Idul Fitri adalah klimaks perjalanan spiritual seorang Muslim usai berpuasa dan merupakan momentum yang mengingatkan kembali kedudukan manusia sebagai duta Tuhan di bumi sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Oleh
SUHARSO MONOARFA
·4 menit baca
Idul Fitri adalah klimaks perjalanan spiritual seorang Muslim yang sukses melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Dikatakan demikian karena dia kembali kepada kesucian dirinya sebagai manusia, yang menurut asal kejadiannya diciptakan Tuhan dalam keadaan fitri, yakni, makhluk yang berpembawaan pada kesucian dan kebaikan.
Hanya saja, manusia tidak sepenuhnya mampu merealisasikan kesucian dan kebaikannya itu dalam kehidupan sehari-hari lantaran manusia juga memiliki sifat lemah. Kelemahan inilah yang kemudian membuka peluang masuknya anasir kejahatan ke dalam diri manusia.
Oleh karena itu, kejahatan, meskipun datang dari luar, pada dasarnya adalah kelemahan manusia yang inheren di dalamnya.
Ketika terjadi ketegangan antara dua kecenderungan—kebaikan dan kejahatan—manusia berdaulat menentukan sendiri mana tindakan yang akan dipilihnya, yang baik atau yang jahat. Inilah esensi mengapa manusia disebut sebagai makhluk bermoral, yang dituntut mempertimbangkan setiap aktivitas hidupnya dalam kerangka baik dan jahat.
Kelak, atas apa pun yang dia pilih, manusia wajib mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Apakah ia menjadi messiah atau predator.
Tanggung jawab atas pilihan itu merupakan konsekuensi dari kedudukan manusia sebagai khalifah, sebagai duta Tuhan di bumi. Konsekuensi kekhalifahan manusia di bumi mewajibkannya memahami, baik alam maupun lingkungan sosialnya.
Kemampuan untuk memahami alam dan lingkungan manusia tersebut akan terpenuhi jika manusia mau ”membaca” berbagai fenomena yang ada di jagat raya ini.
Keharusan untuk memahami alam dan lingkungan manusia ini tecermin dari wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Jibril, yakni perintah iqra atau ”membaca”.
Diriwayatkan, suatu malam pada bulan Ramadhan, di Goa Hira, dalam keadaan tidur, Muhammad didatangi malaikat yang membawa sehelai lembaran dan berkata kepadanya: ”Iqra, Bacalah!”
Dengan terkejut, Muhammad menjawab, ”Saya tak bisa membaca.” Ia merasa malaikat itu mencekiknya dan kemudian melepaskannya, dan kembali berkata: ”Bacalah!” Takut kembali bakal dicekik, Muhammad menjawab: ”Apa yang harus saya baca?” Kemudian malaikat itu berkata:
”Iqra, bismi rabbikal-ladzii khalaq. Khalaqal insaana min ’alaq. Iqra, warabbukal akram. Alladzi ’allama bil qalam. ’Allamal insaana maa lam ya’lam. (Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya).” (Q. 96: 1-5).
Perintah baca itu tidak menyebut apa, atau subyek tertentu, yang harus dibaca oleh Muhammad, dan tentu saja kita umatnya karena pesan atau risalah Ilahi itu juga diperuntukkan untuk kita. Yang diperintahkan adalah bahwa membaca itu adalah atas nama Tuhan yang Maha Pemurah itu.
Secara etimologis, iqra berasal dari kata qara’a, artinya menghimpun, yakni menghimpun alfabet yang dirangkaikan menjadi kata. Namun, iqra bukan sekadar mengeja, melafalkan, melainkan lebih jauh, yaitu berpikir, merefleksikan pengalaman, dalam rangka mencari pengetahuan.
Dan inilah yang disebut ’allama bil qalam (mengajarkan dengan pena), di mana sumber pengetahuan bukan hanya yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya untuk kemudian disampaikan lagi kepada umat manusia— ayat-ayat qauliyah.
Memahami ayat-ayat qauliyah bersifat fardhu’ain bagi setiap Muslim, yakni ajaran keimanan, syariat dan prinsip- prinsip moral (akhlak) yang pada umumnya berasal dari wahyu sebagaimana dibahasakan dalam Al Quran.
Selain itu, sesungguhnya betapa luas pengetahuan-pengetahuan lain mengenai alam semesta, hukum-hukumnya, harus kita peroleh melalui pena (bil qalam), dengan menggunakan rasio, penalaran, dan pengalaman. Inilah pengetahuan yang bersifat rasional dan empirik—ayat-ayat qauniyah.
Memahami berbagai pengetahuan, termasuk sains dan teknologi, dengan beragam dalil, teori, aksioma, juga wajib dikuasai secara representasi.
Artinya, tidak semua orang menjadi dokter, dan pada saat yang sama tidak semua orang menjadi ahli hukum. Penguasaan ayat-ayat qauniyah ini lebih bersifat fardu kifayah.
Tugas lainnya yang diemban manusia selaku ”duta” Tuhan di bumi adalah melaksanakan misi amar makruf nahi munkar (QS 3: 105 dan 110).
Misi ”amar makruf nahi munkar”
Tugas lainnya yang diemban manusia selaku ”duta” Tuhan di bumi adalah melaksanakan misi amar makruf nahi munkar (QS 3: 105 dan 110). Misi yang mulia dan sederhana ini dapat dikerjakan dalam sebuah pola yang semakin luas, meliputi pelbagai lapangan kehidupan.
Karena itu, amar makruf nahi munkar merupakan representasi dari seluruh tugas sosial dari seorang Muslim, atau nama untuk keseluruhan dimensi sosial Islam. Seorang Muslim melaksanakannya atas dasar iman dan takwa.
Dalam konteks umat, merupakan perekat dan sekaligus sebagai buah kesadaran persaudaraan (ukhuwah Islamiyah).
Namun, dalam pelaksanaannya menembus batas-batas sektarian (ukhuwah basyariyah) alias lintas agama dan bangsa. ”Tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS 21: 107).
Konsep amar makruf nahi munkar telah menjadi jargon perjuangan Muhammadiyah dan juga sebagaimana prinsip- prinsip kesejahteraan umat (mabadi khaira ummah) yang dikembangkan Nahdlatul Ulama, yang disebut mabadi al-khamsah.
Yakni, ash-shidqu (menjunjung kejujuran dan kebenaran), al-amanah wal wafa bil-’ahd (dapat dipercaya, setia dan tepat janji), al-’adalah (obyektif, proporsional dan taat asas), at- ta’awun (tolong-menolong, setia kawan, gotong royong), dan al- istiqamah (konsisten, berkelanjutan, dan berkesinambungan).
Idul Fitri yang kini tengah kita rayakan merupakan momentum bagi kita untuk mengingat dan menyadari kembali tentang kedudukan manusia sebagai khalifah atau duta Tuhan di muka bumi, dengan melaksanakan misi yang mulia dan sederhana itu—amar makruf nahi munkar—yang operasionalnya menembus dinding-dinding sektarian.
Dengan demikian pula, maka kita menjadi penerus risalah Nabi sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).
Suharso MonoarfaMenteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas