Membaca Kartini, Memberi Makna Perjuangan Kesetaraan
Buku ini penting karena menempatkan Kartini dalam konteks sosial politik di Hindia Belanda, di negeri Belanda maupun di dunia. Semoga informasi baru tentang Kartini ini mengubah peringatan Kartini menjadi lebih bermakna.

Foto Kartini
Untuk sebagian besar orang Indonesia, bahasa Belanda tidak lagi menjadi bahasa yang dipahami sehingga terjemahan surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris membuka pemahaman tentang pahlawan Indonesia ini.
Monash University Publishing tahun 2021 lalu menerbitkan buku Kartini: The Complete Writing 1898-1904 edisi digital (PDF) dengan editor Joost Coté. Joost Coté adalah peneliti di Departemen Sejarah Monash Univeristy, Australia. Peneliti modernitas kolonial di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dan telah menulis tentang Kartini dalam beberapa dasawarsa. Penerbitan buku kumpulan surat-surat Kartini setebal 902 halaman ini merupakan bagian dari The Monash Asia Series, edisi cetak terbit tahun 2014.
Buku ini penting karena menempatkan Kartini dalam konteks sosial politik di Hindia Belanda, baik di negeri Belanda maupun di dunia. Bagian pengantar yang penting adalah ”membaca Kartini”, analisis tentang siapa Kartini, bagaimana lingkungan hidupnya, situasi politik yang ada di Hindia Belanda dan di negeri Belanda, serta apa yang terjadi di tingkat global.
Bagian pertama buku ini adalah kumpulan surat-surat Kartini pada tahun 1889-1904, disusun berdasarkan tahun. Bagian dua adalah tulisan deskriptif, bagian tiga cerita pendek yang diterbitkan, bagian empat tulisan etnografis, bagian lima memorandum tentang pendidikan.
Buku ini penting karena menempatkan Kartini dalam konteks sosial politik di Hindia Belanda, baik di negeri Belanda maupun di dunia.
Kartini dilahirkan tahun 1879, satu dari 11 anak, dan anak perempuan kedua dari Bupati Jepara 1880-1905 Raden Mas Adipati Ario Samingun Sosroningrat, anak dari selir Ibu Ngasirah yang keturunan kiai. Ayahnya menikah lagi karena ketentuan pada zaman itu istri utama haruslah keturunan ningrat. Ia datang dari keluarga Condronegoro, yang merupakan satu di antara enam dinasti yang berkuasa di pesisir utara (Jawa Tengah) melalui asosiasi dengan VOC dan selanjutnya Pemerintah Belanda. Keluarga terpelajar dan progresif yang biasa berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda.
Kartini mulai dipingit setelah bersekolah sampai umur 12 tahun, melanjutkan pendidikannya secara informal dengan istri seorang pejabat kolonial Eropa, Marie Ovink-Soer, yang memberikan bahan bacaan dalam bahasa Belanda, dilengkapi oleh ayahnya dengan berlangganan koran berbahasa Belanda, serta jurnal pengetahuan dan budaya yang dirujuk dalam korespondensinya.
Baca juga : Perjuangan Kartini dan Semangat Perubahan
Hal hal yang baru dari buku ini
Sebelumnya tidak pernah ada buku yang memuat surat-surat Kartini selengkap ini. Yang menarik, tiap-tiap surat Kartini itu diberi pengantar oleh Coté. Misalnya, dalam pengantar surat Kartini (1899) untuk Stella Zeehandelaar, Cote menjelaskan bagaimana setelah mengikuti pameran kerajinan di Belanda pada 1898, Kartini berkenalan dan kemudian menjadi sahabat pena dari Stella (hlm 65-67).
Dalam suratnya, Kartini menjelaskan keadaan dan kebiasaan di Jawa, kritik terhadap kebijakan kolonial bagi rakyat Jawa. Kartini juga memperlihatkan bahwa ia mengikuti apa yang sedang terjadi di Eropa melalui bacaannya, bagaimana perasaannya terhadap pegawai kecil, bagaimana diskriminasi aturan pemerintah kolonial bagi orang Eropa dan orang Jawa, juga bagaimana perasaannya terhadap kebiasaan ningrat Jawa dalam pernikahan, bagaimana perempuan diabaikan.
Pada pengantar 1902 dijelaskan, di samping sibuk memperjuangkan kemungkinannya mendapat beasiswa, juga menjadi penghubung untuk mempromosikan mebel ukiran Jepara yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kartini juga mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan pribumi, masih berbentuk sekolah percobaan, namun menggunakan konsep modern dengan hubungan yang hangat antara anak didik dan guru serta menggunakan bahasa Jawa. Konsep yang kemudian diikuti oleh Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya.
