Kegaduhan Pariwisata Sinyal Kehancuran Subak di Bali
Subak menjadi pilar penyangga keajekan budaya Bali selain desa adat, dan ini menjadi daya tarik wisata. Namun, perkembangan pariwisata di Bali juga munculnya kegaduhan-kegaduhan pariwisata, mengancam kelestarian subak.
Ada dua fenomena menarik yang sedang hangat diperbincangkan orang tentang Bali pada awal April 2023. Kegaduhan pariwisata dan berpulangnya Prof Wayan Windia, salah seorang tokoh yang getol memperjuangkan pelestarian subak.
Sepintas dua isu yang sedang menjadi buah bibir tersebut tidak ada hubungan sama sekali. Namun, bagi sekelompok orang yang terbiasa menyelisik akar masalah kehidupan sosial kemasyarakatan, kedua hal tersebut menjadi sinyal bahwa ”kehancuran” subak kian dekat.
Kegaduhan pariwisata mencuat ketika Bali menjadi destinasi pilihan oleh wisatawan nakal, yang melakukan perjalanan bukan semata-mata untuk mendapatkan pengalaman wisata, tetapi memiliki niat terselubung mengais rezeki secara ilegal. Kegaduhan pariwisata muncul karena sejumlah wisatawan tidak menaati aturan hukum yang berlaku di Indonesia, seperti naik sepeda motor tanpa helm dan menggunakan pelat nomor kendaraan palsu.
Wisatawan juga ditengarai tidak menghargai budaya dan kehidupan tradisional masyarakat Bali. Kasus foto telanjang atau video perbuatan tidak senonoh di tempat yang disucikan orang Bali acap kali viral di media sosial. Lebih parah lagi, kebiasaan orang Bali memelihara ayam kampung di permukimannya diprotes dan mendapatkan petisi penolakan dari warga asing.
Baca juga : Turis Dibidik, Dollar Dikejar
Kasus lain yang membuat orang Bali tidak nyaman di tanah kelahirannya. Banyak wisatawan bekerja secara ilegal dan menyaingi orang Bali dalam mencari penghidupan, mulai dari rental sepeda motor, mengelola akomodasi pawisata, pedagang kaki lima, fotografer, pemandu wisata, hingga pekerja seks komersial.
Kondisi tersebut sebagai bukti bahwa harapan agar Bali dikunjungi wisatawan yang berkualitas semakin jauh. Sejak beberapa dasawarsa silam, pembangunan pariwisata berkelanjutan melalui upaya menjaring wisatawan dari kalangan borjuis (berduit) datang ke Bali digemakan oleh pemegang kebijakan dan para oposannya.
Harapannya, jika wisatawan berduit yang datang, maka fenomena economic leakage atau menguapnya manfaat ekonomi pembangunan pariwisata dari Bali teratasi. Hal ini karena wisatawan yang datang menghabiskan banyak uang, dan masyarakat Bali senang menerima manfaat pariwisata sehingga kehidupan masyarakat Bali pun semakin sejahtera.
Menjadikan pariwisata sebagai solusi jitu mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah dan antarsektor tampaknya semakin jauh dari harapan. Tahun 1990-an, ketika pembangunan pariwisata mencapai titik keemasan di Bali, muncul fenomena ketimpangan pendapatan masyarakat.
Bagi masyarakat yang bermukim di kawasan pariwisata di Bali selatan, terutama wilayah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, pendapatannya sangat tinggi. Sementara masyarakat di wilayah kabupaten miskin, seperti Bangli, Klungkung, Karangasem, dan Jembrana, yang potensi wisatanya terbatas, pendapatan sangat kecil dari hasil menjual produksi komoditas pertanian ataupun bekerja sebagai buruh tani.
Kini ketimpangan itu (mungkin) semakin kecil bukan dalam konteks pendapatan petani meningkat mendekati pendapatan masyarakat di destinasi pariwisata yang tinggi, tetapi sebaliknya pendapatan masyarakat dari daerah gemerincing dollar merosot tajam ”menyesuaikan” dengan tingkat pendapatan petani yang minim. Kehidupan orang Bali pun semakin tertekan.
