Kultur feodal dan kultur seremonial itu adalah dua kultur toksik yang akan terus menyandera dunia akademik Indonesia berada dalam keterbelakangan. Jika keduanya terus dibiarkan, jangan berharap akan lahir pemenang Nobel.
Oleh
TAUFIQURRAHMAN
·5 menit baca
Harian Kompas belakangan ini beberapa kali menurunkan berita tentang dunia akademik di Tanah Air. Isu yang diangkat terkait dengan joki karya ilmiah untuk calon guru besar dan beban administrasi dosen yang berlebihan.
Di tengah gonjang-ganjing dunia akademik tersebut, Peter Carey, sejarawan yang mendedikasikan dirinya untuk mengkaji sejarah Indonesia modern, menyampaikan kuliah daring tentang mengapa Indonesia tidak pernah memiliki pemenang Nobel. Ia menyebutkan beberapa faktor, antara lain gaji dosen yang sangat kecil, status PNS dosen yang justru kontraproduktif dengan pengembangan ilmu pengetahuan, tidak ada cuti panjang (sabbatical leave) bagi dosen untuk fokus melakukan riset mandiri dan aktivitas akademik lain di luar kampus, serta tidak ada kultur tinjauan sejawat (peer review) yang memadai.
Soal yang terakhir ini, Peter Carey menceritakan pengalamannya sebagai peneliti sejarah Indonesia modern yang telah menerbitkan karyanya dalam bahasa Indonesia. Pada 2012, ia menerbitkan tiga jilid buku tentang Pangeran Diponegoro. Ia berharap ada banyak tanggapan kritis untuk buku tersebut dari komunitas akademik di Indonesia, tetapi ternyata ”hanya ada keheningan yang memekakkan telinga”. Artinya, tanggapan untuk buku tersebut ada, tetapi bukan tanggapan kritis dan substansial seperti yang diharapkannya.
Tiadanya kultur tinjauan sejawat yang memadai seperti disampaikan Peter Carey itu sebenarnya terkait dengan kultur feodal yang masih kuat dalam lingkungan kampus di Indonesia. Kepulauan Nusantara, sebelum era penjajahan, adalah tempat bagi masyarakat feodal yang memiliki sistem kerajaan. Kolonialisme mengawetkan sistem feodal itu demi memperkuat posisinya di tanah jajahan (Fauzan dan Adela, 2019).
Pascakemerdekaan, bahkan hingga pascareformasi saat ini, feodalisme tak pernah benar-benar hilang dari bumi Nusantara. Partai politik yang merupakan lembaga demokrasi sekalipun masih tersandera oleh nilai-nilai feodal. Pimpinan partai, yang tak pernah benar-benar dipilih secara demokratis, dapat menentukan siapa yang berhak maju sebagai calon presiden atau kepala daerah.
Universitas atau dunia akademik adalah satu domain sosial yang juga tidak kebal dari pengaruh feodalisme. Karena itu, Robert A Nisbet (1997: 13) bahkan menulis bahwa ”usaha apa pun untuk memahami iklim akademik kontemporer […] harus dimulai dengan pengakuan atas dua fakta yang sangat penting. […] Yang pertama adalah struktur universitas yang bersifat aristokratik, dan bahkan feodal, dan juga hubungan historisnya dengan tatanan sosial”.
Ilustrasi
Universitas di mana pun selalu dijalankan dengan sistem hierarkis yang membagi para akademisinya dalam tingkatan-tingkatan. Sebutannya bisa asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar, atau yang lainnya, tetapi intinya adalah stratifikasi sosial—dan mungkin juga epistemik—orang-orang yang berada di dalamnya.
Dalam perspektif epistemologi sosial, stratifikasi epistemik semacam itu rentan melahirkan ketidakadilan epistemik dalam konteks testimoni (testimonial epistemic injustice) (Fricker, 2007). Pendapat atau testimoni seorang guru besar cenderung dianggap selalu lebih benar dari pendapat atau testimoni seorang asisten ahli. Ketidakadilan epistemik semacam ini akan semakin subur dalam iklim akademik yang masih melestarikan nilai-nilai feodal.
Dalam struktur masyarakat feodal, lebih parah lagi, yang terjadi bukan hanya ketidakadilan epistemik, melainkan juga represi epistemik. Orang-orang di tingkatan bawah dikondisikan takut menyampaikan pendapatnya, terutama apabila pendapat itu berbeda dari pendapat orang-orang yang berada di atasnya. Alasan takut bermacam-macam, tetapi yang paling sering karena khawatir perkembangan karier tak lancar.
Mengapa saya menyebut rasa takut itu dikondisikan? Karena perjalanan karier seorang dosen di dunia akademik, antara lain, juga ditentukan dosen-dosen yang menjadi atasannya.
