Yang memikat pada keempat puisi itu, sebagaimana ”Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang, adalah kompleksitas penafsiran di dalamnya.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·4 menit baca
KOMPAS/CAHYO HERYUNANTO
-
DARIdua antologi puisi, yang memungkinkan sejarah kepenyairan Indonesia tercatat di dalamnya, Tonggak editor Linus Suryadi AG dan Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi editor Taufiq Ismail, saya menemukan empat puisi bertema Lebaran. Sungguh menarik membaca puisi ”Mercon Malam Takbiran”, ”Sembahyang di Taman H.I.”, dan ”Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” karya Bahrun Rangkuti yang tercantum dalam antologi Tonggak 1. Tak kalah menarik menafsir puisi ”Idul Fitri” karya Sutardji Calzoum Bachri dalam Horison Sastra Indonesia 1.
Keempat puisi itu, dalam tafsir saya, menyimpan paradoks sebagaimana puisi Sitor Situmorang, ”Malam Lebaran” dengan larik bulan di atas kuburan. Simbol ”bulan” dapat dimaknai sebagai ”cahaya yang menerangi kegelapan” dan ”kuburan” sebagai simbol ”kematian”. Secara teks, puisi ”Malam Lebaran” dapat ditafsirkan sebagai cahaya yang menerangi kegelapan kematian. Memang, makna yang paradoksal secara tekstual ini berbeda dengan pengalaman proses kreatif yang dilakukan Sitor Situmorang, tetapi diksi yang dipilih penyair merujuk pada tafsir makna ”keindahan” dan ”kematian” dalam suatu waktu pada malam Lebaran.
Puisi Bahrun Rangkuti dan Sutardji Calzoum Bachri mengekspresikan Lebaran dalam benturan suasana paradoksal. Keempat puisi itu bermain dalam tataran obsesi yang berbeda. Tiga puisi Bahrun Rangkuti mengangkat paradoks sosial yang imanen, sedangkan Sutardji Calzoum Bachri menuliskan paradoks transenden. Sutardji Calzoum Bachri mengembalikan puisi Lebaran ini pada ”pengertian, ide, dan moral”, termasuk pengalaman paradoks asketisme penyair.
Hal lain yang memikat pada keempat puisi itu, sebagaimana ”Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang, adalah kompleksitas penafsiran di dalamnya. Pembaca tak dapat melakukan penafsiran keempat puisi itu dengan makna tunggal Lebaran sebagai ”kembalinya seseorang kepada keadaan suci”, atau sekadar dimaknai sebagai ”hari kemenangan”. Terdapat tafsir sosial dan spiritual yang selaras dengan perilaku masyarakat pada saat puisi itu dicipta penyair.
***
Tigapuisi Bahrun Rangkuti ”Mercon Malam Takbiran”, ”Sembahyang di Taman H.I.”, dan ”Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” menyajikan situasi paradoksal Lebaran. Ia tidak menghadirkan pencapaian suasana transenden Lebaran, tetapi menghadirkan peristiwa-peristiwa empati sosial. Dalam puisi ”Mercon Malam Takbiran”, ia melontarkan kritik tajam terhadap kecenderungan perilaku arogan masyarakat ketika merayakan malam Lebaran dengan membakar mercon, meriam bambu, dan kembang api: Akhir ramadhan membakar sepanjang/ Thamrin. Panas tak tertahan sejak siang/ Mercon, meriam bambu dan bunga api/ menggelegar dari gedung dan jembatan tinggi//.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Mercon
Begitu juga dalam puisi ”Sembahyang di Taman H.I.”, Bahrun Rangkuti mengekspresikan empati terhadap orang-orang yatim, kaum fakir, dan tunakarya. Ia menyingkap bahwa makna Lebaran tidak ditentukan pada kecemerlangan cahaya keilahian, tetapi pada kedermawanan sosial: Amboi, namun ratuku meski tak secerlang/ engkau, juita oleh rangsang wahyu Ilahi/ sekiranya terasa Nur samawi membayang// Pebila ia melangkah atas namaNya menjelma/ di bawah tapaknya mata air, mushala dan ladang/ suaranya memujuk yatim, fakir dan tuna karya//.