Kegaduhan pariwisata tidak semata-mata karena wisatawan nakal, perilaku warga Bali yang tidak mau tahu aturan yang berlaku juga menjadi pemicunya.
Gejala FOMO
Kegaduhan pariwisata tidak semata-mata karena wisatawan nakal, perilaku warga Bali yang tidak mau tahu aturan yang berlaku juga menjadi pemicunya. Ditemukannya sejumlah warga asing memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) secara tidak sah alias tanpa proses naturalisasi atau pindah kewarganegaraan secara resmi menjadi salah satu bukti. Wisatawan mendapatkan KTP itu karena ada orang lokal yang membantu mengurusnya dengan imbalan fantastis.
Tentu saja, orang lokal yang menjadi bagian dari sindikat pembuatan KTP melalui upaya mengelabui petugas dengan mencantumkan orang asing di kartu keluarga tanpa prosedur yang sesuai regulasi pindah menjadi WNI secara resmi. Mereka menutup mata terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negerinya. Sikap dan tindakan warga lokal semacam itu dapat disebut menguatkan dugaan bahwa orang Bali mengalami gejala fear of missing out (FOMO) di tengah pesatnya pembangunan pariwisata.
Secara harfiah FOMO diartikan sebagai kondisi seseorang yang takut kehilangan sesuatu. Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan yang ”tidak sehat” di Bali, FOMO merupakan indikasi ketakutan orang Bali tidak dapat menikmati bagian dari kue kepariwisataan. Sebagian masyarakat yang tidak memiliki modal usaha dan kualifikasi sumber daya manusia yang tidak sesuai kebutuhan sektor pariwisata menggunakan jalan pintas agar dapat merengkuh manfaat ekonomi pariwisata.
Gejala FOMO sudah terindikasi cukup lama dalam dunia pariwisata di Bali, fenomena agresivitas pedagang acung yang diduga menjadi pemicu keengganan wisatawan berkunjung ke Kintamani sebelum menyeruaknya tren menikmati kopi arabika Kintamani di kafe yang berdiri di kawasan kaldera Batur. Agresivitas pedagang acung itu bisa dibaca sebagai ”ketakutan” warga lokal yang tidak memiliki restoran atau bekerja di restoran di mana mereka tidak mampu meraup pendapatan dari aktivitas kepariwisataan di kawasan tersebut.
Kasus agresivitas pedagang acung bisa jadi FOMO yang berskala kecil dan relatif sederhana, pemegang kebijakan dapat mengantisipasi dengan meningkatkan pemahaman sadar wisata ataupun Sapta Pesona bagi pedagang acung. Dengan demikian, sikap agresif pedagang acung yang sempat menimbulkan ketidaknyamanan wisatawan dapat diatasi secara berangsur.
Sejatinya ada gejala FOMO yang jauh lebih mengkhawatirkan dan berdampak pada kehancuran kebudayaan Bali di masa depan. Gejala tersebut dibaca dan disuarakan Prof Wayan Windia, salah seorang akademisi yang getol mengingatkan orang Bali harus menjaga kelestarian sawahnya. Jika sawah-sawah di Bali lenyap, berarti subak (lembaga tradisional yang mengatur distribusi air irigasi bagi petani di lahan basah) akan punah.
Penyangga budaya
Banyak peneliti menyimpulkan bahwa subak menjadi pilar yang menyangga keajekan budaya Bali selain desa adat. Ini karena subak sebagai institusi tradisional yang mengimplementasikan filosofi tri hita karana (tiga faktor penyebab kebahagiaan umat manusia) yang menjadi nilai-nilai kearifan lokal, selaras dengan ideologi pembangunan berkelanjutan yang berlaku secara internasional.
Prof Wayan Windia mengingatkan pentingnya pelestarian subak tidak hanya melalui kajian teoretis yang akademis melalui artikel ilmiah dan ilmiah populer (opini di surat kabar), tetapi juga pendekatan praktis dan sedikit emosional. Pernyataannya agar UNESCO mencabut status warisan budaya dunia (WBD) bagi Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan sempat menyulut emosi dan sakit hati sejumlah pihak.
