Kehadiran Perpusnas Press belum menemukan urgensinya di dunia penerbitan di Indonesia, baik dari segi peningkatan literasi masyarakat, penyehatan eksosistem perbukuan, maupun dari segi penyediaan buku-buku berkualitas.
Oleh
ANGGUN GUNAWAN
·6 menit baca
Di tengah kisruh pemberian nomor buku (international standard book number/ISBN) dan banyaknya penerbit yang mengeluhkan lamanya proses pengajuan ISBN, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia malah semakin menguatkan eksistensi Perpusnas Press dalam jagat dunia penerbitan di Indonesia. Perpusnas Press dilahirkan pada 23 Juli 2019 lewat Surat Keputusan Kepala Perpusnas dengan tugas utama menjadi penerbit karya-karya tulis dan publikasi bertema kepustakaan dan kepustakawanan. Seminggu berselang sejak SK itu muncul, Perpusnas Press langsung terdaftar sebagai anggota Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia).
Tentu saja kehadiran Perpusnas ini menimbulkan pertanyaan dari para pemangku kepentingan industri penerbitan di Indonesia. Pertama, sebagai lembaga yang memegang otoritas pengurusan ISBN di Indonesia, seharusnya Perpusnas tidak menjadi pemain baru di dunia/industri penerbitan. Fungsi regulator pengurusan ISBN semestinya tidak dinodai dengan kehadiran Perpusnas sebagai aktor/pemain dari penerbitan buku itu sendiri.
Kedua, ketika Perpusnas Press juga terdaftar sebagai anggota Ikapi, sebenarnya Perpusnas sebagai lembaga independen negara yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden telah memosisikan diri sebagai bagian dari asosiasi penerbit yang mayoritas bermain dalam sisi bisnis (profit-oriented) penerbitan. Di sinilah terjadi anomali.
Pada posisi pengurusan ISBN, Perpusnas menjadi sangat jumawa dan menjadi penentu nasib ”keabsahan” buku yang diterbitkan oleh penerbit yang ada di Indonesia. Akan tetapi, di saat Perpusnas Press berpijak sebagai unit kerja dari Perpusnas, ia malah mendegrasikan diri sejajar dengan penerbit-penerbit lainnya, tunduk dan patuh dengan AD/ART yang disepakati setiap Musyawarah Nasional Ikapi.
Sebagai lembaga yang memegang otoritas pengurusan ISBN di Indonesia, seharusnya Perpusnas tidak menjadi pemain baru di dunia/industri penerbitan.
Status keanggotaan Ikapi yang terbit berselang seminggu setelah dikeluarkannya SK pendirian Perpusnas Press-pun meninggalkan tanda tanya. Dalam Anggaran Rumah Tangga Ikapi Pasal 24 Ayat 5 disebutkan bahwa syarat menjadi anggota Ikapi adalah ”Telah menerbitkan sekurang-kurangnya tiga judul buku ber-ISBN”.
Dari sisi common sense, apakah dengan jeda satu minggu Perpusnas Press sudah bisa memproduksi tiga judul buku sebagai persyaratannya menjadi anggota Ikapi? Sementara untuk pengurusan ISBN, paling tidak dibutuhkan waktu 3-7 hari kerja. Bahkan belakangan pengurusan ISBN yang dialami oleh banyak penerbit bisa sampai 2-4 minggu. Belum lagi kalau bicara soal proses akuisisi naskah, proses editan, layout, desain, dan proses cetak. Karena itu dari segi prosedural pengajuan sebagai anggota Ikapi, terjadi sesuatu yang instan dan tidak logis.
Semangat awal
Sejak kehadirannya per 23 Juli 2019 hingga detik ini, ternyata Perpusnas Press telah menghasilkan 301 judul buku, 42 pedoman/standar, 2 prosiding, 54 laporan, dan 26 majalah/jurnal. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Dalam waktu tiga tahun tiga bulan, Perpusnas Press telah melahirkan publikasi sebanyak 425 judul atau produktivitas per tahun berada pada angka 130-140 karya.
Akan tetapi, jika dicermati lagi, dari produk-produk tersebut, banyak yang kemudian lari dari semangat awal pendirian Perpusnas Press, yakni sebagai penerbit yang berfokus pada karya publikasi bertema perpustakaan dan kepustakawanan. Sebagai contoh, buku terbaru yang digarap oleh Perpusnas Press ialah Pulih Bersama Bangkit Perkasa yang diterbitkan sebagai buku antologi para penulis Indonesia untuk KTT G20 di Jakarta Oktober 2022. Pertanyaannya adalah di mana sisi substansi keilmuan perpustakaan (library/information science) dan kaitan dengan kepustakawanannya?
Perpustakaan seharusnya tidak mengooptasi fungsi proses kreatif penerbitan dan ” gate-keeper ” (penjagaan kualitas sebuah buku/karya tulis) yang selama ini dipegang oleh penerbit.
Memang, diakui bahwa sebagian besar produk yang dihasilkan oleh Perpusnas Press adalah hasil dari gerakan literasi yang mereka lakukan di sejumlah daerah. Sudah lazim secara reguler dan periodik Perpusnas mengadakan acara-acara lokakarya, sayembara, dan lomba kepenulisan dan literasi yang melibatkan berbagai pegiat literasi yang kebanyakan juga berstatus sebagai penulis.
