Ekonomi Lebaran secara nasional nilainya fantastis. Sayangnya, hanya memberikan dampak ekonomi sesaat bagi daerah. Ekonomi Lebaran harus memberikan multiplier effect lebih besar dan dampak positif yang berkelanjutan.
Oleh
HENDRI SAPARINI
·5 menit baca
Mudik tahun ini akan terasa berbeda. Pertama, inilah mudik pertama setelah akhir tahun lalu pemerintah mencabut kebijakan pembatasan selama pandemi.
Pemudik diperkirakan membeludak seiring membuncahnya kerinduan para perantau setelah dua tahun belakangan hanya menyapa keluarga dari jarak jauh lewat video call. Sekitar 123,8 juta orang akan melakukan perjalanan antarkota lewat darat, laut, dan udara selama Idul Fitri (Setkab, 24/3/2023) ke berbagai daerah. Naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun lalu sebanyak 85,5 juta orang.
Kedua, pemerintah mengeluarkan kebijakan memperpanjang masa cuti bersama Idul Fitri. Ada tambahan dua hari tanpa kerja, dari biasanya lima hari saja menjadi sepekan penuh. Pemudik punya waktu lebih lama beranjangsana di kampung halaman. Mereka yang tak mudik juga punya kesempatan liburan lebih panjang.
Kembalinya ritual tahunan ini tentu positif bagi ekonomi. Pergerakan orang secara besar- besaran lazimnya diikuti permintaan barang dan jasa di daerah asal dan sepanjang jalur mudik. Sektor-sektor yang terpuruk akibat pandemi akan bangkit, bahkan tumbuh lebih tinggi.
Jumlah uang beredar selama Lebaran juga meningkat tajam. Angkanya akan melebihi Rp 8.500 triliun, naik tajam dari tahun lalu Rp 7.900 triliun (BI, 2022). Artinya, akan lebih banyak terjadi permintaan barang dan jasa dibandingkan 2019 yang sebesar Rp 5.900 triliun.
Situasi ini kabar segar bagi pemerintah daerah dan pelaku usaha. Hanya, perlu diwaspadai agar permintaan tak melebihi pasokan karena industri dan UMKM baru pulih.
Selama ini ekonomi Lebaran secara nasional nilainya fantastis. Sayangnya, hanya memberikan dampak ekonomi sesaat bagi daerah. Rata-rata pemudik tinggal di daerah kurang dari sepekan. Hanya ada waktu beberapa hari mengeluarkan uangnya untuk berbagi dengan kerabat, mencicipi kuliner nostalgia, mengunjungi tempat wisata, atau membeli oleh-oleh.
Setelah Lebaran berlalu dan arus balik usai, daerah kembali sepi, ekonominya lesu lagi.
Lebaran kali ini menjadi momentum agar hal yang sama tak terus berulang. Ekonomi Lebaran harus memberikan multiplier effect lebih besar disertai dampak positif yang lebih berkelanjutan. Sebab, saat ini makin banyak peluang bisnis yang bisa dikembangkan seiring ketersediaan faktor penunjangnya.
Dalam beberapa tahun terakhir infrastruktur banyak dibangun untuk mendukung kegiatan ekonomi daerah sekaligus meningkatkan konektivitas antarwilayah. Infrastruktur fisik, seperti jalan, waduk, moda transportasi, dan pasar, kini jauh lebih baik dibandingkan satu dekade silam. Infrastruktur jaringan sudah menjangkau pelosok-pelosok desa sehingga teknologi informasi untuk menggeliatkan usaha mestinya tak jadi kendala.
Penetrasi internet di negeri ini relatif tinggi, sekitar 74 persen secara nasional. Keterbatasan mobilitas selama pandemi memaksa semua pihak lebih banyak memanfaatkan peranti digital. Peralihan ke ruang digital itu mengubah pola bisnis dan aktivitas dagang secara signifikan. Jual-beli via toko daring, transaksi pembayaran nontunai, transportasi daring, dompet digital, dan sebagainya sudah tak asing lagi. Tapi, bagaimana dampak ekonominya bagi daerah?
