Dalam banyak kasus, hambatan daya saing dan investasi lebih banyak bersumber dari birokrasi yang berbelit, ekonomi biaya tinggi, buruknya infrastruktur, maraknya pungutan, dan sistem perpajakan yang tidak kompetitif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kian meluasnya praktik sistem kerja kontrak dan keengganan industri mengurangi ketergantungan pada staf kontrak kian mengancam posisi tawar dan kesejahteraan pekerja.
Hasil survei terhadap 1.162 perusahaan yang dirilis JobStreet Indonesia, ”2022–2023 Outlook: Rekrutmen, Kompensasi, dan Benefit”, menunjukkan animo sebagian besar responden mempertahankan atau menambah jumlah staf kontrak dalam perekrutan tenaga kerja mereka (Kompas, 28/4/2023).
Sistem yang cenderung merugikan pekerja tak terampil ini menjadi problem besar bagi Indonesia karena sebagian besar tenaga kerja kita kurang terampil. Menurut data BPS, Agustus 2022, sebanyak 54,31 persen angkatan kerja kita berpendidikan SMP ke bawah.
Kita tak bisa mengelak, sistem kontrak telah menjadi tren global yang tak terhindarkan, sebagai imbas dari upaya dunia usaha global untuk melakukan efisiensi. Pasar kerja yang kaku sering dianggap sebagai hambatan bagi daya saing dan investasi. Jika tak menyesuaikan diri, kita ditinggal.
Kebutuhan mengatasi angka pengangguran secepatnya dan ketidakmampuan menyiapkan angkatan kerja untuk beradaptasi dengan tuntutan pasar membuat pemerintah terkesan begitu gampang meliberalisasi pasar kerja. Ada kebutuhan untuk menciptakan iklim investasi yang business friendly, yang diyakini akan menjanjikan penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya. Dalam beberapa aspek, hal ini dilakukan dengan mengorbankan perlindungan terhadap pekerja.
Serikat pekerja menganggap pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan undang-undang penggantinya (UU No 6/2023) telah melempangkan jalan bagi kapitalisme dan perbudakan modern. Undang-undang itu lebih fleksibel dalam pengaturan alih daya dan pekerja paruh waktu (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT).
Sebaliknya, kalangan pelaku usaha, antara lain diwakili Apindo, menilai pembatasan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan tidak lagi relevan di tengah kemunculan pekerjaan baru pada era 4.0 dan lonjakan kebutuhan pekerja terampil.
Pada akhirnya, dibutuhkan formula seimbang serta adil antara tuntutan mewujudkan iklim investasi kondusif bagi penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan kewajiban negara memberikan perlindungan serta jaminan kehidupan yang layak bagi warganya.
Bagaimana bisa mewujudkan yang satu tanpa mengorbankan yang lain? Juga, harus seberapa fleksibel pasar kerja? Di sejumlah negara, pengangguran tetap tinggi meski pasar kerja sudah dibuat sedemikian fleksibel. Inilah pentingnya perluasan perlindungan kerja bagi semua jenis pekerjaan, tanpa melihat hubungan kerja. Kita mengapresiasi berbagai langkah yang telah ditempuh pemerintah dalam hal ini.
Fleksibilitas pasar tenaga kerja sering kali juga bukan jawaban mujarab tunggal bagi tingginya pengangguran. Dalam banyak kasus, hambatan daya saing dan investasi justru lebih banyak bersumber dari birokrasi yang berbelit, ekonomi biaya tinggi, buruknya infrastruktur, maraknya pungutan (red tape), sistem perpajakan yang tidak kompetitif, tak adanya kepastian hukum, dan faktor lain. Semua itu juga perlu dibenahi. Selamat Hari Buruh 1 Mei 2023!