Kasus arogansi dan kekerasan di jalan raya kota-kota besar, terutama Jakarta, terus berulang. Kesadaran warga dan penegakan hukum mutlak perlu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Polisi menangkap pria bernama David Yulianto (32), pramudi sedan dengan nomor dinas polisi palsu yang arogan terhadap pengguna kendaraan lain di Jalan Tol Dalam Kota di wilayah Tomang, Jakarta Barat. Pria itu terbukti bersalah menganiaya dan menggunakan senjata yang dilarang. Selain itu, saat kejadian David juga kedapatan menggunakan pelat nomor polisi palsu (Kompas, 5/5/2023).
Kasus ”koboi jalanan” bukan kali ini saja terjadi. Dari data pemberitaan Kompas, pada 12 Februari 2023, polisi juga menemukan dugaan tindak pidana dalam kasus pengemudi Toyota Fortuner mengamuk, menyerang, dan merusak sebuah taksi daring di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada pertengahan September 2022, aksi serupa juga terjadi dalam aksi kebut-kebutan dua mobil hitam di lajur kanan Jalan Tol Jagorawi arah Jakarta. Upaya pengemudi saling mendahului itu berakhir setelah salah satu pengemudi menurunkan kaca mobil dan menodongkan senjata api ke pengemudi lainnya.
Makin hari, kesadaran pengguna jalan raya untuk menghormati sesama pengguna lain terasa menipis. Fenomena ini memprihatinkan karena sebetulnya sudah ada mekanisme di jalan raya yang mengatur mobilitas pengguna jalan sehingga berlaku prinsip kesetaraan.
Rambu-rambu lalu lintas di jalan raya berlaku secara internasional dengan keharusan pengemudi memahami makna dan artinya, serta menjalankan perintah rambu-rambu itu secara disiplin. Tanpa pengecualian. Pengetahuan dan pemahaman pengemudi itu harus dipastikan matang, salah satunya melalui ujian surat izin mengemudi (SIM).
Hanya saja, ujian SIM sebagai syarat utama seleksi pengemudi atau pengendara bisa jadi perlu dibenahi. Seleksi atau ujian SIM sepatutnya juga menerapkan prinsip persamaan kedudukan di muka hukum. Siapa saja yang tidak lolos ujian tidak mungkin mendapatkan SIM, kecuali dia harus mengulang ujian dan lulus. Prinsip ini kadang terabaikan.
Selepas seseorang mendapatkan SIM, barulah pengendara bisa mengemudikan kendaraan di jalan umum. Tentunya tak sekadar mengemudikan. Namun, ada konsekuensi harus mengemudi dengan tertib dan taat peraturan. Semua pengemudi wajib memikirkan keselamatan pengguna jalan lain. Pelanggaran lalu lintas yang berakibat kecacatan atau meninggalnya seseorang berkonsekuensi pidana.
Prinsip-prinsip semacam ini mesti didudukkan kembali demi ketertiban berlalu lintas di jalan raya. Prinsip persamaan kedudukan di muka hukum kini terwujud dalam beberapa kasus pidana yang dialami polisi, bahkan perwira tinggi seperti Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa.
Jika perwira tinggi polisi saja bisa dipidanakan, apalagi warga biasa yang mengaku-ngaku polisi, memakai pelat nomor polisi palsu, dan bertindak arogan seperti David Yulianto. Kuncinya, hormatilah sesama pengguna jalan raya.