Mengapa masih terjadi kesenjangan pelayanan kesehatan? Banyak akar permasalahannya. Pemerintah ingin mengubah sistem pendidikan kedokteran melalui RUU Kesehatan. Namun, jangan mengabaikan kualitas pendidikan kesehatan.
Oleh
OVA EMILIA
·4 menit baca
Awal 2023, Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan meninggalnya pasien dari kepulauan terluar, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, saat menempuh perjalanan ke rumah sakit. Menggunakan perahu selama 26-32 jam. Minimnya fasilitas kesehatan, keterbatasan dokter, dan kesenjangan pelayanan kembali menjadi isu yang mencuat.
Mengapa masih terjadi kesenjangan? Banyak akar permasalahannya. Dari keterbatasan kuota penerimaan peserta pendidikan dokter, mahalnya biaya pendidikan, rumitnya izin praktik, tidak meratanya distribusi dokter, hingga ketiadaan gaji bagi dokter praktik yang menempuh pendidikan spesialis. Semua berdampak pada macetnya produksi dan pemerataan dokter. Terjadilah ”krisis pelayanan kesehatan”.
Menurut Kementerian Kesehatan, satu-satunya jalan keluar adalah menambah jumlah dokter spesialis. Caranya dengan mengubah sistem pendidikannya melalui RUU Kesehatan (Kompas, 28/3/2023).
Berbagai organisasi profesi kesehatan membahas usulan perubahan kebijakan pendidikan dokter ini. Diskursus berkembang. Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa bahkan menyomasi Kemenkes dengan tuduhan penyebaran disinformasi tentang penerbitan surat tanda registrasi dan izin praktik.
Data Kemenkes 2023 menyebutkan bahwa 650 (6,27 persen) puskesmas belum memiliki dokter dan 5.354 (51,85 persen) belum memiliki 9 jenis tenaga kesehatan lengkap, serta 170 (24,69 persen) RSUD kabupaten/kota belum terpenuhi 7 pelayanan dokter spesialis.
Rasio dokter dengan jumlah penduduk juga terhitung masih tinggi di angka 0,58/1.000 penduduk, sedangkan rasio dokter spesialis 0,15/1.000 penduduk, dengan rasio ideal standar WHO 1/1.000 penduduk. Pendekatan rasio sejatinya belum mampu menggambarkan krisis kekurangan dokter, apalagi ke depan ada pengembangan telehealth dan telemedicine.
Ditambah ada ketimpangan distribusi yang berdampak pada minimnya tenaga kesehatan dan medis di wilayah Indonesia timur dan juga kepulauan. Padahal, di beberapa wilayah lain berlebih. Rendahnya retensi tenaga medis dan kesehatan di sejumlah daerah akibat ketidakjelasan skema insentif, keamanan, kemudahan akses, hingga pola karier menjadikan masalah pemerataan distribusi dokter semakin pelik.
Keterbatasan kewenangan pemerintah pusat dalam pemerataan dokter seakan menggenapi kondisi krisis pelayanan kesehatan negeri ini. Pemerintah bahkan belum secara jelas menunjukkan pemetaan jumlah kebutuhan dan penempatan tenaga medis dan tenaga kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Kurangnya pelatihan berbasis kompetensi bagi tenaga medis dan kesehatan yang berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan serta daya saing menambah kompleksitas pemenuhan pelayanan.
Berbagai program untuk penanganan krisis sejatinya telah dilakukan. Sayang, pemerintah belum mengevaluasi program secara mendalam dengan tindak lanjut perbaikan yang signifikan. Tingkat keberhasilan program internship, tugas belajar, kemitraan, Nusantara Sehat, flying doctors, dan telehealth belum cukup dievaluasi pemerintah. Skema program juga masih mengikuti kebijakan yang digulirkan Kemenkes.
Pendidikan dan pelayanan
Di tengah krisis dan tantangan pelayanan kesehatan, solusi pemerintah mempercepat jumlah lulusan untuk pemerataan. Pemerintah merumuskan kebijakan baru melalui satu payung regulasi RUU Kesehatan dengan menghilangkan beberapa undang-undang.
Polemik dan potensi persoalan muncul saat usulan RUU Kesehatan Pasal 180 (2), 183 (3), dan Pasal 204 (2) menyebutkan adanya perubahan kewenangan penyelenggara pendidikan oleh rumah sakit (RS) yang berdampak pada perubahan sistem pendidikan nasional. RUU Kesehatan yang diusulkan menempatkan RS sebagai penyelenggara pendidikan dan mengabaikan prinsip bahwa pendidikan menjadi mandat universitas. Padahal, RS saat ini masih terbebani kegiatan pelayanan dan pengembangan penelitian agar memiliki kompetisi global.
