Mengevaluasi Kartini
Inti perjuangan Kartini adalah kemerdekaan dan kebebasan. Kartini percaya pendidikan perempuan merupakan sarana menuju kemerdekaan itu. Setelah satu abad lebih, bagaimanakah situasi pendidikan kaum perempuan saat ini?
Sejauh mana cita-cita Kartini dalam memajukan pendidikan kaum perempuan telah dicapai?
Momentum peringatan Hari Kartini, 21 April tahun ini, penting. Bukan saja karena perjuangan Kartini telah mencapai satu abad (tepatnya 109 tahun), melainkan juga karena pada dekade 2020-2030 dan puncaknya—yakni Tahun Emas 2045—Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yakni berupa 70 persen jumlah penduduk usia produktif.
Kuncinya, perempuan
Secara hipotetis, keberhasilan dalam memanfaatkan momentum itu dapat diraih jika sektor pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja tersedia dengan baik bagi perempuan. Sebab, mereka adalah separuh dari penduduk usia produktif itu dan dalam waktu bersamaan mereka menanggung beban orang-orang yang dianggap tidak produktif; anak-anak dan lansia.
Secara kultural, mereka harus menjalankan peran rangkap tiga sebagai anak perempuan, istri, ibu, dan anggota komunitas. Dibutuhkan kemampuan dan kecakapan ekstra untuk menyiapkan perempuan dalam mengambil momentum bonus demografi itu.
Inti perjuangan Kartini adalah kemerdekaan dan kebebasan. Kartini percaya pendidikan perempuan merupakan sarana menuju kemerdekaan itu. Bagi Kartini, kolonialisme harus dihapuskan bersama dengan pupusnya feodalisme patriarkis, yaitu suatu sistem kekuasaan yang berpusat pada lelaki dan kultur lelaki.
Baca juga :Membaca Kartini, Memberi Makna Perjuangan Kesetaraan
Di mata Kartini, kedudukan sosial istimewa kaum lelaki yang secara hierarki berada di atas kaum perempuan, sebagaimana kaum bangsawan di atas warga biasa, menghalangi jaminan kesetaraan kedudukan manusia yang merdeka.
Seperti diangankan Kartini, kemerdekaan akan menjadikan perempuan bumiputra (bangsa Indonesia) memiliki budi pekerti yang baik, kecakapan hidup, dan keterampilan serta mandiri. Dengan pendidikan, mereka akan pintar bernegosiasi secara politik untuk mengambil keputusan bagi dirinya.
Bagaimanakah situasi pendidikan kaum perempuan saat ini? Ada tiga tolok ukur sederhana yang biasa dipakai: kemampuan literasi, rata-rata lama di sekolah, dan kemampuan di bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM). Ketiga kriteria itu tentu mengandaikan ketersediaan infrastruktur formal yang memungkinkan perempuan di usia sekolahnya tak mendapatkan halangan sosial, kultural, dan diskriminasi.
Melalui capaian tiga tolok ukur itu, perempuan Indonesia diproyeksikan akan mampu menghapus kemiskinan, meningkatkan status kesehatannya, dan terpenuhi haknya untuk bekerja. Hal ini pada gilirannya akan berdampak pada capaian optimal Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.
Ilustrasi
Secara nasional, berdasarkan Susenas 2022, sebagaimana dikutip dalam Profil Perempuan Indonesia 2022 yang setiap tahun diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka melek huruf (AMH) penduduk usia 15 tahun ke atas sekitar 96 persen. Artinya, terdapat empat dari 100 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang tak bisa membaca/menulis.
Meskipun AMH perempuan tahun 2022 naik dibandingkan 2021, AMH perempuan masih lebih rendah 2,78 persen dibandingkan laki-laki, 97,43 persen.
Demikian pula halnya dengan AMH perempuan di perdesaan. Angkanya lebih rendah dibandingkan perempuan di perkotaan dan nasional. Di perdesaan, AMH perempuan 91,68 persen, jauh di bawah angka nasional 96,04 persen dan perkotaan 96,93 persen.