Sebelumnya tidak pernah ada buku yang memuat surat-surat Kartini selengkap ini.
Coté mengumpulkan surat-surat Kartini dari berbagai sumber dan mendapatkan 141 surat Kartini, termasuk surat asli yang diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Surat-surat Kartini juga menggambarkan suasana penting sejarah kebangsaan Indonesia. Kartini menulis surat-surat dalam bahasa Belanda, diterbitkan di Hindia Belanda dan di Belanda, pada saat penulis perempuan di Barat pun masih langka.
Lebih uniknya karena ia tokoh dari negara jajahan yang menulis tentang kolonialisme pada masa, dalam sejarah Indonesia, ketika dokumentasi tentang perasaan kebangsaan masih sangat terbatas. Dalam surat-suratnya terungkap betapa besar kasih sayang Kartini pada ayahnya, bahkan seandainya ia menerima kebebasan yang diidamkannya, berhasil menempuh pendidikan, tidak akan dia lakukan kalau itu menimbulkan kesedihan bagi ayahnya.

Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda, menggelar seminar dan pameran foto Jejak Langkah Seorang RA Kartini: Reflections on RA Kartini di Erasmus Huis, Jakarta, Senin (13/3). Pada acara itu, Erasmus Huis dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) atau Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara di Jakarta menyerahkan 75 foto Kartini koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dan buku Kartini karya Joost Cote sebagai hibah untuk menambah koleksi Museum Kartini di Jepara, Jawa Tengah.
Bagian tiga dari buku ini menarik, menjelaskan tiga bahan dari surat-surat Kartini: deskripsi tentang masa kecilnya, kenangan tentang pertemuan dengan Rosa dan perkawinan Kardinah. Dari ketiga bahan ini terlihat bahwa Kartini menggunakan korespondensinya untuk mengasah kemampuannya menguraikan suatu topik yang kemudian bisa menjadi artikel tersendiri. Ia memperlihatkan kemampuan untuk melihat dirinya dari kacamata interaksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Perhatian publik pada Kartini muncul pada saat ia berumur 19 tahun dan berpartisipasi dalam pameran nasional karya perempuan di Den Haag. Setelah partisipasinya itu, tulisan Kartini diterbitkan dalam jurnal ilmiah Belanda, Bijdragen. Kartini juga memasukkan cerita pendek pada jurnal perempuan kolonial, ”Dr Echo: Sehari Bersama Gubernur Jenderal dan Kapal Perang di Pelabuhan”. Untuk penerbitan itu dia menggunakan nama samaran Tiga Saudara.
Rosa Manuela Abendanon yang merupakan penerima utama dari korespondensi mungkin telah memengaruhi Kartini untuk mengungkapkan aspirasinya, mungkin pula merencanakan menerbitkan surat-suratnya. Publikasi tahun 1911 dilakukan oleh suaminya, mantan Direktur Pendidikan Pribumi, Agama, dan Industri Jacques Henri Abendanon.
Yang juga menarik dari buku ini, bagaimana surat-surat Kartini dianalisis untuk menjelaskan siapa yang menerima surat-surat Kartini dan bagaimana hubungan Kartini dengan mereka. Bisa digambarkan secara singkat hubungan Kartini dengan beberapa orang Eropa yang pernah menjadi pejabat kolonial di Hindia Belanda, juga dengan beberapa orang di negeri Belanda yang merupakan kelompok liberal, sosialis, feminis, Kristen, filantropis, dan humanitarian melalui surat-menyurat.
Ia secara tegas menyatakan bahwa yang diperjuangkannya bukan hanya kelas ningrat.
Dari tulisan di bagian lima, memorandum tentang pendidikan, terungkap bahwa Kartini berpandangan bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh masyarakat. Ia secara tegas menyatakan bahwa yang diperjuangkannya bukan hanya kelas ningrat. Juga tertulis tentang bagaimana ia ingin dipanggil Kartini saja, yang menjadi judul buku tulisan Pramoedya Ananta Toer. Ia menyatakan bahwa pendidikan perlu untuk perbaikan moral, walaupun tidak semua orang berpendidikan bermoral. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Kartini adalah perintis pergerakan nasional.