Berbagai program untuk penanganan krisis sejatinya telah dilakukan. Sayang, pemerintah belum mengevaluasi program secara mendalam dengan tindak lanjut perbaikan yang signifikan.
Pemerintah terus mengeluhkan minimnya pemerataan tenaga medis dan kesehatan di Indonesia, tetapi tidak disertai peta distribusi dan data riil jumlah kebutuhan dokter tiap daerah. Indonesia telah memiliki 93 fakultas kedokteran swasta dan negeri dengan rata-rata kelulusan 12.000/tahun. Jumlah ini mencukupi untuk memenuhi kuantitas tenaga medis dan kesehatan. Dengan ketercukupan ini, pemerintah, terutama Kementerian Dalam Negeri, perlu fokus pada aspek pemetaan sumber daya.
Mandat pendidikan kedokteran tidak sekadar ”mendidik” mahasiswa agar terampil teknis medis. Pendidikan memerlukan komitmen dan penguatan nilai etis, pendalaman pengetahuan melalui kajian penelitian, serta melatih empati melalui implementasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Itulah mandat Tridharma Perguruan Tinggi dalam menguatkan proses pendidikan kedokteran yang lingkup tugasnya sarat akan keutamaan etika tanggung jawab kemanusiaan.
Rencana perubahan sistem pendidikan dokter ini harus dilihat secara jernih agar keputusan pemerintah untuk menempatkan RS sebagai penyelenggara pendidikan dalam bingkai RUU Kesehatan tidak terkesan simplifikasi masalah, membuat ”produksi dokter” seakan mudah dimassalkan.
.
Desain kebijakan nasional
Sepakat dengan pernyataan bahwa RUU Kesehatan ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas. Namun, bukan berarti pemerintah harus terburu-buru mengambil jalan keluar dengan mengabaikan mutu pendidikan kesehatan masa depan. Pemerintah perlu memperkuat desain kebijakan nasional yang berpihak pada kualitas pendidikan kesehatan, pemenuhan kuantitas, pemerataan, serta standar keamanan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan bisa menjalin kolaborasi antarpemangku kepentingan, seperti negara, komunitas, dan swasta. Negara dalam hal pelayanan kesehatan menjadi regulator: menentukan standar kualitas pelayanan, sistem pemonitoran, evaluasi, supervisi, dan kendali atas jaminan pemerataan pelayanan kesehatan.
Negara juga berfungsi menjamin pemerataan pelayanan kesehatan dasar, menyediakan jaminan sosial kesehatan dan distribusinya. Adapun komunitas dan swasta menjadi bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dalam kerangka regulasi negara.
Pemerintah bisa mengantisipasi kekurangan tenaga medis dan kesehatan melalui interkonektivitas lintas sektor. Pertama, perlu keterkaitan kerja antara Kemendibudristek sebagai pencetak tenaga medis dan kesehatan berkualitas, Kemenkes sebagai penanggung jawab proses perekrutan dan distribusi, serta pemerintah daerah yang bertugas menjalankan skema retensi.
Kedua, perlu sinergi sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan secara terpadu antara perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan RS sebagai wahana pendidikan sekaligus pusat pelayanan kesehatan.
Pemerintah bisa mengantisipasi kekurangan tenaga medis dan kesehatan melalui interkonektivitas lintas sektor.
Pemerintah bisa memperkuat aspek pemerataan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan melalui skema ”regionalisasi”. Universitas bereputasi tinggi bisa menjadi ”pembina” universitas lain untuk menghasilkan kualitas tenaga medis dan kesehatan.
Pemerintah juga bisa menguatkan skema ”RS rujukan” dan ”RS/fasilitas pelayanan primer” dengan memastikan sistem akses masyarakat yang sensitif dengan kondisi geografis serta kemudahan sistem jaminan sosial kesehatan.
Pemerintah bisa mengembangkan kawasan tertentu untuk menjadi tujuan health tourism dengan fasilitas RS berkualitas global untuk meningkatkan daya saing sekaligus mengurangi laju keluar devisa.
Pemerintah saat ini masih terus mengkaji RUU Kesehatan. Masukan dari semua sektor akan menjadi bahan pertimbangan bagi penetapan kebijakan tersebut. Jangan sampai rencana memperbaiki kuantitas, kualitas, dan pemerataan pelayanan kesehatan justru mengabaikan potensi kualitas pendidikan kedokteran yang telah dibangun negeri ini. Ibarat pepatah ”mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”.
Ova EmiliaGuru Besar Pendidikan Kedokteran Pertama di Indonesia, Rektor Universitas Gadjah Mada