Mencintai Tradisi (Lebaran), Mencintai NKRI
Ajaran Islam di Nusantara dapat dikatakan sebagai Islam akulturatif. Model Islam khas Indonesia telah ada sebelum kemerdekaan, dan dianut Muslim mayoritas. Banyak tradisi Muslim Nusantara yang unik, tidak ada di Arab.
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI memiliki 16.771 pulau, 1.340 suku bangsa, 718 bahasa daerah dengan berbagai budaya, kepercayaan, dan agama.
Dalam sejarah panjangnya keyakinan keagamaan berkelindan dengan budaya dan hampir tak ditemui resistansi keras dan massal antara agama dan budaya.
Islam pun hadir di tengah tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Di sini Islam mulai menyapa dan berdialog dengan budaya lokal. Dengan modal rahmatan lilalamin-nya, Islam mampu bersinergi dengan budaya dan tradisi yang menghasilkan produk baru Islam khas Indonesia. Inilah sebentuk ”pribumisasi Islam” ala Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 2006).
Dalam bahasa Kuntowijoyo, agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling memengaruhi (Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, 1991).
Dengan demikian, ajaran Islam di Nusantara dapat dikatakan sebagai Islam akulturatif. Artinya, praktik dan perilaku keagamaannya sarat dengan tradisi dan budaya lokal yang sudah barang tentu berbeda dengan praktik dan perilaku keagamaan masyarakat Islam Arab. Islam khas Indonesia inilah yang ikut berkontribusi dalam pembangunan pilar penting peradaban bangsa dengan lahirnya Pancasila dan UUD ’45.
Islam khas Indonesia inilah yang ikut berkontribusi dalam pembangunan pilar penting peradaban bangsa dengan lahirnya Pancasila dan UUD ’45.
Model Islam khas Indonesia telah ada sebelum kemerdekaan, dan dianut Muslim mayoritas, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Bryan S Turner dalam Understanding Islam: Positions of Knowledge (2023) menjelaskan, NU dengan keanggotaan 60 juta-90 juta menyuarakan inklusi dan mengakui keberagaman agama dan budaya Indonesia. Namun, kata Turner, ada bukti bahwa Indonesia modern menjadi lebih konservatif.
Kelompok konservatif ini sering kali eksklusif dalam beragama yang menganggap bahwa kebenaran yang dimilikinya adalah absolut. Mereka menumbuhkan garis pemisah antarbudaya (cultural fault lines) sehingga dalam relasi antarbudaya sering menimbulkan ketegangan yang pada akhirnya agama jadi salah satu unsur peretak anak bangsa, bukan lagi pelekat-perekat anak bangsa.
Lebih dari silaturahmi
Dalam kehidupan sebagian besar Muslim di Nusantara, dijumpai banyak tradisi yang tidak ditemukan di Arab. Sebut saja bersih desa atau nyadranan (upacara kirim doa dan menghormati leluhur pendiri desa). Awal puasa juga ada tradisi megengan. Acara ini digelar untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Biasanya dibarengi kegiatan sedekah kondangan plus ziarah kubur mendoakan keluarganya. Masih banyak lagi tradisi Muslim khas Indonesia.
Dalam Lebaran ada tradisi saling berkunjung untuk memaafkan yang dikemas dalam bentuk halalbihalal. Istilah halalbihalal ini sudah muncul sebelum kemerdekaan. Majalah Suara Muhammadiyah (No 5 tahun 1924) sudah mempergunakan istilah Halal Bi Halal dengan dua jenis tulisan (pengucapan), yaitu Alal Bahalal dan Chalal Bil Chalal.
Dalam buku Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah (2023) dijelaskan, di Jombang terdapat tradisi tahunan setelah berakhirnya bulan Ramadhan, yakni riyayan (berhari raya) atau saling berkunjung dan meminta maaf, tradisi ini disebut balalan.
Istilah yang mirip di atas semakin mempunyai makna penting bagi persatuan para tokoh dan pemimpin NKRI serta umat Islam setelah diformulasi oleh Kiai Wahab Chasbullah dengan ”nomenklatur” halalbihalal. Syahdan, setelah merdeka, lndonesia dilanda friksi dan gejala disintegrasi bangsa.
Para elite politik saling curiga dan bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, di antaranya DI/TII, PKI (Madiun affair).
Tahun 1948 di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno mengundang Kiai Wahab sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dalam mengatasi situasi politik yang kurang sehat itu.
Kiai Wahab kemudian menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara ”silaturahim” dengan mengundang semua pihak yang bertikai, apalagi hari raya Idul Fitri segera tiba, saat seluruh umat disunahkan untuk bersilaturahmi. Mereka harus duduk satu meja, saling memaafkan, saling menghalalkan. Acara itu dikemas dalam istilah halalbihalal.
Di sini terlihat jelas, kegiatan yang ada pada hari raya tidak hanya berfungsi sebatas tradisi yang dijalankan tanpa ada makna lebih. Akan tetapi, tradisi itu berkontribusi dalam upaya mengembalikan persatuan para pejuang kemerdekaan yang sedang mengendalikan negara.
Baca juga :Agama dalam Arsitektur Negara-Bangsa
Baca juga : Penguatan Moderasi Beragama
Mencegah infiltrasi kelompok radikal-teroris
Terdapat fungsi lain dari pelestarian tradisi, termasuk tradisi halalbihalal, yakni untuk mencegah infiltrasi kelompok radikal-teroris. Bagaimana nalarnya? Sebagian besar kelompok radikal-teroris akan berseberangan secara diametral atau menolak sebagian besar budaya dan tradisi yang dijalankan Muslim mayoritas, bahkan juga tradisi budaya pada umumnya.
Karena bagi mereka, itu dianggap sinkretisme, syirik, dan bid’ah. Mereka sering menyerukan jargon ”cukup kembali kepada Al Quran dan hadis”. Padahal, menurut Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, ”When ’Back to the Qur’an and Hadith’ is No Longer Enough”, jargon seperti itu tak cukup dan berpotensi menggiring orang beragama secara radikal (Tim Lindsey ed, Islam, Education and Radicalism in Indonesia, 2023).
Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI.
Banyak ditemukan pernyataan kelompok radikal-teroris tentang ketidaksukaannya atas tradisi budaya Muslim Nusantara. Karena itu, jika tradisi budaya itu digalakkan, termasuk halalbihalal, secara otomatis akan mampu membuat generasi muda kita mencintai tradisi itu. Dengan demikian, siapa pun yang membenci tradisi budaya, akan muncul reaksi penentangan sekaligus self defense dalam diri generasi muda.
Generasi muda yang demikian akan mengemban Islam moderat atau wasatiyyah.
Dari narasi di atas, perlu ada kesadaran bersama bahwa local wisdom masyarakat Indonesia perlu dijaga dan dilestarikan. Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI.
Ainur Rofiq Al AminDosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel