Krisis Kebebasan Sipil
Refleksi kritis tentang kritik warga negara harus ditempatkan sebagai ruang ekspresi warga negara untuk melakukan fungsi sosialnya. Kita perlu mendorong dan merawat subur praktik-praktik ”social citizenship”.
Hari-hari ini kita disuguhkan dengan beberapa kasus yang menjadi perhatian publik. Kasus pertama, persidangan kasus dua aktivis hak asasi manusia atau HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Dalam persidangan, jaksa penuntut umum mendakwa Haris dan Fatia dengan dugaan tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Kasus tersebut bermula dari unggahan video dalam kanal Youtube Haris Azhar berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam”. Dalam video itu, Haris dan Fatia menyebut Luhut sebagai salah satu yang berada di balik perusahaan bisnis tambang di Papua. Luhut merasa tidak terima dan kemudian melaporkan Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya pada September 2021.
Kasus kedua, seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Makassar dilaporkan ke Polda Sulawesi Tenggara karena skripsinya dianggap merendahkan harga diri suku Tolaki. Judul skripsinya adalah ”Asumsi Masyarakat Bugis terhadap Ideologi Suku Tolaki di Kolaka Utara”. Salah satu reaksi keras datang dari Bupati Konawe yang merupakan tokoh masyarakat Tolaki.
Baca juga: Haris Azhar dan Fatia Didakwa Cemarkan Nama dan Kehormatan ”Lord Luhut”
Kasus ketiga yang saat ini sedang viral di publik adalah seorang Tiktoker bernama Bima Yudho Saputro yang mengkritik Pemerintah Provinsi Lampung. Dalam tayangan Tiktok-nya, Bima menyebut beberapa alasan kenapa Lampung tidak pernah maju terutama dalam pembangunan infrastruktur. Akibatnya, keluarga Bima di Lampung Timur mengalami intimidasi. Bima yang sedang studi di Australia mendapatkan perlindungan dari Pemerintah Australia yang siap memberikan jaminan pekerjaan dan masa depan.
Dari ketiga kasus tersebut, benang merahnya bisa dilihat dari pelemahan peran dan kontrol masyarakat sipil terhadap isu dan pejabat publik. Kita menghadapi kondisi hilangnya kebebasan ruang sipil untuk terlibat dalam isu-isu publik. Di sisi lain, kita juga melihat menguatnya gejala antikritik di kalangan pejabat publik.
Apa yang dilakukan Haris dan Fatia atau Bima adalah bagian dari kritik sosial yang merupakan bagian dan tanggung jawab masyarakat sipil. Haris dan Fatia mengkritik dengan beberapa data yang dimilikinya. Bima sebagai seorang warga Lampung yang merasakan sehari-hari pembangunan tidak berjalan di Lampung dan ingin menyuarakan aspirasi rakyat yang lainnya dengan akun Tiktok-nya. Adapun skripsi mahasiswa yang membahas sebuah masyarakat adat adalah kajian akademik yang dilakukan dengan serangkaian proses akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga kasus ini kemudian secara ironis harus berhadapan dengan kepolisian ditambahkan serangkaian intimidasi terhadap pelakunya.
Memahami ruang sipil
Fenomena melemahnya kebebasan ruang sipil seperti yang dalam ketiga kasus tersebut sejatinya bukanlah hal yang baru. Pada 2022, lembaga riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei bertepatan peringatan 24 Tahun Reformasi. Hasilnya menunjukkan, kebebasan sipil di Indonesia semakin buruk berdasarkan data lima tahun terakhir, yaitu 2017 hingga tahun 2022. Salah satu indikator dari survei tersebut adalah pelemahan kebebasan berkumpul atau berserikat yang menurun secara dramatis pasca-Pemilu 2019.
Pada 2023, laporan riset yang dilakukan CIVICUS, yaitu jaringan global yang mengukur kebebasan sipil di 197 negara, menunjukkan, kondisi kebebasan ruang sipil di Indonesia pada peringkat terhalang (obstructed). Laporan CIVICUS berjudul ”People Power Under Attack 2022” mengenai regresi kebebasan sipil.
Kategori terhalang merujuk adanya pelemahan dan berbagai pembatasan (restriksi) hak sipil. Selain kategori terhalang, terdapat tiga kategori lainnya, yaitu tertutup (closed), tertekan (repressed), dan terbuka (open). Negara yang masuk ke dalam kategori tertutup adalah China, Vietnam, Laos, Afghanistan, Myanmar, Hong Kong, dan Korea Utara. Taiwan menjadi negara yang berada pada kategori terbuka (open).
Pada 2023, laporan riset yang dilakukan CIVICUS, yaitu jaringan global yang mengukur kebebasan sipil di 197 negara, menunjukkan, kondisi kebebasan ruang sipil di Indonesia pada peringkat terhalang ( obstructed).
Negara yang masuk ke dalam kategori tertekan adalah Filipina, Kamboja, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Bangladesh, Pakistan, dan India. Untuk kategori terhalang, selain Indonesia terdapat negara lain, seperti Malaysia, Sri Lanka, Bhutan, Maldives, Timor Leste, dan Nepal.
