Ramadhan ini menjadi momentum yang tepat bagi pegiat antikorupsi dan tokoh agama, bagaimana menjadikan ibadah puasa sebagai madrasah yang efektif untuk memerangi perilaku korupsi yang sangat menggila saat ini.
Oleh
HANDI RISZA
·3 menit baca
Datangnya bulan suci Ramadhan pada saat kondisi bangsa sedang dilanda ”pandemi” korupsi yang marak di semua tempat—baik di darat, udara, dan laut, terjadi di semua sektor, mulai dari perpajakan, BUMN, pertambangan, pendidikan, hingga bantuan sosial—memberikan makna tersendiri yang harus kita sambut dengan penuh pengharapan. Minimal, dalam satu bulan ke depan angka indeks persepsi korupsi Indonesia akan bisa menurun secara signifikan. Sudah selayaknya antikorupsi menjadi tema utama yang disampaikan dalam mimbar-mimbar Ramadhan di semua tempat.
Korupsi sebagai ”pandemi”
Praktik korupsi dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi pandemi yang sulit untuk diberantas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa pandemi adalah ’wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas’. Penggunaan istilah pandemi tidak bisa dilepaskan dari gelombang pandemi Covid-19 yang baru saja kita hadapi merata di seluruh wilayah, begitu pula gambaran korupsi hari ini, terjadi secara merata hampir ke seluruh negeri. Pandemi korupsi semakin hari semakin membesar tanpa ada pencegahan yang berarti.
Berbagai pakar dan praktisi lembaga antikorupsi juga menyinyalir hal yang sama. Sekarang kita menoleh ke mana saja terjadi korupsi: hutan, udara, koperasi, asuransi (Mahfud MD, 2023). Terjadinya pandemi korupsi hampir di semua lini melibatkan seluruh elemen pemerintahan pusat ke daerah; melibatkan penyelenggara negara eksekutif, yudikatif, dan legislatif (Romli, 2020). Senada dengan itu, tindak pidana korupsi itu bukan penyakit perorangan, melainkan lebih pada penyakit sistemik dan masif. Apa maknanya kalau di sini terjadi, di tempat lain terjadi, di tempat lain lagi terjadi, berarti penyakitnya itu penyakit pandemi (Ghufron, 2020).
Korupsi kemudian menjelma menjadi pandemi yang merebak di berbagai sektor kehidupan, membuat masyarakat resah. Namun, keresahan ini dapat teratasi dengan cara pemberian vaksin untuk meningkatkan pertahanan tubuh. Hadirnya Ramadhan ibarat sebuah vaksin yang penuh dengan muatan dan substansi spiritual yang digunakan untuk membantu melawan hawa nafsu. Hal ini dilakukan agar sistem keimanan dalam diri manusia dapat melawan kungkungan syahwat yang menginfeksi tubuh manusia dengan mudah. Maka dari itu, berpuasa dapat dianggap membantu diri manusia untuk terhindar dari paparan virus korupsi penyebab terjadinya pandemi.
Makna puasa
Perintah puasa dalam Al Quran berbunyi, ”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa” (QS Al Baqarah: 183). Puasa merupakan momentum bagi diri manusia untuk kembali kepada fitrahnya. Melepaskan diri manusia dari kungkungan materi yang melenakan dan melalaikan, untuk kemudian memberikan ruang yang lebih luas dan mendalam kepada diri manusia untuk menangkap dimensi spiritual yang lebih kuat dalam hubungannya dengan Allah SWT dan lingkungan sekitarnya. Inilah sesungguhnya jalan menuju derajat takwa yang terkandung dalam ayat tersebut.
Dalam salah satu hadisnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Puasa adalah suatu perisai, seperti perisai salah seorang di antara kamu untuk melindungi dari peperangan” (HR Ahmad, Nasai, dan Ibnu Majah). Puasa sebagai perisai diri yang tangguh merupakan sarana pendidikan diri yang efektif dalam membangun karakter, mengokohkan kemauan, penguatan disiplin, dan penanaman nilai-nilai kebaikan yang membebaskan seseorang dari sifat-sifat yang merusak dirinya melalui pengendalian nafsu dan syahwat. Perisai ini diharapkan akan mampu melindungi diri manusia dari kejahatan hawa nafsu, salah satunya korupsi.
Puasa juga sebagai momentum untuk memperbaiki akhlak manusia yang merupakan cerminan akhlak suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat korupsi suatu negara, menandakan akhlak dari bangsa tersebut sedang sakit.
Syed Hussein Alatas dalam The Sociology of Corruption mengemukakan tujuh tipologi atau jenis korupsi. Ketujuh tipologi korupsi itu adalah korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi defensif (defensive corruption), korupsi otogenik (autogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption).
Selaras dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengelompokkan korupsi ke dalam tujuh jenis utama. Ketujuh jenis tersebut adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Maka, pendidikan diri yang dilakukan selama bulan Ramadhan diharapkan dapat melahirkan kesadaran diri manusia untuk bersikap jujur kepada diri sendiri, patuh dan taat terhadap aturan agama dan regulasi negara, takut mengerjakan yang dilarang. Puasa juga sebagai momentum untuk memperbaiki akhlak manusia yang merupakan cerminan akhlak suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat korupsi suatu negara menandakan akhlak dari bangsa tersebut sedang sakit. Oleh sebab itu, secara reflektif-filosofis, ibadah puasa bisa menjadi wahana pendidikan antikorupsi yang efektif.
Dalam konteks inilah dibutuhkan peran dari tokoh-tokoh agama untuk memberikan pemahaman dan pendidikan mengenai ibadah puasa secara kafah. Ibadah puasa harus dipahami secara komprehensif, jangan sampai ibadah puasa hanya diartikan sekadar menahan rasa lapar, dahaga, dan menahan hawa nafsu semata.
Lebih dari itu, penghayatan terhadap makna ibadah puasa secara transendental, yang meliputi makna puasa secara fisik dan batiniah, juga harus dibarengi dengan perilaku sosial yang menunjukkan kepedulian terhadap mereka yang mengalami kesulitan dalam kehidupan. Dengan kata lain, puasa akan menjadikan manusia sebagai pribadi yang saleh secara individu dan sosial.
Ramadhan ini menjadi momentum yang tepat bagi seluruh pegiat antikorupsi dan tokoh-tokoh agama untuk bahu-membahu memberikan pencerahan kepada seluruh unsur masyarakat, baik sebagai masyarakat biasa maupun sebagai pejabat publik, bagaimana ibadah puasa akan menjadi madrasah yang efektif untuk memerangi perilaku korupsi yang sudah sangat menggila tersebut. Jika ibadah puasa dijalankan atas dasar kesungguhan hati untuk menjawab panggilan Allah SWT, maka nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya akan mampu memangkas perilaku korupsi yang sudah meresahkan tersebut.
Penutup
Bulan suci Ramadhan harus menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki perilaku dan akhlak yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyakit korupsi yang kemudian menjelma menjadi pandemi yang bersifat masif dan sistemik harus segera dilawan sebelum membuat kerusakan lebih dalam.
Puasa sebagai ibadah harus dipahami secara komprehensif, selain memiliki makna secara fisik dan batiniah, juga memiliki makna sosial yang mendalam. Puasa menanamkan nilai dalam relasi dengan Sang Khalik dan masyarakat secara luas, untuk melatih atau menanamkan perilaku atau sikap manusia untuk patuh dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT. Pada akhirnya dengan memegang teguh prinsip antikorupsi, seseorang memiliki benteng moral untuk tidak melakukan korupsi dan juga mencegah tindakan korupsi.