Surat surat dan petisi Kartini mengungkapkan tentang hak rakyatnya untuk menjadi bangsa yang merdeka, jauh sebelum laki-laki sebangsanya menyatakan hal tersebut secara terbuka. Melalui surat Kartini berdiskusi dengan kelompok terpelajar di Belanda yang melahirkan Budi Oetomo.
Momen penting terkait dengan pendidikan tingkat lanjut Kartini adalah saat kedatangan anggota parlemen Belanda, Henri van Kol, bulan April 1902. Van Kol berusaha agar Kartini mendapat beasiswa dari Pemerintah Belanda dan berhasil. Pada tahun 1903, dengan birokrasi kolonial yang jelas tidak menyetujui, dan orangtua serta teman-temannya memilih opsi pendidikan yang lebih terbatas, Kartini justru memutuskan menerima rencana Abendanon untuk latihan menjadi guru di Batavia.
Baca juga : Arsip Kartini dan Kongres Perempuan I Berpotensi Diajukan sebagai Ingatan Kolektif Dunia
Setelah keluar konfirmasi beasiswa pemerintah untuk belajar di Batavia, tiba tiba muncul rencana perkawinan yang diatur oleh ayahnya, keluarga besarnya, dan pejabat kolonial. Pada bulan November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Mas Ario Djojo Adiningrat, seorang duda berpendidikan Belanda dengan enam anak dan beberapa selir. Dengan perjanjian bahwa Kartini masih boleh terus belajar, mendirikan sekolah, dan mengejar cita-cita mempromosikan pendidikan perempuan.
Kesediaannya menerima pernikahan poligami sesungguhnya sangat bertentangan dengan sikapnya yang antipoligami, namun biasa dilakukan di kalangan ningrat Jawa. Ini terungkap secara eksplisit dalam surat-suratnya pada Stella Zeehandelaar dan Rosa Abendanon. Kartini menganggap perkawinannya dengan suami berpoligami meruntuhkan kehormatannya, tetapi ia bersedia melakukan karena cinta pada ayahnya.
Namun, ini semua tidak berakhir baik. Kartini meninggal tahun berikutnya, empat hari setelah melahirkan anaknya. Menurut Roekmini, anaknya besar sekali dan persalinannya sulit. Di samping itu, selama hamil, Kartini sering sakit dan karena anaknya besar, persalinan perlu menggunakan alat. Dalam buku ini ada foto RM Singgih, anak Kartini, dengan catatan Roekmini pada Anneke Glaser: ”anak yang besar dan sehat, wajahnya makin mirip ibunya”.
Kartini menjadi tokoh paling dikenal dalam pergerakan perempuan internasional di kawasan Asia.
Kalau ada kekurangan dari buku ini bagi masyarakat luas di Indonesia, mungkin bahasa Inggris masih menjadi hambatan sehingga terjemahan dalam bahasa Indonesia akan lebih meningkatkan akses pembaca. Di sisi lain, buku dengan ketebalan lebih dari 900 lembar menjadi tantangan tersendiri untuk dibaca, mungkin ”ringkasan eksekutif” akan membantu banyak orang untuk membaca buku ini.
Kalau saja Kartini hidup lebih lama, dia mungkin bisa menjadi tokoh penulis dan pendidik Indonesia pra-kemerdekaan. Pada tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional. Kartini menjadi tokoh paling dikenal dalam pergerakan perempuan internasional di kawasan Asia. Tanggal 21 April di Indonesia diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini. Sayangnya, masyarakat Indonesia hanya mengenalnya sebagai seorang perempuan ningrat Jawa yang berpakaian kebaya. Jadi, kain kebaya itulah yang sering menjadi ciri peringatan Hari Kartini.
Semoga informasi baru tentang Kartini ini mengubah peringatan Kartini menjadi lebih bermakna dengan pembahasan tentang pemikiran, utamanya bagaimana pendidikan perempuan dalam konteks kesetaraan bukan hanya mengenai jender, tetapi juga kesetaraan Indonesia di tengah percaturan dunia.
Ilsa Nelwan, Dokter Kesehatan Publik; Aktivis Jaringan Relawan Independen (JARI)

Sampul buku Kartini: The Complete Writings 1989-1904 (tangkapan layar versi PDF)
Judul buku: Kartini: The Complete Writings 1989-1904
Penulis: RA Kartini
Editor: Joost Cote
Penerbit: Monash University Publishing
Tahun terbit: 2021 (edisi digital PDF); 2014 (edisi cetak)
Tebal: xviii + 868 halaman
ISBN: 9781922235114 (PDF)
ISBN: 9781922235107 (cetak)