Legitimasi Penyelenggaraan Pemilu
Pemilu yang baik harus legitimate secara proses dan hasil. Mesti dipastikan proses persiapan penyelenggaraan pemilu di semua lini dan level telah berjalan dengan adil, jujur, transparan, dan akuntabel. Tidak curang.
Tuntutan publik terhadap kinerja para penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, semakin hari semakin tinggi.
Bahkan ada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dipersoalkan pihak pengadu lantaran dianggap kurang memenuhi rasa keadilan. Misal, putusan perkara dugaan intimidasi dan verifikasi faktual data parpol peserta pemilu di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam perkara itu, DKPP memberi sangsi pemberhentian jabatan untuk kepala Divisi Teknis KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, menjatuhkan sangsi peringatan keras ke ketua KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan sanksi peringatan untuk ketua dan dua anggota KPU Provinsi Sulawesi Utara.
Sejauh ini, para teradu yang diberi sanksi DKPP bersikap diam dan menerima. Sementara pengadu menilai DKPP tak berupaya mencari dalang manipulasi (Kompas, 4/4/2023).
Ini mengindikasikan tingkat kepedulian masyarakat dalam mengawal dan mengawasi kinerja penyelenggara pemilu di tingkat pusat, provinsi, ataupun kabupaten dan kota semakin meningkat. Teknologi informasi (TI) memungkinkan masyarakat sedemikian rupa mengawasi, mendiskusikan, bahkan melaporkan hal-hal terkait penyelenggaraan persiapan pemilu di daerah masing-masing.
Baca juga : Serius Mengurus Pemilu
Baca juga : Uji Materi Sistem Pemilu Terus Bergulir, KPU Tak Terpengaruh
TI telah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja lembaga pemerintahan, tanpa terkecuali, yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemilu. Begitu ditemukan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu, masyarakat lalu mendiskusikannya di forum-forum medsos.
Tak jarang terjadi penghakiman terhadap penyelenggara pemilu yang belum tentu bersalah. Namun, secara umum hal ini berdampak positif, bahwa kontrol terhadap kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu dilakukan secara intensif oleh masyarakat. Dengan demikian dapat diharapkan para penyelenggara pemilu semakin hati-hati, lebih profesional, dan bertanggung jawab.
Angka pengaduan etika penyelenggara pemilu ke DKPP juga meningkat pesat. Selama empat bulan terakhir, jumlah pengaduan yang masuk ke DKPP mencapai 162. Sebanyak 73 perkara sudah disidangkan dan diputus. Pada 2022, jumlah pengaduan hanya 132 perkara.
Data ini mencerminkan, masyarakat kian memahami bagaimana memperkarakan temuan terkait kinerja lembaga penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Muncul harapan yang semakin membesar agar lembaga seperti DKPP bisa menegakkan rasa keadilan terkait bagaimana penyelenggara pemilu menetapkan daftar pemilih, menyeleksi atau memverifikasi kelayakan calon peserta pemilu, merekrut panitia penyelenggara pemilu, dan lain-lain.
Ilustrasi Pemilu
Sikap moral penyelenggara pemilu
Beban kerja dan tanggung jawab penyelenggara pemilu pun semakin hari semakin meningkat. KPU, Bawaslu, dan DKPP senantiasa jadi sorotan publik. Begitu ada isu miring tentang kinerja KPU atau Bawaslu, mata publik langsung tertuju ke DKPP sebagai lembaga yang memegang otoritas menangani dugaan-dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan, DKPP adalah lembaga yang bertanggung jawab menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Pasal 156 Ayat 1 menyatakan tugas DKPP adalah menerima aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Pada tahap selanjutnya, DKPP melakukan pemeriksaan dokumen, penyelidikan, dan verifikasi atas aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran tersebut. Problem utama yang dihadapi DKPP dalam konteks ini adalah rendahnya tingkat kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melaksanakan kode etik penyelenggara pemilu.
Rendahnya tingkat kesadaran tidak hanya terjadi pada tingkat masyarakat, tetapi juga pada penyelenggara pemilu itu sendiri. Banyak dari mereka lupa bahwa mereka harus senantiasa menjaga jarak dengan parpol, calon kontestan pemilu, dan pemangku kepentingan lainnya.
Banyak dari mereka lupa bahwa mereka harus senantiasa menjaga jarak dengan parpol, calon kontestan pemilu, dan pemangku kepentingan lainnya.
Di saat yang sama, semakin mudah bagi unsur-unsur masyarakat untuk mengidentifikasi, mendiskusikan, dan melaporkan hal-hal yang dianggap menyimpang atau mencurigakan dari perilaku dan sikap penyelenggara pemilu di lapangan. Ini cukup menjelaskan mengapa angka pengaduan ke DKPP belakangan meningkat pesat.