Dalam puisi ”Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan”, Bahrun Rangkuti menghadirkan suasana Lebaran di tengah-tengah lingkungan gelandangan. Ia menggambarkan kehidupan gelandangan dalam kepapaan. Tiga suasana paradoks berkembang dalam puisi ini. Paradoks pertama yang diciptakan penyair berkaitan dengan kepemilikan harta dan atmosfer kehidupan yang melingkupinya. Penyair menikmati hidup dalam lingkungan yang nyaman, sementara para gelandangan hidup dalam kenistaan: Jauh di kota gelandangan mengais sisa makanan/ dalam tong-tong sampah kaki lima. Orok lahir/ di pinggir kali//. Paradoks kedua tercipta karena kebutuhan religiositas. Gelandangan memerlukan uluran tangan untuk menyempurnakan sembahyang: Kulihat tanganmu memberi apa yang mereka harapkan:/ kain sembahyang, sekeping kehidupan berarti//. Paradoks ketiga berkaitan dengan kemampuan untuk menemukan jalan hidup dan kesediaan mengolah alam, dengan etos kerja dan penerimaan terhadap kekayaan alam. Dalam bahasa penyair tersingkaplah tabir paradoks etos kerja itu: Aku mendoa – Tuhan inilah persembahan kami/ Tanah, empang, kebun dan bukit-bukit ini/ bagi mereka yang kehilangan jalan//.
Suasana paradoksal itu pula dialami Sutardji Calzoum Bachri. Ia mencipta puisi ”Idul Fitri” dengan menghadirkan paradoks pencarian dunia transenden setelah melampaui pengalaman-pengalaman imanen sebagai manusia pemabuk. Lebaran menjadi puncak kesadaran keilahian, yang membawanya pada shalat malam, wirid, zikir, dan shalat Id. Ia meninggalkan pengalaman-pengalaman hidup di masa lampau: lalai dan mabuk. Pencarian cahaya keilahian yang transenden dan belum tercapai itu diekspresikan dalam larik-larik berikut ini: O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini/ ngebut/ di jalan lurus/ Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir/ tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia/ Kini biarkan aku menenggak arak cahayaMu/ di ujung sisa usia//.
***
YANG menarik dari puisi Bahrun Rangkuti dan Sutardji Calzoum Bachri adalah bagaimana mereka memanfaatkan bahasa untuk mencitrakan realitas Lebaran. Mereka menyusun realitas Lebaran, baik dari pengalaman imanen maupun transenden, dalam konstruksi bahasa yang membawa renungan dan tafsir lebih kompleks.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Senyum pedagang bunga yang ramai pembeli saat Lebaran di Pasar Peterongan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (21/4/2023). Lebaran menjadi tradisi bagi warga dengan memasak menu istimewa untuk menyambut kerabat mereka. Selepas menjalankan ibadah shalat Id, warga akan melakukan budaya ujung-ujung antartetangga dan mendatangi rumah kerabat serta berziarah ke makam leluhur.
Dalam puisi Bahrun Rangkuti terdapat konstruksi kalimat personifikasi.Penyair menciptakan pengalaman-pengalaman imanen yang diamatinya dari alam, dan menuangkannya dengan empati kemanusiaan. Makna yang lebih mengetuk rasa kemanusiaan kita justru dilakukan penyair dengan melukiskan pengalaman imanen tentang gelandangan.
Demikian juga dengan Sutardji Calzoum Bachri yangmencipta puisi untuk melukiskan kesakralan Lebaran dengan konstruksi personifikasi. Ia melukiskan pertarungan batin, dari pengalaman transenden Lebaran, untuk menemukan kesadaran keilahian. Lebaran dimaknai sebagai jalan asketisme yang berkonfrontasi dengan nafsu duniawi.
S Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.