Kekerasan di Masjidil Aqsa pekan lalu menyalakan kembali alarm ketegangan di Timur Tengah. Di bawah pemerintahan sayap kanan, Israel tengah bermain dengan api.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Penyerbuan dan penganiayaan oleh aparat Israel terhadap jemaah yang beribadah di Masjidil Aqsa, Rabu (5/4/2023), menyalakan lagi ketegangan di Timur Tengah. Gideon Levy, wartawan dan penulis buku dari Israel, dalam wawancara dengan Al Jazeera, Minggu (9/4/2023), menyebut, tak seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintahan Israel kini sangat radikal. Kelompok paling radikal di dalamnya terus mendorong tindakan yang bisa memantik bencana.
Seperti diberitakan, pada Rabu dini hari polisi Israel menyerbu masuk Masjidil Aqsa, menembakkan gas air mata dan granat, memukuli jemaah yang sedang beritikaf—sebagian jemaah shalat dan membaca Al Quran—dengan pentungan dan popor senjata, serta mengusir jemaah. Polisi Israel beralasan, mereka ingin menangkap puluhan pemuda Palestina yang membuat barikade di dalam masjid dengan membawa kembang api, pentungan, dan batu. Mereka menuding pemuda Palestina itu akan mengganggu warga Yahudi yang hendak berkunjung ke Bukit Kuil (Temple Mount).
Bukit Kuil adalah sebutan Pemerintah Israel dan warga Yahudi merujuk pada al-Haram al-Sharif, kompleks Masjidil Aqsa. Rabu pekan lalu adalah awal perayaan Paskah Yahudi. CNN memberitakan, sebelum insiden Rabu, muncul seruan agar kaum Muslim bertahan di Masjidil Aqsa karena kelompok ekstrem Yahudi menyeru umatnya masuk Bukit Kuil dan menyembelih kambing sebagai bagian dari ritual Paskah Yahudi.
Isu al-Haram al-Sharif menempati salah satu jantung konflik Palestina-Israel selama ribuan tahun. Menurut kesepakatan status quo pengelolaan Masjidil Aqsa, umat Islam dapat beribadah di kompleks Masjidil Aqsa, sedangkan umat Yahudi boleh berkunjung, tetapi tak diperbolehkan beribadah di dalamnya. Umat Yahudi beribadah di Tembok Barat, tak jauh dari Masjidil Aqsa.
Namun, beberapa tahun terakhir, kekhawatiran meningkat di kalangan warga Palestina terhadap upaya Israel untuk mengubah status quo itu. Adnan Abu Amer, Kepala Departemen Ilmu Politik Universitas Ummah di Gaza, menyebut warga Palestina waswas pemerintahan sayap kanan di bawah PM Benjamin Netanyahu ingin mengulang langkah yang telah dilakukan pada Masjid Ibrahim di Hebron.
Seperti halnya Masjidil Aqsa, Masjid Ibrahim sama-sama dianggap suci oleh umat Islam dan Yahudi. Menyusul penembakan 29 warga Palestina yang beribadah di dalamnya oleh pemukim Yahudi pada 1994, Israel membagi masjid itu menjadi dua bagian, untuk umat Islam dan umat Yahudi.
Dalam pernyataan pekan lalu, Netanyahu menegaskan tetap berpegang pada status quo di Masjidil Aqsa. Namun, pernyataan yang sudah berulang kali disampaikannya tidak selaras dengan tindakan aparatnya. Wajar saja ada kekhawatiran mengenai status quo Masjidil Aqsa itu.