”Flexing” atau pemameran status sosial gaya hidup mewah dilakukan dengan tujuan macam-macam. Selain negatif, ada pula sisi positifnya.
Oleh
Lucia Dwi Puspita Sari
·2 menit baca
Akhir-akhir ini banyak sekali pejabat publik yang harus melepaskan jabatannya akibat anggota keluarganya, seperti istri atau anaknya, pamer kekayaan. Pomar-pamer di media sosial ini biasa kita sebut dengan istilah flexing. Warganet yang geram melihat fenomena ini menyoroti harta tak wajar beberapa pejabat.
Bekas Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, misalnya, harus melepaskan jabatannya pada 2 Maret 2023 setelah warganet menyoroti gaya hidupnya yang sangat mewah. Pejabat eselon III Bea dan Cukai itu mempunyai mobil antik dan sejumlah motor gede (moge) yang sering dia pamerkan melalui akun media sosial.
Hal yang sama terjadi pada Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra. Ia harus meletakkan jabatannya sebagai imbas gaya hidup mewah sang istri yang sering dipamerkan di akun media sosialnya.
Kegiatan flexing yang dilakukan oleh seseorang mempunyai maksud dan tujuan beragam. Kebanyakan karena ingin menunjukkan status sosialnya kepada orang lain agar dihargai dan disanjung.
Flexing dilakukan untuk membentuk citra diri agar dianggap berkelas dan eksklusif. Dengan memamerkan status sosial, seperti gaya hidup dan kekayaan, melalui media sosial, pelaku flexing berharap orang-orang akan mengagumi pencapaian hidupnya.
Di sisi lain, flexing bisa sangat berguna, seperti dalam bidang pemasaran, karena dapat menarik minat dan kepercayaan konsumen untuk membeli suatu produk atau memakai layanan jasa yang ditawarkan.
Sayangnya, hal ini juga rentan disalahgunakan, seperti terjadi dalam kasus Indra Kenz, kreator konten dan afiliator investasi bodong, yang harus masuk penjara akibat kasus penipuan. Harta dan gaya hidup yang kerap ia pamerkan melalui akun media sosial berhasil meyakinkan para pengikutnya bahwa kehidupan mereka akan berubah menjadi lebih mewah apabila berinvestasi pada Indra Kenz.
Cambridge Dictonary mendefiniskan flexing sebagai to show that you are very proud or happy about something you have done or something you own, usually in a way that annoys people.
Terjemahan bebasnya kira-kira ’sikap yang menunjukkan bahwa kita bangga atau senang dengan keberhasilan kita atau memamerkan apa yang sudah kita miliki, biasanya dengan cara yang tidak disukai orang’.
Adapun Merriam-Webster menyatakan flexing sebagai tindakan memamerkan sesuatu dengan cara yang mencolok.
Dari kedua sumber itu, flexing bersesuaian dengan show off, atau yang biasa kita sebut pamer. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pamer berarti ’menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain, dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri’.
Menanggapi fenomena flexing, Guru Besar Ilmu Manajemen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali menggambarkannya lewat sebuah pepatah, poverty screams but wealth whispers. Orang miskin selalu ingin menunjukkan dirinya, sementara orang kaya tidak mau menunjukkan kekayaannya. Orang kaya-sesungguhnya lebih membutuhkan privasi dan tidak suka menjadi pusat perhatian.