Identitas sosial yang diruncingkan untuk mengeksklusi komunitas lain tidak layak disebut ”politik identitas”. Jalan semacam itu lebih layak dinamai ”politik kebencian” berbungkus politik identitas.
Oleh
AHMAD KHOTIM MUZAKKA
·3 menit baca
Politik Identitas, yang sejatinya, digunakan untuk menandai penggunaan identitas yang menegasikan komunitas lain secara kasar dan banal, mulai mengalami upaya fase eufemisme narasi. Usaha tersebut sangat gamblang terlihat dari konstruksi wacana yang dibangun dengan misalnya melumrahkan penegasian dalam ajang politik. Deklarasi satu partai yang secara lugas membawa politik identitas semakin menabalkan kecurigaan atas dilema identitas yang dipermainkan demi kepentingan politik dengan cara-cara yang sangat banal.
Eufemisme itu tecermin dari pembelokan makna seolah tragedi politik kebencian yang mengemuka beberapa tahun terakhir ini terjadi secara alamiah. Padahal, politik identitas ini dirancang dengan orkestrasi yang sangat memilukan hati kita.
Bagaimana mungkin, kita membiarkan orang ”dikeluarkan” dari komunitas agamanya hanya karena berbeda pilihan politik. Tidak hanya mengingkari demokrasi, jalan politik ini juga ingin membunuh demokrasi dengan mengatasnamakan demokrasi.
Politik identitas menjelma satu gerakan yang membonsai pikiran-pikiran cemerlang lahir dari penjuru kebudayaan. Ia memotong kemungkinan lahirnya gagasan terbaik yang sangat mungkin kita temukan dari tempat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jika kemudian politik identitas mengeras, kita benar-benar sukses memutilasi demokrasi dalam lingkup yang sangat kecil.
Politik identitas yang melegalkan narasi eksklusif—dan mengarah kepada anarkisme—mengelabui pemilihnya dengan identitas semu. Semua itu tecermin dari narasi heroik munculnya pemimpin berdasarkan ras, golongan, dan suku tanpa mempertimbangkan anasir lain yang seharusnya lebih dipertimbangkan dalam memilih seorang pemimpin.
Kita dipaksa untuk jatuh kepada politik identitas yang banal, di mana membiarkan adanya persekusi atas nama golongan menjadi lumrah. Kita diperlihatkan kepada fakta persekusi atas nama agama menjalar dari satu kota ke kota lainnya. Seolah itu adalah kelumrahan sebagai konsekuensi politik identitas.
Politik identitas yang seperti ini mengancam kemajemukan Indonesia. Politik identitas yang alergi dengan kemajemukan pikiran. Politik identitas yang tidak menerima yang liyan masuk dalam komunitas bangsa yang plural.
Apa yang dinamakan politik identitas selama menggunakan cara-cara eksklusi dan persekusi tidak sepatutnya disebut politik identitas. Eksklusi dan persekusi sama sekali tidak mencerminkan politik identitas, justru menabalkan perbedaan demi menggaet popularitas dari masyarakat yang masih terombang-ambing dengan isu ini. Eksklusi dan persekusi lebih dekat dengan kebencian, yang tidak menerima satu identitas lain berdekatan dengan identitas yang sedang diperjuangkan.
Apa yang dinamakan politik identitas selama menggunakan cara-cara eksklusi dan persekusi tidak sepatutnya disebut politik identitas.
Politik identitas, dengan begitu, tidak lagi murni dalam perjuangan identitas karena menganaktirikan identitas lain. Padahal, Indonesia adalah tempat segala identitas untuk melebur, membaur. Ia adalah negara yang menaungi banyak identitas, yang kemudian membentuk Indonesia menjadi wadah bersama. Identitas sosial, mestinya, tidak lagi jadi bahan perdebatan, tetapi menjadi pemersatu lewat dialog.
Identitas sosial yang diruncingkan untuk mengeksklusi komunitas lain tidak layak disebut ”politik identitas”. Jalan yang semacam itu lebih layak dinamai ”politik kebencian” berbungkus politik identitas.
Jangan hanya karena ingin berkuasa kita menggadaikan peninggalan berharga berupa kemajemukan Indonesia. Jangan karena didukung oleh kelompok yang berseberangan dengan ide kemajemukan kita ”mau tak mau” menuruti kemauan mereka hanya agar mereka tidak meninggalkan kita.
Kembalilah kepada fitrah Indonesia yang majemuk. Kita tidak selayaknya bersitegang hanya karena memperebutkan kekuasaan. Hanya karena ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Anda yang layak.
Tunjukkan dengan cara-cara elegan agar kita dicatat sejarah telah menjadi bagian pembelajaran demokrasi yang sehat. Bukan justru melukai demokrasi dengan narasi kebencian berbungkus identitas.
Indonesia terlalu berharga hanya untuk menjadi lambaran cita-cita siapa pun menjadi pemimpin negeri dengan mengorbankan masyarakatnya sendiri. Indonesia tidak butuh orang semacam itu. Indonesia tidak butuh komunitas semacam itu.
Indonesia tidak butuh golongan semacam itu. Yang merasa paling Islami, tetapi tak punya nurani. Yang merasa agamis, tetapi bengis. Yang mengkafirkan saudara sendiri hanya karena alasan berbeda sembari menghunus pedang kebencian yang panjang. Yang mempersekusi karena berbeda pendapat. Yang masih saja mengingkari fitrah Indonesia yang majemuk ini.
Ahmad Khotim Muzakka, Pengajar di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah UIN KH Abdurrahman Wahid, Pekalongan