Memperbaiki Jaminan Sosial
Hingga saat ini, pekerja informal belum bisa menjadi peserta JP. Saatnya pemerintah membuka akses pekerja informal atas program JP sehingga akan lebih banyak lagi pekerja Indonesia mendapat manfaat JP di masa tuanya.
Momentum peringatan Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei (May Day) selalu dimaknai sebagai perjuangan untuk perbaikan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Pekerja terus berjuang karena masih banyak persoalan yang dialami hingga saat ini, yang bersumber dari rendahnya kualitas regulasi dan penegakan hukum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU melegitimasi penurunan kualitas perlindungan buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Penolakan UU No 6/2023 menjadi agenda utama Hari Buruh tahun ini.
Selain penolakan UU No 6/2023, tak kalah pentingnya adalah memperjuangkan perbaikan kesejahteraan pekerja melalui program jaminan sosial di UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), khususnya program Jaminan Hari Tua (JHT) dan program Jaminan Pensiun (JP).
Kedua program ini secara filosofi ditujukan guna mendukung kesejahteraan pekerja di masa pensiun. Salah satu acuan perbaikan kedua program ini adalah Konvensi ILO No 102/1952 yang mengatur replacement ratio (RR) minimal 40 persen, yaitu pekerja mampu memperoleh pendapatan minimal 40 persen dari upah.
Baca juga : Presiden: Hari Buruh Internasional, Momentum Tingkatkan Kesejahteraan Buruh
Perbaikan JHT
Implementasi program JHT di UU P2SK akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP), yang akan mengatur tentang komposisi iuran di akun utama (AU) dan akun tambahan (AT), manfaat, dan imbal hasil JHT. Kementerian Keuangan sudah memprakarsai pembahasan PP JHT dan JP.
Penerapan dua akun ini untuk memastikan pekerja memiliki tabungan di masa pensiunnya. Dana JHT di AT masih tetap bisa diambil dalam kondisi tertentu, seperti ketika pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Agar AT mampu mendukung pekerja, maka PP JHT seharusnya mengatur iuran tambahan dari pekerja, lebih dari 2 persen.
Terkait manfaat JHT, harus didorong manfaat layanan tambahan (MLT) lain di luar MLT perumahan, seperti MLT pangan dan transportasi. Imbal hasil JHT harus berperan mendukung kebutuhan hidup pekerja pada saat bekerja, khususnya bagi pekerja dengan upah minimum.
Demikian juga imbal hasil JHT, hendaknya diberikan secara proporsional, yaitu semakin besar upah dan atau saldo JHT, maka imbal hasil JHT-nya akan lebih kecil dari pekerja dengan upah minimum. Namun, semua pekerja tetap mendapat imbal hasil minimal setara dengan tingkat imbal hasil deposito bank pemerintah.
Dengan MLT baru dan imbal hasil proporsional, program JHT dikonstruksi ulang sebagai program yang memenuhi prinsip gotong royong, seperti diamanatkan UU No 40/2004 tentang SJSN (UU SJSN).
Permasalahan jaminan pensiun
Pelaksanaan program JP selama ini masih menuai beberapa masalah, seperti isu keberlanjutan program, akses pekerja bukan penerima upah (PBPU), dan masa tunggu.
Menurut Kementerian Keuangan, dengan tingkat iuran saat ini (3 persen), berdasarkan proyeksi arus kas JP, ketahanan dana JP diperkirakan akan sampai tahun 2068, dan 2069 sudah mengalami defisit.
Demikian juga dengan total iuran JHT dan JP saat ini 8,7 persen tidak akan mencapai 40 persen RR dalam 40 tahun, iuran 15 persen mencapai 40 persen dalam 35 sampai 36 tahun, dan iuran 20 persen mencapai 40 persen dalam 30 tahun.
Pasal 16 Ayat (2) PP No 46/2015 mengamanatkan iuran JHT paling lama tiga tahun dievaluasi dan Pasal 28 Ayat (4) PP No 45/2015 iuran JP paling singkat tiga tahun dievaluasi. Namun, hingga saat ini, iuran JHT dan JP tidak pernah dievaluasi. Oleh karena itu, penting untuk mengatur peta jalan kenaikan iuran JHT dan JP secara eksplisit di PP nantinya.
Pekerja terus berjuang karena masih banyak persoalan yang dialami hingga saat ini, yang bersumber dari rendahnya kualitas regulasi dan penegakan hukum.
Hingga saat ini, PBPU atau pekerja informal belum bisa menjadi peserta JP, walaupun Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Presiden No 109/2013 membuka akses pekerja informal mengikuti JP. Menurut BPS, per Agustus 2022, jumlah angkatan kerja yang bekerja di sektor formal sebanyak 55,06 juta orang dan yang bekerja di sektor informal 80,24 juta orang.
Sudah saatnya pemerintah membuka akses pekerja informal atas program JP sehingga akan lebih banyak lagi pekerja Indonesia mendapat manfaat JP di masa tuanya, dan mendukung keberlanjutan pembayaran iuran JP bagi pekerja formal yang mengalami PHK.
Masalah masa tunggu, yaitu perbedaan usia pensiun dan usia mendapatkan manfaat JP, berpotensi melebar. Pasal 15 PP No 45/2015 mengatur usia mendapatkan manfaat pensiun naik setahun setiap tiga tahun.
Awalnya usia mendapatkan manfaat JP 56 tahun, naik setiap tiga tahun, hingga 65 tahun.
Masa tunggu yang lama akan menyulitkan pekerja mempertahankan daya belinya pascapensiun. Oleh karena itu, PP JP harus memastikan pekerja langsung mendapatkan manfaat pensiun ketika memasuki usia pensiun. Pekerja akan dapat melanjutkan kepesertaannya di program Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Kematian, dengan iuran yang dibayar dari dana JP.
Potensi masalah
Potensi masalah muncul di Pasal 189 Ayat (4) UU P2SK, yaitu pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib dengan penghasilan tertentu, yang pengelolaannya diserahkan kepada dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) atau dana pensiun pemberi kerja (DPPK).
Dengan program pensiun tambahan ini, maka basis upah iuran JHT akan dibatasi, dan ini akan lebih mempersulit pekerja memperoleh RR minimal 40 persen di masa pensiunnya. Lalu, pengelolaan pensiun tambahan bersifat wajib di DPPK atau DPLK bertentangan dengan UU SJSN dan UU No 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
Pembahasan PP JHT dan JP harus melibatkan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB), dan dibahas secara transparan. Masyarakat dan SP/SB berhak mendapatkan naskah akademik dan/atau rancangan PP ini sehingga bisa memberi masukan.
Selamat Hari Buruh Internasional.
Timboel Siregar Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengurus OPSI-KRPI