Pembenahan suporter kita belum ke mana-mana, terbukti dari dua insiden kericuhan suporter pada awal April ini di Semarang dan Bogor. Benahi suporter kita, atau kita akan terus begini.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pembenahan suporter sepak bola sepatutnya menjadi bagian tak terpisahkan dari transformasi sepak bola nasional kita. Perbaikan segera dibutuhkan.
Di belahan dunia mana pun, suporter menjadi unsur yang melekat dengan sebuah pertandingan sepak bola. Jika kita berbicara tentang kejuaraan, seperti Piala Eropa, Piala Asia, atau Piala Dunia, manajemen suporter dipastikan sudah terbahas jauh-jauh bulan, bahkan tahun, sebelum kejuaraan dimulai.
Aspek penanganan suporter menjadi keniscayaan seiring kompleksitasnya. Dalam satu laga saja bisa dipastikan kehadiran lebih dari 10.000 penonton, yang hampir pasti ”terbelah dua” karena punya kecenderungan mendukung salah satu tim.
Di Indonesia, mengambil contoh Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, arena ini berkapasitas 78.000 penonton. Manajemen lalu lalang manusia menjadi faktor yang tak boleh diabaikan. Pemicu sesederhana apa pun bakal menyebabkan kericuhan antarmassa suporter, dan menimbulkan kerugian jiwa manusia, serta material.
Tak heran, dalam laga-laga yang melibatkan emosi penonton sedemikian hebat, panitia pertandingan terbiasa menempatkan suporter tim berbeda di tribune yang jauh terpisah. Komunikasi dengan pengurus kelompok suporter lazim dilakukan demi langkah-langkah antisipasi semacam ini.
Akan lebih baik lagi jika digitalisasi bisa menjawab sebagian tantangan ini. Teknologi mahadata seharusnya bisa membuat tiket pertandingan liga kita di berbagai tingkatan, dibeli secara daring, sehingga identitas pemilik karcis terdata.
Pendataan semua penonton ini menjadi awal baik bagi manajemen suporter. Di Inggris, data pembeli tiket ini menjadi landasan bagi penerapan apresiasi dan sanksi (reward and punihsment). Jika si Badu di kursi nomor sekian tribune A stadion X kedapatan melempar benda ke lapangan, dia kehilangan hak membeli tiket untuk laga berikut.
Sistem yang sudah baku, seiring penerapan digitalisasi pembelian tiket, pastinya bisa memastikan ini berjalan optimal. Praktik semacam ini sudah diterapkan di negara-negara terkemuka sepak bola dunia.
Kesalahan komunal suporter juga tak lepas dari sanksi. Sekelompok suporter yang meneriakkan yel-yel rasisme terhadap pesepak bola di lapangan juga dijatuhi sanksi, dan terhadap klubnya, karena pembinaan suporter menjadi tanggung jawab klub.
Indonesia tak kekurangan pengalaman pahit dalam hal penanganan suporter. Insiden Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 membawa Indonesia menjadi negara dalam supervisi Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA).
Namun, pembenahan suporter kita belum ke mana-mana, setidaknya terbukti dari dua insiden kericuhan suporter pada awal April ini di Semarang dan Bogor. Benahi suporter kita, atau kita akan terus begini.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO