Dalam sebuah kesempatan, Masayoshi Son mengatakan, SoftBank akan beroperasi dalam langgam bertahan dan menjadi lebih konservatif. Langkah ini tentu berkebalikan dengan langkah mereka saat berjaya.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Beberapa tahun lalu kita bisa melihat betapa kencangnya perusahaan pendanaan (venture capital) asal Jepang, SoftBank, melakukan aksi korporasi dengan berinvestasi di sejumlah usaha rintisan (start up), termasuk di Indonesia. Mereka melakukan tidak hanya di satu-dua negara, tetapi di banyak negara. Pendiri dan CEO SoftBank Masayoshi Son menjadi ikon ke mana arah pendanaan usaha rintisan harus dilakukan. Son bahkan bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Namun, kini SoftBank memilih untuk berhati-hati.
Dalam beberapa bulan belakangan ini, kita bisa melihat aksi korporasi SoftBank dengan menjual saham mereka di beberapa perusahaan teknologi. Tentu saja aksi ini menimbulkan tanda tanya. Apalagi saham yang dijual tidaklah kecil. Bahkan, penjualan itu dikabarkan tidak akan berhenti. Penjualan akan terus berlanjut di beberapa perusahaan teknologi.
Penjualan saham yang cukup mengejutkan ketika SoftBank melepas sekitar 7,2 miliar dollar AS saham Alibaba (BABA) melalui kontrak berjangka prabayar. Kabar ini muncul pertama kali di Financial Times. Mereka melaporkan, mengutip dari salah satu sumber penjualan saham tersebut, pada akhirnya SoftBank akan mengurangi saham mereka di Alibaba yang mencapai sekitar 25 persen pada awal tahun lalu menjadi kurang dari 4 persen. Akibat rencana penjualan ini, harga saham Alibaba langsung turun.
Tak putus dirundung malang. Sepertinya istilah ini tepat untuk menggambarkan kondisi SoftBank. Berbagai masalah muncul di perusahaan pendanaan ini sejak penawaran saham perdana perusahaan rintisan WeWork yang didanai mereka melalui putaran pertama Vision Fund tahun 2019 batal. Waktu itu respons investor pesimistis dengan masa depan bisnis WeWork hingga mengakibatkan penawaran saham itu urung dilakukan. Akibatnya, putaran pendanaan yang diberi nama Vision Fund yang sukses pada putaran pertama harus menelan ludah. Putaran kedua tak sukses untuk mendapatkan partner pendanaan.
Kabar terakhir pada awal tahun ini SoftBank telah membukukan kerugian triwulanan yang besar di tengah perlambatan di sektor teknologi yang secara umum telah memukul valuasi mereka. Pada bulan Februari, program Vision Fund membukukan kerugian sebelum pajak sebesar 660 miliar yen atau sekitar 5 miliar dollar AS. Angka ini menandai kerugian triwulanan yang keempat kalinya secara berturut-turut dari program tersebut.
Tak hanya menjual saham Alibaba, SoftBank juga menjual beberapa saham di perusahaan teknologi yang mendapat pendanaan dari perusahaan tersebut. Beberapa waktu lalu, SVF GT Subco, perusahaan yang terafiliasi dengan SoftBank, kembali melepas saham emiten teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia (GOTO). Perusahaan asal Singapura tersebut melepas 62,06 juta saham GOTO. Melalui transaksi tersebut, kepemilikan SoftBank dalam perseroan berkurang menjadi 102,92 miliar lembar atau setara dengan 8,69 persen.
SoftBank juga telah menjual 3,85 persen atau 28 juta saham senilai 9,54 miliar rupee atau setara dengan 120 juta dollar AS di perusahaan logistik Delhivery yang berbasis di Gurgaon, India, melalui kesepakatan massal. Saham dijual seharga 340,80 rupee per lembar. SoftBank adalah pemegang saham terbesar di perusahaan logistik tersebut dengan memegang 18,42 persen saham per 31 Desember 2022, melalui entitas bernama SVF Doorbell (Cayman) Ltd. Sebelumnya SoftBank mengakuisisi lebih dari 22 persen saham perusahaan tersebut pada Oktober 2018.
November lalu, SoftBank menjual 4,5 persen saham mereka di perusahaan raksasa sistem pembayaran digital di India, yaitu Paytm, melalui kesepakatan blok senilai 200 juta dollar AS. Akibatnya, harga saham Paytm turun tajam. Kesepakatan itu dilakukan pada harga 555,67 rupee. Angka ini disebutkan sebagai angka bawah dari sebuah penawaran penjualan harga saham tersebut.
Orang kemudian bertanya, apa yang sedang terjadi dengan SoftBank?
Dalam sebuah kesempatan, Masayoshi Son mengatakan, SoftBank akan beroperasi dalam langgam bertahan dan menjadi lebih konservatif. Langkah ini tentu berkebalikan dengan langkah mereka saat berjaya. SoftBank sangat agresif dan menjadi idola di beberapa negara. Mereka menjadi semacam penentu atau panduan arah bagi investasi di usaha rintisan. Ke mana dia pergi, perusahaan pendanaan lain akan mengikuti.
SoftBank akan beroperasi dalam langgam bertahan dan menjadi lebih konservatif.
Sementara itu, analisis di laman Barron tentang penjualan saham milik SoftBank di Alibaba menyebutkan bahwa langkah tersebut sebagai upaya jalan keluar dari dampak tekanan regulator terhadap perusahaan teknologi yang sangat kuat. Dua tahun lalu Pemerintah China melakukan sejumlah langkah sehingga perusahaan teknologi itu terkena denda. Di samping itu, beberapa perusahaan lain batal melakukan penawaran saham perdana.
Akibat langkah Pemerintah China itu, Alibaba telah kehilangan lebih dari dua pertiga nilainya dari level tertinggi yang dicapai pada akhir tahun 2020. Tekanan itu telah dirasakan merugikan mereka karena mendorong penurunan harga saham yang dramatis selama dua tahun. Tekanan itu juga merupakan tanda utama dari perubahan besar di sektor teknologi China. SoftBank bergerak lebih jauh, yaitu ”ke luar pintu”.
SoftBank mengatakan kepada Financial Times bahwa transaksi Alibaba mencerminkan peralihannya ke mode defensif untuk mengatasi lingkungan bisnis yang lebih tidak pasti. Mereka juga mengatakan perusahaan akan memberikan rincian tentang berbagai langkah dalam sebuah pengumuman laporan keuangan triwulanannya pada bulan Mei.
SoftBank sepertinya tengah merapikan portofolionya agar kinerja bisnis mereka membaik ketika kondisi ekonomi dan politik kurang menguntungkan. Di sisi lain, mereka juga harus membereskan beberapa kewajiban terhadap investor yang terlibat di dalam putaran pendanaan Vision Fund. Dalam jangka pendek, usaha rintisan di Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan SoftBank dalam hal pendanaan. Musim dingin pendanaan rintisan masih bakal terus berlangsung.