Ukuran lain, rata-rata lama sekolah (RLS). Pada 2022, data Susenas menunjukkan, penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menempuh rata-rata bersekolah selama 8,97 tahun. Itu artinya, rata-rata pendidikan penduduk Indonesia baru sampai kelas IX SMP/sederajat. Namun, RLS penduduk perempuan perdesaan hanya 7,41 tahun atau setara kelas I SMP/sederajat, di bawah RLS laki-laki dan perempuan di perkotaan.
Kesenjangan di bidang STEM pada perempuan juga sangat besar dibandingkan lelaki. Meskipun di pendidikan menengah dan atas murid perempuan kerap unggul dalam bidang-bidang sains dan matematika, hanya 30 persen perempuan yang memilih bidang studi STEM di jenjang sarjana.
Lebih kecil lagi persentase mereka yang bekerja di bidang teknik, manufaktur, dan konstruksi ataupun teknologi informasi dan komunikasi, di bawah 25 persen. Hambatan pada perempuan kian bertambah ketika mereka telah berkeluarga.
Literasi dalam baca tulis, bahasa asing, dan pengetahuan umum diperoleh melalui kerja keras dan terjun bebas di tempat kerja mereka.
Kemampuan literasi
Di atas itu semua, pokok pangkalnya berangkat dari kemampuan literasi dalam makna yang luas. Kemajuan perempuan dalam literasi secara tak terencana memperlihatkan hasilnya bagi desa-desa miskin yang disumbang oleh mereka melalui mobilitas vertikal sebagai pekerja migran Indonesia di luar negeri. Secara nasional (legal dan ilegal) terdapat 9 juta pekerja migran Indonesia, separuh lebih perempuan.
Literasi dalam baca tulis, bahasa asing, dan pengetahuan umum diperoleh melalui kerja keras dan terjun bebas di tempat kerja mereka. Sebagian besar mereka bekerja di Uni Emirat Arab, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan Eropa. Hanya sebagian kecil kemampuan itu didapat dari lembaga pendidikan formal yang mereka tempuh.
Jika direfeksikan seabad silam, problem yang dihadapi murid perempuan dewasa ini tak berbeda dengan yang dihadapi Kartini: stereotipe negatif atas kecakapan, kepemimpinan perempuan, prasangka yang melanggengkan praktik diskriminasi terhadap mereka.
Kemendikbudristek dalam Rencana Strategis (Renstra) 2022-2024 telah memastikan upaya percepatan kemampuan literasi murid sekolah melalui Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar yang mengandaikan ketersediaan kebijakan dan strategi praktis yang sensitif pada keberagaman dan fakta kesenjangan di bidang pendidikan di berbagai wilayah.
Lembaga-lembaga pemerhati pendidikan, seperti program INOVASI yang mendukung Mendikbudristek, serta Kementerian Agama yang menangani pendidikan di lingkungan madrasah dan pesantren, telah memetakan setidaknya empat hambatan kerentanan murid dalam meraih pendidikan.
Sebuah paradigma digunakan sebagai matra untuk mengenali empat kerentanan serta cara untuk mengatasinya melalui gender equality, disability, and social inclusion (GEDSI).
GEDSI merupakan pendekatan yang mengakui adanya kesenjangan pada murid sekolah, terutama di tingkat awal (SD) yang meliputi kerentanan akibat perbedaan jender, kerentanan akibat eksklusi sosial (suku, ras, agama, dan kemiskinan), kerentanan akibat disabilitas yang manifes (tampak) dan tersembunyi, serta kerentanan akibat geografis di wilayah yang kesulitan akses, seperti wilayah terpencil, terjauh, dan terluar.
Cita-cita Kartini seabad kemudian masih meninggalkan tantangan yang tidak kecil. Jika Indonesia berhasil mengatasi hambatan literasi dalam makna yang luas, tak sebatas pada kemampuan baca tulis dan berhitung, Indonesia niscaya akan berhasil mengambil momentum bonus demografi dan menyumbangkannya pada kemajuan peradaban dunia sebagaimana dicita-citakan Kartini.
Lies Marcoes,Visiting Fellow pada KITLV, Universitas Leiden, Belanda