Catatan Auditya Saputra dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menjelaskan, kondisi Indonesia termasuk negara yang tersumbat kebebasan ruang sipilnya. Ruang sipil (civic space) memungkinkan seorang warga negara terlibat aktif dalam isu politik, ekonomi, dan sosial. Individu menjadi aktor penting yang bisa memainkan perannya secara personal/otonom atau berserikat untuk berbagi minat/perhatian untuk memengaruhi kebijakan publik.
Individu sebagai warga negara dalam ruang sipil memiliki kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan menyebarkan informasi. Kebebasan sipil sudah dijamin dan sebagai bagian dari hak-hak sipil dan politik warga negara yang wajib dihormati, dipenuhi, dan dilindungi negara. Kebebasan sipil bersumber dari martabat setiap manusia dan melekat pada setiap manusia.Pada dasarnya kebebasan sipil adalah sebuah nilai yang didasarkan pada nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Sementara itu, kita mendefinisikan hak sipil sebagai hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia. Terminologi ”sipil” merujuk kepada kelas yang melindungi hak-hak kebebasan individu dari pelanggaran yang tidak beralasan oleh negara atau nonnegara, seperti korporat.
Penekanan hak sipil adalah bagaimana negara melindungi kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi dan penindasan. Beberapa hak-hak sipil universal meliputi kebebasan berbicara, berpikir, dan berekspresi, agama, serta pengadilan yang adil dan tidak memihak.
Kita bisa melihat bahwa saat ini kita berhadapan dengan lemahnya pelindungan kebebasan dan hak-hak sipil di Indonesia. Serangan terhadap individu yang dianggap kritis dengan perspektif kritisnya dianggap merongrong dan mencemarkan nama baik. Kritik kemudian dihadapkan dengan pembungkaman terhadap suara rakyat. Hal ini membuat kita mempertanyakan kembali esensi kritik sebagai bagian dari eksistensi warga negara.
Baca juga: Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat
Sebelum ketiga kasus tadi terjadi, ada beberapa juga kasus penangkapan terhadap aktivis yang melakukan kritik dalam menyampaikan pendapatnya. Apa pun bentuk penangkapan adalah gejala dari matinya nalar sehat di republik ini. Nalar sehat dan kritik menjadi antagonisme kekuasaan yang harus diberangus dan mengancam kekuasaan itu sendiri.
Antikritik sudah menyebar di kalangan pejabat yang seharusnya menyemai kewarasan berpikir. Kritik dianggap sebagai tabu dan direspons dengan laporan ke kepolisian. Antikritik sudah mengakar kuat di kalangan pejabat. Kritik harus dihadapi dengan respons dialogis tanpa perlu melaporkan ke kepolisian. Kritik konstruktif adalah cermin dari menguatnya kebebasan sipil yang harus dihargai dan dikembangkan sebagai mekanisme sosial dalam kebijakan publik.
Merawat ”social citizenship”
Refleksi kritis tentang kritik warga negara harus ditempatkan sebagai ruang ekspresi warga negara untuk melakukan fungsi sosialnya dengan memberikan kritik dan koreksi terhadap realitas dan fenomena yang dianggap tidak benar. Mereka melakukan itu dalam kerangka menjalankan akal sehat dan menjadi afirmasi partisipasi publik. Kritik mereka harus ditempatkan sebagai masukan dan pandangan bagi siapapun. Bahwa mereka yang memiliki jabatan publik tentu risikonya adalah harus siap menerima kritik. Menjadi tidak waras, jika kritik dianggap sebagai senjata membungkam mereka.
Kritik publik yang dilakukan warga negara seperti aktivis atau akademisi, jika meminjam penjelasan TH Marshall, adalah bagian dari diskursus social citizenship. Konsep ini pertama kali diintrodusir Marshall yang menjelaskan bagaimana keterlibatan warga negara untuk mengakses politik, hak sipil, dan hak publik di negaranya. Dalam penjelasan awalnya (abad ke-18), Marshall misalnya, menjelaskan bagaimana setiap warga negara memiliki kesamaan dalam hak sipil (civil rights),kebebasan berbicara (freedom of speech), atau hak kepemilikan (right to property).
Baca juga: Masyarakat Sipil dan Panggilan Kemanusiaan
Secara sosiologis, penjelasan Marshall menjelaskan kritik warga negara sebagai realitas sosial yang terikat kuat dengan relasi antara negara dan masyarakat. Marshall menyebut tiga kategori kewarganegaraan, yaitu hak sipil, hak politik (political rights), dan hak sosial (social rights). Hak sipil merujuk kepada hak mendasar bagi kebebasan individu dan mempertahankan diri sebagaimana hak yang juga melekat bagi setiap orang. Hak politik adalah kebebasan individu untuk ikut berpartisipasi dalam kekuasaan politik. Hak sosial berkaitan dengan hak mendapatkan kesejahteraan dan keamanan yang didapatkan warga negara.
Penjelasan Marshall ini saya kira relevan dengan kasus-kasus penangkapan/pembungkaman aktivis dan upaya-upaya pembungkaman kebebasan berekspresi. Kita perlu mendorong dan merawat subur praktik-praktik social citizenship di negeri ini. Dengan cara merawat akal sehat inilah, republik ini akan terus bernapas dengan sehat.
Rakhmat Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Visiting Scholar di National Taiwan University (NTU)