Usulan Prof Windia itu tidak hanya di Bali, tetapi sempat diutarakan langsung di markas UNESCO. Beliau menilai alih fungsi lahan yang sudah masif di kawasan itu tidak sesuai lagi dengan ”roh” penyelamatan subak melalui WBD.
Yang menjadi ancaman bagi kelestarian subak adalah fenomena petani yang menjual/mengontrakkan sawah di pinggir sungai/saluran irigasi untuk dialihfungsikan sebagai vila.
Kala penyelamatan disuarakan dengan lantang, di sisi yang lain fenomena perjalanan wisata ”back to nature” mendarah daging dalam aktivitas kepariwisataan ternyata membawa ekses negatif bagi eksistensi subak. Wisatawan yang ingin menyatu dengan alam kini menikmati Bali tidak lagi menyewa hotel mewah di Bali selatan, tetapi banyak dari mereka tinggal di vila-vila yang dibangun di wilayah hijau di pinggir sungai.
Akibatnya, banyak teba atau area pekarangan di belakang rumah orang Bali yang sebelumnya difungsikan untuk kandang babi/sapi atau tempat buang sampah disulap menjadi vila untuk wisman seperti yang berkembang di Banjar Umabian, Kecamatan Marga Tabanan. Yang menjadi ancaman bagi kelestarian subak adalah fenomena petani yang menjual/mengontrakkan sawah di pinggir sungai/saluran irigasi untuk dialihfungsikan sebagai vila.
Vila tersebut tidak dikelola oleh pemilik lahan, tetapi sebagian besar dikontrak atau dibeli orang asing. Ketika isu wisatawan nakal mencuat dan mereka diduga memiliki perkampungan sendiri di Ubud menjadi bukti bahwa kecenderungan memindahtangankan penguasaan sawah ke orang asing nyata adanya. Wisman membangun dan memasarkan vilanya secara langsung.
Hal inilah menjadi salah satu sumber kegaduhan pariwisata yang sedang dibicarakan orang karena campur tangan orang Bali semakin sedikit atau bahkan tidak ada. Artinya, orang Bali sudah betul-betul kehilangan kesempatan bekerja dan berusaha di sektor pariwisata dan FOMO orang Bali semakin meluas dan sulit dipecahkan.
Fakta itu terekam pada situasi sosial di sejumlah banjar di Bali, utamanya di kawasan Ubud saat ini berkembang perhitungan bisnis taktis yang sangat praktis di kalangan petani/pemilik sawah. Seperti diungkapkan banyak penelitian sejak beberapa dasawarsa bahwa rata-rata petani Bali memiliki sawah seluas 30 are. Saat ini harga sewa lahan per are di Bali sekitar Rp 2,5 juta. Jadi, agar mendapatkan uang yang cepat dalam jumlah relatif besar, petani cukup berhitung Rp 2,5 juta kali 30 are kali lamanya masa kontrak.
Baca juga : Otonomi Subak, Kemandirian Petani Bali
Mengontrakkan sawah sepintas menguntungkan petani karena tanpa bekerja mereka mendapatkan uang banyak yang dapat dijadikan modal usaha. Namun, sawah yang beralih fungsi dan petani yang tidak lagi terjun ke sawah berarti aktivitas pertanian dalam subak lenyap dan kelembagaan subak tidak dibutuhkan lagi. Peran subak sebagai penyangga kebudayaan Bali dan pengembangan pariwisata budaya di Bali akan punah di masa depan.
Lantas, jika subak hancur, apakah pariwisata Bali tetap berkelanjutan? Jawabnya bisa jadi akan mengikuti perjalanan sang pejuang kelestarian subak ke dunia fana. Selamat jalan Prof Windia.
I Made Sarjana, Sekretaris Umum Ikatan Sosiologi Indonesia Wilayah Bali; Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana
Facebook: made.sarjana2; Instagram: madesarjana72