Prahara Sijali, Nestapa Dosen Indonesia
Berlakunya Sistem Jabatan Informasi Akademik menuai kritik sejumlah dosen. Kebijakan itu dinilai memaksa dan tak adil, terutama terkait penilaian angka kredit. Reformasi birokrasi pendidikan merupakan keniscayaan.
Berita tentang dunia akademik di Tanah Air ahir-akhir ini sungguh memprihatinkan.
Tidak hanya gelar doktor kehormatan (honoris causa) yang ”diobral” kepada sejumlah tokoh nasional, tetapi juga pemberian jabatan akademik tertinggi guru besar kehormatan kepada tokoh yang tidak merintis karier menjadi dosen.
Ada yang ”didosenkan” terlebih dulu beberapa semester, padahal Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013 mengatur bahwa salah satu syarat pengajuan guru besar adalah memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat sepuluh tahun.
Sementara itu, dosen asli yang bukan ”KW” harus merintis jabatan akademik dari bawah dan butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menaikkan jabatan akademiknya. Proses pengajuannya pun berlapis dan membutuhkan waktu panjang. Banyak yang terkendala oleh syarat khusus publikasi jurnal nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional bereputasi.
Baca juga: Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia
Prahara Sijali
Cita-cita menjadi guru besar selayaknya dimiliki semua dosen. Sejumlah dosen yang tidak sabar mengikuti proses yang panjang dan berliku akhirnya mengambil jalan pintas.
Untuk memenuhi syarat khusus tersebut, ada yang menyewa joki. Harian Kompas, Jumat-Minggu (10-12/2/2023), melaporkan liputan investigasinya selama tiga hari berturut-turut mengenai perjokian karya ilmiah di dunia akademik yang dilakukan para dosen itu.
Beberapa minggu terakhir, semua dosen di Indonesia tertimpa ”Prahara Sijali”. Sijali akronim dari Sistem Jabatan Informasi Akademik yang diselenggarakan oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah 3 (LLDIKTI3) yang mencakup wilayah Jakarta. Di wilayah lain nama berbeda, misalnya LLDIKTI2 (Sumatera bagian selatan) dinamai Sikito dan LLDIKTI6 (Jawa Tengah) dinamai Sijago.
Prahara dimulai dari kegiatan sosialisasi pengaturan tentang penilaian angka kredit dan kewajiban khusus BKD pada 10 Maret 2023 yang bisa diikuti melalui kanal Youtube. Dalam acara ini disebutkan adanya Permenpan dan RB No 1/2023 tentang Jabatan Fungsional—pada dosen disebut jabatan akademik dosen—yang akan diberlakukan pada 1 Juli 2023.
Dalam pelaksanaannya, LLDIKTI3 mengatur bahwa dosen diharapkan mengisi semua kegiatan Tridarma Perguruan Tinggi sejak pengangkatan terakhir (TMT) sampai 31 Desember 2022 disertai dengan mengunggah surat tugas dan bukti kegiatan ke aplikasi yang disediakan, dalam hal ini Sijali.
Baca juga: Guru Besar Tanpa Pewaris Keilmuan
Berdasarkan sosialisasi itu, tenggat yang diberikan adalah 15 Mei 2023 (tanda tangan dekan). Dalam perjalanannya diajukan menjadi 15 April 2023. Bisa dibayangkan bagaimana paniknya dosen-dosen yang TMT-nya mungkin belasan tahun yang lalu.
Mereka harus mengumpulkan semua dokumen layaknya mengurus kenaikan jabatan dalam waktu singkat. Sanksi bagi dosen yang tidak melaporkan kegiatannya tidak main-main: hangus. Kebijakan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Para dosen menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencari dokumen yang diperlukan, memindai semua dokumen dalam format PDF. Kalau file terlalu besar perlu dikompres untuk dikecilkan dan mengunggahnya ke aplikasi. Karena semua dosen serentak melakukannya, aplikasi mulai rewel, lemot, dan sulit diakses.
Aplikasi Sijali mempunyai dua bagian, yaitu jabatan akademik dosen (JAD) dan penilaian angka kredit (PAK). JAD dipergunakan bagi dosen yang mengurus kenaikan jabatan akademik, sementara PAK untuk pengakuan angka kredit agar tidak hangus. Sejumlah dosen mengisi JAD karena PAK terlambat dibuka, padahal mereka yang mengisi JAD mendapat tenggat lebih awal, yaitu 4 April 2023.
Berdasarkan sosialisasi PAK yang dilaksanakan pada 3 April 2023, dijelaskan bagi dosen yang sudah mengisi JAD bisa diajukan untuk nantinya LLDIKTI akan melakukan migrasi ke PAK.
Kenyataannya, JAD sudah diajukan tidak bisa diproses lanjut oleh universitas karena sudah terkunci. Maka, dosen diminta mengisi ulang data yang sama di PAK. Sebuah aturan yang sangat tidak masuk akal dan semena-mena.
Mereka harus mengumpulkan semua dokumen layaknya mengurus kenaikan jabatan dalam waktu singkat. Sanksi bagi dosen yang tidak melaporkan kegiatannya tidak main-main: hangus.
Seruan 15 dosen
Merespons peraturan tentang PAK yang tiba-tiba, bersifat memaksa dan tak adil ini, 15 dosen perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) mengajukan seruan kepada Mendikbudristek untuk segera melakukan empat keputusan. Pertama, membatalkan tenggat 15 April 2023 dalam melakukan pelaporan PAK. Kedua, menghapus ancaman sanksi hangus. Ketiga, melakukan audit aplikasi di lingkungan Ditjen Dikti Ristek yang sangat banyak dan tak terintegrasi sehingga membebani dosen. Keempat, melakukan reformasi birokrasi pendidikan.
Seruan ini berdasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, ketidakadilan bagi para dosen karena harus melakukan pelaporan berulang pada aplikasi Sijali, padahal di setiap akhir semester dosen telah melaporkan kerjanya pada aplikasi Sister (Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi). Dalam kenyataan, aplikasi tersebut tidak terintegrasi dan dosen wajib mengisi ulang. Tentu saja ini menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Apalagi dibayang-bayangi sanksi hangus kalau tidak dilaporkan.
Kedua, kebijakan PAK dianggap tak tepat sasaran karena Permenpan dan RB No 1/2023 tentang Jabatan Fungsional mengatur aparatur sipil negara (ASN) (Pasal 1, Butir 10 tentang Ketentuan Umum), tetapi diterapkan pada semua dosen baik PTN maupun PTS.
Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh peraturan sebelumnya, yaitu Permenpan dan RB No 17/2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya sebagai basis PAK pada semua dosen di Indonesia. Karena sama-sama tentang jabatan fungsional, maka diberlakukan ke semua dosen.
Ketiga, ke-15 dosen menyatakan kebijakan PAK ini cacat secara administratif karena tak sesuai hierarki perundang-undangan. Kebijakan tentang pelaporan PAK yang terburu-buru diterapkan dan selalu berubah-ubah sangat merugikan dosen karena menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Juga tanpa kepastian.
Menanggapi seruan 15 dosen di atas, Dirjen Dikti buru-buru memberi perpanjangan tenggat menjadi 15 Mei 2023. Penerapan kebijakan yang kedodoran tanpa mitigasi dampak yang diakibatkannya menjadi pelajaran besar. Reformasi birokrasi pendidikan merupakan keniscayaan untuk mengangkat nestapa dosen di Indonesia.
Eunike Sri Tyas Suci, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya