Kewajiban melampirkan ”dummy” buku tanpa ”watermark” sebagai syarat pengajuan ISBN baru membuat pelaku perbukuan di Indonesia gelisah dan khawatir akan bobolnya sistem data Perpusnas. Ada kekhawatiran pembajakan buku.
Oleh
ANGGUN GUNAWAN
·3 menit baca
Beberapa waktu lalu, 4 April 2023, budayawan Betawi yang juga Direktur Penerbit Komunitas Bambu (Kobam), JJ Rizal, mengutarakan keresahannya atas edaran yang dikeluarkan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 30 Maret 2023. Edaran tersebut terkait kewajiban penyerahan dummy buku dalam bentuk PDF yang menjadi persyaratan terbaru untuk pengurusan Nomor Buku Standar Internasional (International Standard Book Number/ISBN) buku di Indonesia tidak perlu diberi watermark (tanda air).
Dia gundah apabila nanti dummy buku yang siap cetak tersebut dibobol atau disebarkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Dengan demikian, pada akhirnya penerbit yang telah bersusah payah menyiapkan penerbitan sebuah naskah buku harus gigit jari karena bukunya telanjur tersebar versi gratisnya atau diproduksi masif secara ilegal oleh mafia-mafia buku bajakan.
Gonjang-ganjing terkait pengurusan ISBN ini muncul ke publik sejak awal 2022, di mana Perpusnas sebagai lembaga yang diberikan otoritas untuk menerbitkan ISBN buku-buku di Indonesia ditegur oleh Badan Internasional ISBN yang berpusat di London, Inggris. Pasalnya, ada lonjakan jumlah pengajuan ISBN yang ”tidak normal” di Indonesia dan sebagian buku yang telah mendapatkan ISBN sulit dilacak keberadaannya di masyarakat.
Kala itu Perpusnas mengeluarkan surat edaran kepada Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sebagai organisasi induk penerbit di Indonesia. Surat edaran tersebut berisi teguran dari London dan agak tersendatnya proses pengajuan ISBN karena proses pengecekan yang makin diperketat oleh Tim KDT (Katalog dalam Terbitan) ISBN Perpusnas.
Namun, surat resmi dari The ISBN Head Agency itu tidak dibuka ke publik oleh Perpusnas sehingga kemudian teguran itu ditafsiran bermacam-macam oleh pelaku dan pengamat perbukuan. Sampai ada yang mengatakan bahwa tidak semua buku harus diberi ISBN dan stok ISBN untuk Indonesia semakin tipis serta Indonesia terancam tidak bisa menerbitkan buku ber-ISBN lagi.
Selepas itu, untuk menghindari sanksi pembekuan pengajuan ISBN oleh Badan Internasional ISBN London, Perpusnas melakukan serangkaian kelompok diskusi terarah (FGD) dengan mengundang Ikapi, Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), serta pelaku dan pengamat dunia perbukuan Tanah Air. Ini dilakukan dalam rangka menyusun regulasi baru agar kejadian ”lonjakan tak wajar” permohonan ISBN tidak terjadi lagi.
Khawatir pembajakan
Pada pertengahan 2022, Perpusnas mengeluarkan Peraturan Perpustakaan Nasional Nomor 5 Tahun 2022 tentang Layanan Angka Standar Buku Internasional (ISBN) tertanggal 22 Juni 2022. Inti peraturan ini ada dua, yaitu penerbit wajib menyerahkan dummy buku saat pengajuan nomor ISBN yang baru dan diharuskan mengirimkan link data buku yang diajukan ISBN-nya di situs web resmi penerbit tersebut. Karena sistem pengunggahan dummy buku dan metadata format baru masih dibangun oleh Perpusnas, aturan ini baru terealisasi pada akhir 2022 atau awal 2023.
Kekhawatiran akan keamanan sistem situs web ISBN Perpusnas yang disampaikan JJ Rizal sebenarnya mewakili kegelisahan para pelaku dunia perbukuan di Indonesia, baik penulis maupun penerbit. Pengalaman bobolnya rekening nasabah bank, tersebarnya data personal sekian juta orang dari sistem Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri), kemudian juga tersebarnya data vaksin dari aplikasi Peduli Lindungi, membuat banyak pihak trauma dengan pengamanan data berbasis digital di negeri ini. Dan sekarang ketakutan bocornya data buku siap cetak yang dimiliki oleh ribuan penerbit di Indonesia juga melanda pemangku kepentingan perbukuan.
Bayang-bayang kelihaian para hacker Indonesia yang berhasil membobol situs kementerian dan lembaga negara menjadi hantu yang mencekam bagi penerbit dan penulis.
