Penentuan nilai royalti idealnya dibicarakan secara matang terlebih dahulu antara Lembaga Manajemen Kolektif dan pencipta, baru kemudian disepakati dan dituangkan dalam perjanjian penyuruhannya (surat kuasa).
Oleh
RENDI YUDHA SYAHPUTRA
·3 menit baca
Hak cipta (copy rights) pada hakikatnya adalah hak yang diberikan kepada pencipta untuk memonopoli ciptaannya dalam jangka waktu tertentu. Konsepsi hak cipta dapat dipersamakan dengan hak kepemilikan atas suatu benda pada umumnya, di mana pemilik suatu benda dapat melakukan apa saja terhadap benda yang dimiliki sesuai dengan kehendaknya. Termasuk di dalamnya adalah seperti melarang (tidak mengizinkan) orang lain untuk mempergunakannya.
Selain hak cipta, juga terdapat hak terkait (related rights) yang memberikan hak tersendiri kepada penampil ciptaan untuk memonopoli pertunjukan, rekaman, ataupun siarannya atas suatu ciptaan. Dalam dunia industri, hak ini diberikan kepada para pelaku pertunjukan, produser fonogram, dan lembaga penyiaran.
Namun yang perlu dipahami bersama adalah bahwa hak terkait ini merupakan semacam ”hak turunan” yang lahir dari adanya hak cipta dan berfungsi mengoptimalkan manfaat dari suatu ciptaan. Artinya, dengan teroptimalisasinya manfaat dari suatu ciptaan, maka teroptimalisasi pula kesejahteraan penciptanya.
Keleluasaan yang diberikan kepada penampil ciptaan melalui hak terkait seharusnya tidak diartikan sebagai keleluasaan yang tidak terbatas, seperti dapat menggunakan ciptaan untuk kepentingan komersial tanpa izin terlebih dahulu dari pencipta dan kemudian hanya memberikan imbalan (royalti) ”ala kadarnya” saja kepada pencipta. Jika penampil diberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi keuntungan dari sebuah pertunjukan, rekaman ataupun siarannya atas suatu ciptaan yang dibuat oleh pencipta, maka penciptanya pun seharusnya diberikan keleluasaan juga untuk ”berdialog” mengenai royaltinya.
Persoalan di bidang hak cipta yang menyita perhatian publik belakangan ini adalah munculnya silang pendapat dua legenda hidup musik Indonesia, yaitu Once selaku penyanyi (penampil ciptaan) dan Ahmad Dhani selaku pencipta lagu (pemilik ciptaan). Ahmad Dhani lebih kurang berpendapat bahwa penyelenggara acara (event organizer) yang menampilkan lagu ciptaannya dalam sebuah pertunjukan (dan dinyanyikan oleh Once) harus mendapat izin terlebih dahulu dari Ahmad Dhani. Sementara Once lebih kurang berpendapat bahwa lagu ciptaan Ahmad Dhani dapat dinyanyikan atau ditampilkan dalam sebuah pertunjukan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Ahmad Dhani, tetapi dengan membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Posisi LMK
Pasal 23 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menyebutkan bahwa ”Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa ”imbalan kepada pencipta” adalah royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh LMK.
Secara hukum positif, apa yang disampaikan oleh Once memang sama persis dengan bunyi Pasal 23 Ayat (5) UU Hak Cipta. Namun, bagaimanakah sesungguhnya makna dari pasal tersebut?
Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu mengenai siapakah LMK itu. Dalam pasal tersebut (berikut penjelasannya), LMK seolah-olah tampak seperti ”lebih memiliki hak” ketimbang pencipta, di mana dia dapat menentukan nilai royalti tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari penciptanya. Namun, apabila merujuk pada Pasal 1 angka 22 jo Pasal 88 Ayat (2) Huruf b UU Hak Cipta, LMK sebenarnya adalah institusi berbadan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait untuk mengurus masalah royalti.
Dalam menentukan nilai royalti atas suatu ciptaan, seharusnya didasarkan pada kehendak pencipta juga, bukan hanya didasarkan pada kehendak sepihak dari LMK.
Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa LMK sebenarnya merupakan sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai kepanjangan tangan pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait dalam hal pengurusan atau ”penagihan” royalti. Mungkin dalam bahasa lain bisa juga disebut sebagai debt collector-nya pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait. Artinya, tanpa adanya kuasa dari pencipta, LMK sama sekali tidak memiliki hak ataupun wewenang untuk bertindak mewakili pencipta dalam pengurusan royaltinya.
Hubungan hukum tersebut menegaskan bahwa LMK sejatinya tidak dapat bertindak sepihak atau semaunya sendiri karena apa yang dilakukan oleh LMK sebenarnya hanya sebatas menjalankan ”perintah” dari pencipta sebagaimana perjanjian penyuruhannya (lastgeving). Jadi, dalam menentukan nilai royalti atas suatu ciptaan, seharusnya didasarkan pada kehendak pencipta juga, bukan hanya didasarkan pada kehendak sepihak dari LMK. Oleh sebab itu, dalam menentukan nilai royalti, idealnya dibicarakan secara matang terlebih dahulu antara LMK dan pencipta, baru kemudian disepakati dan dituangkan dalam perjanjian penyuruhannya (surat kuasa).
Dari uraian tersebut di atas, maka maksud ”dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif” seharusnya dimaknai ”dalam hal pencipta dan LMK sudah menyepakati nilai royalti berikut prasyarat lainnya” sehingga Pasal 23 Ayat (2) UU Hak Cipta tidak berat sebelah dan terasa lebih adil. Selama belum terdapat kesepakatan antara pencipta dengan LMK terkait hal tersebut, maka penggunaan ciptaan harus tetap izin terlebih dahulu kepada penciptanya.
Perdebatan antara Ahmad Dhani dan Once yang pada akhirnya melibatkan Menteri Hukum dan HAM sebenarnya tidak perlu terjadi jika LMK benar-benar memahami tugas dan tanggung jawabnya selaku kuasa dari pencipta dalam pengelolaan royalti. Bagaimanapun seorang pencipta adalah ”tuan” bagi LMK yang wajib dihormati serta diperjuangkan hak-haknya dan bukan malah sebaliknya. Semoga dengan goresan pena yang tidak seberapa ini dapat menggugah semua pihak untuk memaknai hukum hak cipta dengan ”cita rasa Indonesia”.