Sang Penakluk Berhala
Idul Fitri dan puasa Ramadhan mesti menjadi jalan suci manusia bertakwa menuju mikraj rohani tertinggi. Agar setiap insan beriman mampu menjadi penakluk berhala nafsu serta terhindar menjadi budak nafsu duniawi.
Idul Fitri adalah hari raya berbuka puasa. Pada hari 1 Syawal mereka yang berpuasa selama bulan Ramadhan wajib berbuka dan haram berpuasa. Inilah puncak kegembiraan kaum Muslim untuk meraih pahala, sekaligus memulai hidup baru sebagai insan bertakwa sebagaimana tujuan berpuasa.
Puasa itu al-imsaak, menahan diri. Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan hasrat biologis sesuai tuntunan ajaran Islam. Tiga kebutuhan manusia itu merupakan representasi dari dunia yang bersifat inderawi.
Dunia inderawi sering direpresentasikan dengan urusan harta, takhta, serta segala hasrat alamiah lainnya yang oleh Maslow disebut kebutuhan dasar manusia.
Melalui puasa, Muslim dididik untuk mengendalikan hasrat duniawi dengan nilai-nilai luhur yang tengahan. Tidak menjauhi dan membunuhnya laksana malaikat. Sebaliknya tidak mengumbarnya dengan serakah mengikuti perangai setan.
Kunci utama puasa pada pengendalian hawa nafsu dunia yang bersifat inderawi itu. Agar insan beriman istikamah di jalan Tuhan sebagai hamba dan khalifah di muka Bumi yang mengendalikan dunia dan bukan diperbudak dunia!
Baca juga : Mencintai Tradisi (Lebaran), Mencintai NKRI
Sumber fitnah Dunia itu memesona.
Allah mendeskripsikan: ”Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS Ali-Imran: 14).
Manusia dengan libido inderawinya selalu mengejar kesenangan dan kejayaan duniawi. Bagi mereka yang kafir, dunia tidak ada hubungannya dengan nilai makna.
Bagi mereka, hidup di dunia sepenuhnya sekular, ranah di sini dan saat ini. Raihlah kesenangan duniawi sebesar-besarnya tanpa mengaitkan dengan dimensi rohani dan metafisik dalam genggaman mutlak kuasa Tuhan.
Namun, bagi insan beriman, dunia harus dikelola dengan dasar nilai bermakna serba utama, tidak boleh sekehendaknya. Ada ranah benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas dalam menjalani hidup di dunia.
Lebih jauh, ada tujuan akhir pasca-dunia, yakni hidup di akhirat meraih surga dalam rida dan karunia-Nya (QS Al-Fath: 29). Maka insan mukmin diberi koridor dalam mengurus dunia, khususnya kekayaan, ”dari mana diperoleh dan untuk apa dimanfaatkan” (Hadis) serta tidak boleh ishraf atau berlebihan (QS Al-’Araf: 31).
Praktiknya, manusia beriman sekalipun tidak jarang tergoda dan terjerumus pada penyakit hubbud dunya atau cinta dunia berlebihan.
Meski diingatkan Tuhan, ”Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS Al-Hadid: 20).
Karena cinta dunia melampaui takaran, manusia menjadi ”lapar dunia” melebihi hewan.
Nabi melukiskan, ”Akan datang suatu masa umat lain akan memperebutkan kamu ibarat orang-orang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan.”
Sahabat bertanya, ”Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit Ya Rasulullah?”.
Dijawab beliau, ”Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung-apung di atas laut, dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa.”
Sahabat bertanya, ”Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Cinta dunia dan takut mati!” (HR Abu Daud).
Berbagai pamer kemewahan yang belakangan menjadi viral di negeri ini menguatkan bukti manusia tipe hubbud dunya.
Tiada salah dengan kekayaan, terlebih apabila didapat dengan halal dan baik. Namun, pamer kekayaan cermin sikap sombong dan berlebihan menggambarkan sang pencinta dunia.
Apalagi jika gelimang kemewahan duniawi itu diperoleh dengan korupsi, gratifikasi, mafia, dan segala pintu terlarang.
Cinta jabatan dan kekuasaan bisa lebih parah. Penyakit cinta kuasa atau love of power sulit dicari obatnya ibarat kanker stadium empat.
Machiavelli mengajarkan teori virtuoso, demi meraih kejayaan kuasa manusia menempuh segala cara. Berpolitik ala rubah untuk menjadi sang perkasa. Lalu, sejarah melahirkan para tiran yang menghancurkan kehidupan. Dunia berubah menjadi fitnah bak neraka kehidupan!
Ilustrasi
Berhala nafsu
Akibat cinta dunia berlebihan, lahirlah tipologi manusia yang ”menuhankan hawa nafsunya”. Allah mengajarkan fakta kehidupan, yang artinya, ”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS Al-Furqan: 43).
Menurut Ibnu Katsir, ayat itu mengandung pesan Tuhan, mana saja yang dianggap baik oleh selera hawa nafsunya, maka itu adalah tuntunan dan panutan hidup manusia.