Ketika pengajuan ISBN masih berbasis pelampiran data prelims saja, pembajakan buku merajalela di Indonesia, apalagi jika softfile buku siap edar tersebut kemudian diparkir terpusat di sistem informasi Perpusnas. Bayang-bayang kelihaian para hacker Indonesia yang berhasil membobol situs kementerian dan lembaga negara menjadi hantu yang mencekam bagi penerbit dan penulis.
Merespons ketakutan tersebut, Perpusnas tidak bisa bersembunyi dengan berbagai regulasi yang sifatnya formalistik administratif. Yang dibutuhkan publik saat ini, menurut hemat saya, ada dua. Pertama, Perpusnas harus membuktikan bahwa sistem penyimpanan data yang mereka miliki memenuhi standar tingkat keamanan level sangat tinggi (mencapai level keamanan data perbankan).
Hal ini tentu harus dilakukan lewat penjelasan terbuka kepada publik dan pemberitahuan pihak ketiga manakah yang digunakan oleh Perpusnas sebagai rekanan cloud penyimpanan softfile dummy buku tersebut. Tak cukup sampai di situ. Perpusnas juga harus memberikan semacam klausul ”Kesiapan Ganti Rugi Finansial” jika ditemukan kasus tersebarnya file-file buku penerbit akibat kebocoran sistem penyimpanan Perpusnas.
Kedua, ketika sistem pengamanan data sudah berada pada tingkat advanced, peluang kebocoran ada pada oknum atau pegawai Perpusnas sendiri (moral hazard). Ini sering terjadi pada kasus hilangnya uang di rekening nasabah-nasabah bank. Usut demi usut, ternyata masalahnya tidak terletak pada sistem keamanan data, tetapi lebih kepada permainan orang dalam yang memiliki akses membuka akun nasabah.
Di sinilah kemudian Perpusnas tidak bisa membiarkan Tim KDT ISBN-nya bekerja tanpa pengawasan dan ruang khusus yang dipantau 24 jam dengan CCTV. Tentu saja, aspek legal terkait pembocoran data dummy buku dan penegakannya harus dibuat sebaik mungkin oleh Perpusnas. Termasuk juga aspek regulasi ganti rugi bagi penerbit yang bukunya menjadi korban dari tangan-tangan jahil internal Perpusnas.
Apabila dua sistem keamanan data ini tidak bisa diimplementasikan oleh Perpusnas, tidaklah menjadi aib jika Perpusnas berbesar hati merevisi Peraturan Perpusnas Nomor 5 Tahun 2022 tersebut. Alternatif lain yang layak dicoba, menurut saya, adalah Ikapi bisa mengajukan diri kepada The ISBN Agency London sebagai lembaga authorized yang juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ISBN di Indonesia.
Ada jalan tengah yang bisa diambil soal otoritasi ISBN ini di Indonesia. Perpusnas diberikan kapling pengurusan ISBN untuk publikasi yang sifatnya nonkomersial.
Sudah jamak terjadi di negara-negara lain bahwa asosiasi penerbitanlah yang menjadi tempat pengurusan ISBN, bukan dimonopoli oleh Perpusnas yang sebenarnya tugas utamanya bukanlah sebagai tempat registrasi ISBN. Sekarang Perpusnas malah terserap pikiran dan energinya untuk hal-hal administratif yang bukan menjadi kerja pokok lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada presiden tersebut.
Ada jalan tengah yang bisa diambil soal otoritasi ISBN ini di Indonesia. Perpusnas diberikan kapling pengurusan ISBN untuk publikasi yang sifatnya nonkomersial, seperti buku-buku dan laporan-laporan yang diterbitkan secara open access oleh kementerian dan lembaga negara, monografi dari hasil riset yang menggunakan hibah dana publik, buku-buku ajar dan referensi yang ditulis para dosen/guru dengan orientasi pada poin kredit kenaikan pangkat dengan lembaga publikasi kampus atau sekolah sebagai pengusulnya.
Sementara itu, buku-buku yang akan dikomersialkan bisa dipegang pengurusan ISBN-nya oleh Ikapi. Sebab, sebagai asosiasi penerbit yang berorientasi profit, Ikapi lebih mampu memahami persoalan dan situasi penerbit-penerbit sendiri. Mereka bisa membuat pola pengurusan ISBN yang lebih melindungi kepentingan anggota-anggotanya.
Di tengah gairah masyarakat untuk menerbitkan buku dan berbagai macam bentuk publikasi, sistem pengurusan ISBN yang cepat, transparan, dan aman menjadi suatu keniscayaan agar sistem penomoran publikasi di Indonesia bisa rapi dan tertib. Ketika kebijakan-kebijakan Perpusnas malah membuat resah pelaku perbukuan, berbagai alternatif dan solusi radikal harus diambil untuk menyelamatkan ekosistem penerbitan di Indonesia.