Mengapa saya menyebut rasa takut itu dikondisikan? Karena perjalanan karier seorang dosen di dunia akademik, antara lain, juga ditentukan oleh dosen-dosen yang menjadi atasannya. Seorang dosen yang hendak naik jabatan dari lektor ke lektor kepala, misalnya, perlu persetujuan pimpinan di departemen atau fakultasnya. Seorang lektor kepala yang hendak mengajukan kenaikan jabatan ke guru besar perlu persetujuan senat universitas.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 yang menimbulkan banyak kontroversi itu juga turut mengawetkan kultur dan struktur feodal dalam dunia akademik. Penilaian atasan, berdasarkan peraturan tersebut, menjadi salah satu penentu utama kenaikan jabatan fungsional seorang dosen. Karena itu, selain memiliki performa akademik yang baik, dosen di Indonesia sangat disarankan selalu menjaga ”hubungan baik” dengan para atasannya.
Para atasan bisa saja berkilah bahwa penilaian untuk pengajuan kenaikan jabatan dosen itu dilakukan secara obyektif, tanpa bias suka atau tidak suka. Namun, tanpa prosedur yang menjamin tidak adanya konflik kepentingan, seperti proses penilaian buta (blind review), tidak ada yang bisa menjamin penilaian itu tidak dilakukan secara subyektif. Tanpa jaminan semacam itu, ketakutan akan terus menghantui akademisi karier awal.
Dalam iklim akademik semacam itu, kita tidak akan pernah menemukan dosen muda memberikan tinjauan kritis terhadap karya akademik dosen tua, apalagi dosen pejabat. Karena sejak muda dosen tersebut sudah dikondisikan untuk tidak kritis, maka sampai jadi profesor pun ia tak akan pernah punya daya kritis kepada karya akademisi lain. Kondisi inilah kira-kira yang dapat menjelaskan mengapa Peter Carey tidak mendapatkan tanggapan kritis sama sekali dari akademisi Indonesia ketika menerbitkan buku babonnya tentang Pangeran Diponegoro.
Kultur feodal yang sudah mengakar kuat dalam dunia akademik ini melahirkan satu kultur lainnya yang sama-sama toksik, yaitu kultur seremonial. Salah satu ciri masyarakat feodal adalah suka sekali dengan berbagai macam upacara yang dipenuhi simbolisme penghormatan/ketundukan rakyat jelata kepada tuan/rajanya. Dalam masyarakat feodal Eropa abad pertengahan, misalnya, ada upacara bernama homage, simbol penghormatan dan kesetiaan petani kepada tuan tanahnya.
Dunia akademik yang menjadi tempat bersarang feodalisme itu juga dipenuhi dengan pemujaan terhadap hal-hal seremonial sembari pada saat yang sama abai terhadap hal yang secara akademik sebenarnya sangat substansial. Kampus-kampus seperti tidak pernah kehabisan acara yang nuansanya sebenarnya tidak akademis sama sekali. Hampir semua kampus merayakan dies natalis setiap tahun, dengan rangkaian acara bisa lebih dari tiga bulan.
Perayaan dies natalis tidak hanya dilakukan oleh universitas, tetapi juga oleh setiap fakultas di universitas tersebut. Jika satu universitas memiliki 14 fakultas, kemungkinan ada 15 perayaan dies natalis di kampus tersebut, dengan jadwal dan agenda yang berbeda-beda. Umumnya, acara tersebut diserahkan kepada dosen, terutama dosen-dosen muda. Ini susah sekali dipahami oleh nalar akademik yang waras. Padahal, jika tenaga dan dana yang tersedia itu digunakan untuk riset dan pengembangan mata kuliah, dampaknya pasti akan jauh lebih produktif secara akademik.
Nuansa seremonial juga terlihat dalam ujian sidang terbuka calon doktor. Saya beberapa kali mendengar cerita calon doktor yang mesti menunda ujian terbukanya karena tidak punya biaya. Sebab, ujian terbuka calon doktor biasanya mengundang banyak orang, yang sebagian besar tidak mengerti isi disertasinya, hanya untuk ikut acara makan-makan sehabis ujian.
Kultur feodal yang sudah mengakar kuat dalam dunia akademik ini melahirkan satu kultur lainnya yang sama-sama toksik, yaitu kultur seremonial.
Kampus juga sering merasa perlu mengundang pejabat untuk memberikan sambutan atau pidato kunci (keynote speech) dalam acara seminar atau konferensi (Masduki, 2022). Padahal, bisa jadi pejabat tersebut tidak punya latar belakang keilmuan, apalagi kontribusi teoretik, terkait tema yang akan dibahas. Sebagaimana upacara dalam kultur feodal, undangan untuk pejabat itu hanya simbol pemberian penghormatan. Jadi, tak masalah jika substansi pidatonya tak relevan dengan topik pembahasan.
Kultur feodal dan kultur seremonial itu adalah dua kultur toksik yang akan terus menyandera dunia akademik Indonesia berada dalam keterbelakangan. Jika keduanya terus dibiarkan, Indonesia jangan pernah berharap akan punya pemenang Nobel.
Taufiqurrahman Dosen Fakultas Filsafat UGM dan Direktur Antinomi Institute