Pemudik sebagai investor
Daerah semestinya berkesempatan mendapat lebih banyak kue ekonomi dari aktivitas pemudik. Kenyataannya, selama musim Lebaran, pemudik masih sekadar disasar sebagai pasar untuk belanja produk lokal, itu pun belum maksimal. Belum banyak pembelian ulang saat pemudik kembali ke perantauan.
Peluang terjadinya pembelian ulang dan pemesanan baru melenyap begitu saja karena aktivitas ekonomi masih terfokus pada pemudik secara fisik. Mestinya pemudik dipandang sebagai pengguna teknologi informasi yang sulit lepas dari peranti digital. Mereka perlu dimasukkan dalam ekosistem digital untuk mendukung e-commerce produk lokal.
Tak sedikit perantau yang sukses. Mereka adalah segmen khusus yang dapat dimanfaatkan untuk optimalisasi pasar Lebaran. Tetapi, ada yang lebih baik dari itu, yakni menjadikan mereka sebagai mitra strategis daerah. Banyak pilihannya. Di level awal, mereka bisa diminta mendampingi aktivitas bisnis di daerah asal agar mampu menaikkan kualitas dan kuantitas produksi. Naik level, mereka bisa menjadi investor bagi usaha kecil menengah milik kerabat dan tetangga di daerah asal.
Kuncinya, pemda perlu proaktif. Selain membuat instrumen kebijakan pendukung, pemerintah bisa mengadakan aktivitas pemantik. Salah satu contoh, mengadakan festival investasi daerah. Kegiatan ini mungkin tak langsung menghasilkan investasi saat berlangsung. Tetapi, dari sini penyelenggara sudah punya keuntungan tersendiri.
Tak sedikit perantau yang sukses. Mereka adalah segmen khusus yang dapat dimanfaatkan untuk optimalisasi pasar Lebaran.
Di satu sisi, ada kesempatan mengajak para diaspora turut mempromosikan daerah asalnya. Di sisi lain, bisa mendapatkan masukan dari para diaspora sukses dari berbagai profesi yang diundang pada sesi dialog dalam festival.
Ini akan lebih produktif dan melengkapi kegiatan yang selama ini sudah lazim diadakan seperti mengumpulkan pemudik dan saudara sekampung untuk meramaikan pasar malam atau pesta kuliner di pusat kota/kabupaten. Festival investasi (investment fair) yang digelar dalam suasana Lebaran yang sarat suasana kekeluargaan akan membangun semangat kebersamaan dan sinergitas antara diaspora dan warga daerah.
Tentu ada pekerjaan rumah yang perlu dilakukan sebagai pelengkap. Kepala daerah bisa menyodorkan proposal bisnis yang prospektif, studi kelayakan bagi ide bisnis baru, atau prospektus yang menarik bagi pebisnis yang ingin berekspansi. Beberapa bisnis yang dapat dijajaki di daerah, misalnya, pengolahan sabut kelapa dan produksi penganan ringan berbasis bahan lokal memiliki potensi pasar yang luas.
Model investasi dengan melibatkan diaspora memiliki keunggulan. Pertama, investor akan aktif untuk memberikan masukan bahkan dukungan teknologi, pasar, dan lain-lain sesuai kebutuhan. Sebab, mereka tak semata memiliki kepentingan bisnis, tetapi juga punya tanggung jawab sosial untuk membantu orang-orang dekatnya.
Kedua, bisnis akan lebih terkontrol karena investor setiap tahun mudik sembari melihat langsung perkembangan usahanya untuk melengkapi pemantauan berkala melalui aplikasi digital. Dengan begini, ekonomi daerah akan terbangun bersama ikatan sosial dengan model ekonomi gotong royong yang khas Indonesia. Di sini mudik bukan lagi sekadar tradisi tahunan, melainkan momentum memberikan nilai tambah dan memperbaiki pola ekonomi kita untuk lebih maju bersama.