Namun, kalau kita lihat dari sisi basis epistemologi keilmuan publishing studies dan library science, banyak perbedaan yang mendasar. Publishing studies bermain pada wilayah proses kreatif penciptaan karya tulis sampai proses diseminasinya kepada publik/masyarakat. Sementara library science bermain pada sistem penyimpanan produk-produk penerbitan dan pemberian akses kepada masyarakat atas koleksi-koleksi tersebut.
Perpustakaan memang memiliki kewajiban untuk menyediakan sumber bacaan yang berkualitas kepada publik sekaligus mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan minat baca. Namun, perpustakaan seharusnya tidak mengooptasi fungsi proses kreatif penerbitan dan gate-keeper (penjagaan kualitas sebuah buku/karya tulis) yang selama ini dipegang oleh penerbit.
Tugas pokok perpustakaan nasional, sebagaimana yang digariskan UNESCO, sebenarnya sudah sangat jelas, yakni mengumpulkan dan melestarikan literatur nasional dengan sasaran selengkap mungkin baik itu karya tercetak maupun karya terekam. Di butir-butir tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia juga tidak tertera fungsi penerbitan, apalagi penerbitan buku dengan tema yang sangat luas.
Yang dimungkinkan itu adalah menerbitkan atau menunjang penerbitan bibliografi khusus yang sampai saat ini masih minim dikerjakan oleh Perpusnas. Misalnya tentang bibliografi karya-karya tentang kekayaan literasi suku/etnis di Indonesia yang kemudian lebih banyak dikerjakan oleh para peneliti, seperti bibliografi surat kabar dan majalah Minangkabau yang dikerjakan oleh profesor sejarah Malaysia, Ahmat Adam.
Selain itu, kerja sama untuk melengkapi literatur keindonesiaan dan kenusantaraan masih perlu ditingkatkan. Masih banyak literatur keIndonesiaan yang dikoleksi oleh perpustakaan dunia, seperti KITLV-Universitas Leiden dan British Library yang belum terintegrasi dengan koleksi Perpusnas sehingga banyak peneliti studi keindonesiaan masih harus pergi ke Belanda dan Britania Raya (UK), atau harus memiliki privilege khusus untuk mengakses dokumen-dokumen yang dimiliki oleh perpustakaan di luar negeri. Padahal kerja sama antarperpustakaan lintas negara itu sangat dimungkinkan.
Perpusnas harus dikembalikan kepada filosofi pendirian dan tupoksi yang seharusnya. Untuk hal-hal yang terkait dengan penerbitan dan hubungannya dengan ISBN, seharusnya diserahkan kepada sebuah lembaga khusus yang setara dengan Perpusnas dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pengaturan dunia perbukuan yang sudah dilegalisasi lewat peraturan selevel Undang-Undang (UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan Nasional) seharusnya ditindaklanjuti dengan pendirian lembaga yang juga memiliki posisi spesial selevel Perpusnas atau Komisi Penyiaran. Saat ini pengurusan dunia buku di Indonesia tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga. Untuk buku-buku pendidikan, diserahkan kepada Pusat Perbukuan yang berada di bawah Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dari segi okupasi, penerbitan buku sendiri berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatka. Sementara pelaku penerbitan ditempatkan sebagai pelaku ekonomi kreatif yang masuk dalam ranah Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif. Kemudian untuk pengurusan ISBN yang menjadi elemen vital pada sebuah buku, berada pada kuasa Perpusnas.
Menurut saya, kehadiran Perpusnas Press belum menemukan urgensinya dalam dunia penerbitan di Indonesia baik dari segi peningkatan literasi masyarakat, penyehatan eksosistem perbukuan, maupun dari segi penyediaan buku-buku berkualitas. Kalaupun ada kepentingan Perpusnas untuk menerbitkan buku seputar keilmuan perpustakaan dan kepustakawanan, lebih baik dengan pola kerja sama dengan penerbit-penerbit kampus yang memiliki ahli dan program studi Ilmu Perpustakaan.
Untuk hilirisasi program-program kepenulisan yang dilakukan oleh Perpusnas dan unit-unitnya di daerah, sebenarnya Perpusnas bisa mengandeng penerbit-penerbit indie yang kebanyakan dimiliki oleh peserta-peserta yang mengikuti lokakarya kepenulisan dan literasi, sayembara dan lomba yang diadakan oleh Perpusnas. Dengan demikian, dunia penerbitan yang selama ini dikuasai oleh penerbit-penerbit besar di Jawa juga bisa mencapai titik keseimbangan dengan jalinan kerja sama Perpusnas dengan penerbit-penerbit kecil di daerah-daerah. Tentu saja tanpa harus melampaui tugas fungsi Perpusnas karena fungsi pembimbingan penerbit tidak menjadi wilayah Perpusnas.
Anggun Gunawan, Dosen Prodi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta; Alumnus S-2 Publishing Media, Oxford Brookes University, Inggris.