Kewaspadaan terhadap ancaman aksi teror mesti terus dilakukan. Kewaspadaan juga dibutuhkan, jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan aksi-aksi tersebut.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sejumlah kasus yang melibatkan terduga teroris belakangan ini kembali mengingatkan bahwa kewaspadaan tetap dibutuhkan terhadap ancaman aksi terorisme.
Kasus tersebut, misalnya, adalah tembak-menembak antara enam terduga teroris dan tim Detasemen Khusus 88 Antiteror di Lampung pada Selasa dan Rabu (11-12/4/2023). Dalam peristiwa ini, dua teroris tewas dan empat teroris ditangkap. Sementara satu polisi mengalami luka tembak.
Pada Senin (10/4/2023), dua polisi terluka karena diserang tiga warga negara asing (WNA) asal Uzbekistan yang hendak melarikan diri dari Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Tiga anggota kelompok jaringan teroris Katiba Tawhid Wal Jihad itu sedang menunggu dideportasi ke negara asalnya.
Dalam peristiwa yang membuat seorang petugas Kantor Imigrasi tewas dan seorang lainnya terluka ini, dua WNA berhasil ditangkap kembali. Seorang WNA lainnya ditemukan meninggal di Kali Sunter karena diduga tenggelam saat berusaha kabur. Pada 16 Maret 2023, lima tersangka teroris juga ditangkap di Sulawesi Tengah.
Beragamnya kasus terorisme membuat hingga saat ini masih sulit mendapatkan rumusan yang betul-betul pasti mengapa seseorang terlibat dalam aksi tersebut. Di saat yang sama, juga tak mudah mendapatkan rumusan yang pasti tentang bagaimana melepaskan seseorang dari aksi terorisme dan jaringan yang melingkupinya.
Sejumlah aksi teror bahkan melibatkan eks terpidana terorisme. Ini, misalnya, terjadi dalam teror bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 7 Desember 2022. Agus Sujatno, pelaku bom bunuh diri dalam aksi tersebut, sebelumnya juga terlibat dalam teror bom di Cicendo, Bandung, pada 2017. Saat itu Agus lantas dihukum 4 bulan penjara.
Tak mudah mendapatkan rumusan yang pasti tentang bagaimana melepaskan seseorang dari aksi terorisme dan jaringan yang melingkupinya.
Pelaku teror juga semakin beragam, bahkan mulai melibatkan anggota keluarga. Hal itu antara lain terlihat dalam aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga di Surabaya, Jawa Timur, Mei 2018.
Di tengah kondisi ini, ada sejumlah orang yang dengan sadar meninggalkan jejaring radikalisme dan ingin berperan secara positif di jalan baru. Hal itu, misalnya, dapat dilihat dalam diri Umar Patek atau Nasir Abbas. Orang seperti mereka ini perlu diterima secara positif dan diberi kesempatan untuk memaknai kembali hidupnya. Di saat yang sama, kehadiran mereka juga dapat membantu upaya deradikalisasi.
Upaya deradikalisasi ini, selain melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara lebih komprehensif, juga mesti diiringi dengan langkah lain, seperti meningkatkan literasi dan menjaga rasa keadilan di masyarakat. Sebab, hal-hal itu diduga juga turut memicu radikalisme.
Di saat yang sama, kewaspadaan terhadap ancaman aksi teror juga mesti terus dilakukan. Kewaspadaan juga dibutuhkan, jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan aksi-aksi tersebut. Akhirnya, berbagai upaya untuk mengatasi terorisme ini membutuhkan peran negara yang kuat.