaksana riset yang dikelompokkan dalam 12 organisasi riset, BRIN juga menjalankan fungsi membangun dan mengelola infrastruktur riset dan inovasi, menangani pemanfaatan riset dan inovasi seperti menghubungkan ke industri, pengembangan riset dan inovasi di berbagai daerah di Indonesia, memberi dukungan kebijakan berbasiskan riset, serta mengatur kebijakan atau peraturan yang terkait dengan riset dan inovasi itu sendiri.
Tentu saja upaya memperkuat ekosistem riset dan inovasi yang dilakukan oleh BRIN itu saat ini belum sepenuhnya ideal. Namun selangkah demi selangkah telah dilakukan berbagai kegiatan untuk merealisasikan mimpi agar kita mendapat tempat terhormat di kancah akademik global.
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)