Para mufasir menukil riwayat Ibnu Abbas tentang sosok manusia era jahiliah penyembah berhala bersimbol permata putih. Ketika sang pemuja berhala itu melihat sesuatu yang lebih baik, ia beralih menyembahnya dan meninggalkan sembahan yang pertama.
Kemudian Allah berfirman di ayat selanjutnya, ”Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami?” (QS Al-Furqan: 44).
Justru mereka lebih buruk daripada hewan yang dilepas bebas. Padahal, hewan itu hidup sebatas insting, sedangkan manusia karena hawa nafsunya, serakah tak berkesudahan.
”Hawa nafsu itu induk dari semua berhala,” ungkap sufi terbesar, Jalaluddin Rumi. Kesalahan yang sering menjerumuskan insan beriman ataupun manusia sekuler adalah menuhankan hawa nafsunya akan dunia dengan segala pesonanya yang melampaui batas.
Akibatnya, jiwa dan alam pikiran ataupun tindakannya selalu serakah, tamak, congkak, dan merusak kehidupan. Bahkan, demi legasi dan atas nama membangun, sejatinya merusak di muka Bumi (QS Al-Baqarah: 11). Padahal, para penyembah hawa nafsu itu hidupnya akan berakhir dengan kebinasaan (QS Thaha: 16).
Beragama yang ekstrem melahirkan intoleransi, arogansi, dan sikap semuci atau merasa diri paling benar dan suci.
Oleh karena itu, jadikan puasa dan segala rangkaian ibadah di dalamnya serta Idul Fitri sebagai jalan rohani baru untuk hidup secukupnya, mengolah dunia dengan jiwa kekhalifahan yang moralis dan bertanggung jawab, serta memakmurkan kehidupan manusia dan lingkungan tempat kita hidup bersama.
Jauhi sikap bermegah-megahan dan melampaui batas dalam segala aspek kehidupan dunia. Jadikan takhta, harta, dan urusan dunia sebagai jalan lurus dan sajadah panjang menuju kebahagiaan sejati di kehidupan akhirat nan abadi.
Bukan hanya dalam berurusan dengan dunia, beragama pun tidak boleh melampaui batas alias ekstrem atau ghuluw (QS Al-Maidah: 77). Beragama yang ekstrem melahirkan intoleransi, arogansi, dan sikap semuci atau merasa diri paling benar dan suci. Lahirlah segala bentuk diskriminasi, rezimentasi, dan persekusi atas nama agama.
Mazhab, dominasi jumlah umat, dan persenyawaan kuasa agama dan kuasa politik melahirkan ekstremitas beragama, yang membuka peluang persekusi (mihnah) verbal dan nonverbal kepada pihak lain yang tak sepaham dan minoritas.
Beragama kehilangan jiwa hanafiyat as-samhah yang otentik dan lapang hati karena dibalut hawa nafsu kuasa!
Dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan pun jauhi hawa nafsu dan sikap berlebihan (QS An-Nisa’: 135). Kebenaran dan keadilan ditegakkan dengan cara yang benar dan adil, tidak dengan arogansi kuasa diri yang semuci.
Perbedaan paham dan praktik beragama dijalani dengan toleransi yang murni. Ulul amri pun wajib bersikap adil nan bijaksana, sehingga mengayomi seluruh golongan tanpa diskriminasi karena semuanya amanat Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.
Raihlah hidup di dunia dengan sarat makna otentik dengan radar iman dan tauhid yang kokoh menjulang ke langit di bawah bimbingan Kasih Dzat Ilahi.
Idul Fitri dan puasa Ramadhan mesti menjadi jalan suci manusia bertakwa menuju mikraj rohani tertinggi. Agar setiap insan beriman mampu menjadi penakluk berhala nafsu serta terhindar menjadi budak nafsu duniawi.
Menjadi pemakmur dunia tanpa merusaknya. Dunia tempat dia hidup dikelolanya dengan rasa syukur dan kecerdasan profetik dalam keseimbangan jauh dari keserakahan. Agama pun menjadi pencerah akal budi yang meluluhkan egoisme diri dan kelompok sehingga lahir sikap wasathiyah otentik yang memajukan peradaban luhur milik bersama.
Insan bertakwa buah puasa dan Idul Fitri mesti hadir menjadi sosok penakluk berhala hawa nafsu ke tingkat tertinggi nafsu mutma’inah dan golongan khawasul khawwas sebagaimana ajaran hikmah Imam Al-Ghazali.
Mereka itulah yang sukses berpuasa dan ber-Idul Fitri di tengah gelombang kehidupan yang sarat godaan. Raihlah hidup di dunia dengan sarat makna otentik dengan radar iman dan tauhid yang kokoh menjulang ke langit di bawah bimbingan Kasih Dzat Ilahi.
Sementara, daya jelajah pengkhidmatan hidup di dunia dijalani dengan ihsan sebagai jalan kebajikan utama yang menebar rahmat ke semesta!
Haedar Nashir Ketua Umum PP Muhammadiyah