Dalam menjalankan tugasnya, DKPP mesti bertolak dari sikap moral sebagai berikut. Pertama, menjunjung tinggi prinsip keadilan. DKPP mesti senantiasa bersikap adil terutama terhadap mereka yang merasa dirugikan oleh penyelenggara pemilu. Hal yang tak kalah penting, prinsip keadilan juga perlu ditegakkan untuk para penyelenggara pemilu sendiri.
Kedua, DKPP mesti tegas dalam menegakkan peraturan, yakni UU Pemilu No 7/2017. Sebagian unsur masyarakat merasa kecewa atau merasa dirugikan oleh kinerja KPU atau Bawaslu. Sebagian unsur masyarakat yang lain menilai KPU dan Bawaslu kedodoran dalam mempertahankan integritas dan independensinya. Muncul harapan agar DKPP memberikan sanksi yang tegas dan keras terhadap mereka demi menjaga kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan tahap-tahap persiapan pemilu.
Sanksi yang tegas dan keras memang diperlukan untuk pelanggaran etika yang serius dan nyata-nyata merugikan kepentingan publik atau peserta pemilu. Sikap adil ini juga mesti diterapkan kepada penyelenggara pemilu yang sedang menjadi sorotan publik atau sedang diperkarakan. Perlu dihindari keadaan di mana penyelenggara pemilu menanggung sanksi yang tak sebanding dengan kesalahan yang diperbuat.
Ilustrasi
Maka, bertindak adil dan tegas perlu diimbangi dengan sikap moral yang ketiga, yakni mampu senantiasa bersikap bijaksana dan hati-hati. Di sini tantangan moral yang dihadapi DKPP semakin kompleks. Bagaimana bisa bersikap tegas sekaligus bijaksana? Bagaimana menjatuhkan sanksi yang tegas atas pelanggaran etika penyelenggara pemilu di satu sisi, tetapi juga tidak mengorbankan para penyelenggara pemilu yang belum tentu bersalah atau melakukan kesalahan serius?
Bagaimana dapat menangani pengaduan masyarakat secara cepat, terbuka, dan persisten di satu sisi, tetapi juga dapat senantiasa menjaga ”asas praduga tak bersalah” di sisi lain?
Bagaimana dapat memenuhi harapan publik untuk menegakkan etika penyelenggara pemilu secara konsekuen, tetapi juga memastikan langkah tersebut tidak berdampak negatif pada keadaan politik menjelang Pemilu 2024 secara lebih luas?
Tentu saja ini bukan perkara-perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap moral yang keempat, yakni mampu bersikap dan memutuskan secara proporsional berdasarkan peraturan yang berlaku.
Maka, bertindak adil dan tegas perlu diimbangi dengan sikap moral yang ketiga, yakni mampu senantiasa bersikap bijaksana dan hati-hati.
Mempertahankan Kepercayaan publik
Hal yang tak kalah penting adalah memperhitungkan dampak keputusan DKPP terhadap kelangsungan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Di sini dituntut kebijaksanaan pada level yang lebih tinggi.
DKPP perlu senantiasa berusaha agar keputusan-keputusannya semakin memperkuat legitimasi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. DKPP memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan atau setidaknya mempertahankan kepercayaan publik pada pemilu.
Dalam konteks ini, perlu diantisipasi lahirnya keputusan-keputusan yang berdampak negatif terhadap kelangsungan penyelenggaraan tahap-tahap persiapan pemilu atau keputusan yang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemilu.
Pemilu Indonesia adalah pemilu terbesar ketiga dunia dari sisi jumlah pemilik hak pilih. Indonesia adalah negara multikultur terbesar di dunia yang masih bertahan hingga saat ini. Maka, dapat dibayangkan kompleksitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Kita patut bersyukur bahwa dengan berbagai kekurangan dan kontroversi yang pernah ada, penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejauh ini berjalan baik, bahkan mendapatkan banyak apresiasi dari kalangan internasional.
Pemilu yang baik harus legitimate secara proses dan hasil.
Pemilu yang baik harus legitimate secara proses dan hasil. Pemilu harus berjalan dengan aman, lancar, mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Namun, sebelum ini, mesti dipastikan proses persiapan penyelenggaraan pemilu di semua lini dan semua level telah berjalan dengan adil, jujur, transparan, dan akuntabel.
Kemenangan atau kekalahan peserta pemilu dengan demikian tidak bersumber dari rekayasa atau kecurangan, tetapi semata-mata karena elektabilitas yang berbeda di mata masyarakat sebagai pemilih hak suara. Legitimasi pemilu sebagai sebuah proses politik sangat ditentukan oleh integritas dan moralitas para penyelenggaranya.
Heddy LugitoKetua DKPP RI 2022-2027