Neurodiversitas, Merayakan Keberagaman dalam Autisme
Autisme merupakan bagian keragaman umat manusia, bukan ”kecacatan” atau ”kekurangan”. Sudah waktunya kita melibatkan individu autistik untuk berkontribusi di masyarakat, serta mendukung hak mereka.
Oleh
HERSINTA
·4 menit baca
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tanggal 2 April sebagai World Autism Awareness Day (Hari Kepedulian Autisme Sedunia). Namun, rentetan peristiwa kekerasan yang menimpa anak dan remaja autistik di Indonesia masih menjadi prioritas untuk pekerjaan rumah yang harus diperbaiki bersama.
Belum lama ini, publik dikejutkan dengan berita mengenai anak balita autistik yang mengalami perlakuan yang diduga sebagai tindakan kekerasan saat menjalani terapi di rumah sakit di kawasan Depok (Kompas.com, 17/2/2023, ”Kepala Anak Autisme Dijepit di Selangkangan Terapis, Orangtua Harap Pelaku Disanksi Setimpal”). Kecaman keras datang dari berbagai pihak, termasuk kalangan orangtua dan praktisi terapis, di media sosial.
Mirisnya, kasus penganiayaan terhadap individu autistik juga dilakukan oleh lingkungan terdekat, seperti keluarga. Pada 2022, viral berita tentang remaja autistik berusia 15 tahun yang melarikan diri dari rumahnya di kawasan Bekasi. Sang anak diduga ditelantarkan dan dipasung orangtuanya (Kompas.com, 21/07/2022, ”Anak Diduga Dipasung Orangtua di Bekasi, Kabur dengan Kondisi Kaki Terikat dan Perut Keroncongan”).
Dua tahun sebelumnya terdapat kasus penganiayaan berat yang dilakukan oleh orangtua di Sulawesi Selatan. Kasus ini berujung pada kematian anak autistik berusia 11 tahun (Kompas.com, 29/11/2021, ”Berkaca dari Kasus Bocah Autis Tewas Dianiaya Orangtua, Ketahui Ciri-ciri Anak Autis dan Cara Mengasuhnya”).
Rangkaian peristiwa memilukan ini mengindikasikan persoalan cukup berat terkait kekerasan kepada kelompok rentan, khususnya mereka dengan disabilitas perkembangan (developmental disability) seperti autistik. Di tengah meriahnya kampanye kepedulian autisme pada April, masalah stigma dan diskriminasi yang dialami individu autistik dan keluarganya masih perlu mendapat sorotan dengan membangun pemahaman dan penerimaan publik, terutama dalam mengedukasi orangtua serta pihak-pihak yang terlibat dalam pendampingan anak dan remaja autistik di Indonesia.
Isu yang kompleks
Autisme atau gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder) secara klinis didefinisikan sebagai gangguan neurologis (saraf otak) yang kompleks, dan memengaruhi tiga area dalam perkembangan awal anak, termasuk area bahasa, sosialisasi, dan perilaku (Blank & Kitta, 2015; Reilly, 2013). Penting digarisbawahi, autisme meliputi spektrum yang luas dengan ciri dan karakter individu yang sangat beragam.
Di satu sisi, ada individu autistik dengan kemampuan komunikasi dan kemandirian baik, tetapi masih memiliki kesulitan di area tertentu, misalnya kesulitan meregulasi emosi dan stimulasi sensori. Sebaliknya, ada individu autistik di sisi spektrum yang berbeda, dan membutuhkan pendampingan penuh, termasuk mereka yang tidak atau minim dalam berkomunikasi wicara (nonspeaking autistic).
Penelitian yang dilakukan kepada sejumlah ibu dengan anak autistik di Indonesia mengindikasikan bahwa masih ada perasaan malu, frustrasi, dan stigma sosial yang dialami para orangtua ini.
Kompleksitas dari spektrum autisme ini juga menyulitkan publik untuk memahami keberagaman kondisi autistik. Di Indonesia, belum ada data secara spesifik merepresentasikan prevalensi disabilitas di ranah disabilitas perkembangan, termasuk autisme dan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Stigma dan diskriminasi terhadap disabilitas mental menjadi salah satu hambatan utama bagi kelompok disabilitas ini untuk diikutsertakan dalam survei disabilitas nasional (Irwanto, 2010).
Pencarian data dengan mesin pencari Google menyebutkan perkiraan jumlah pertumbuhan anak autis di Indonesia sekitar 3,2 juta anak, dengan jumlah siswa autistik yang terdaftar di sekolah luar biasa (dari data Kemendikbudristek, 2019) sebanyak 144.102 siswa. Sementara data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memperkirakan jumlah autistik di Indonesia berkisar 2,4 juta orang dengan peningkatan 500 orang per tahun (KPPPA, 2018).
Faktor budaya dan kepercayaan tradisional juga ditengarai sebagai salah satu penyebab stigma sosial dalam masyarakat terhadap autisme. Penelitian yang dilakukan pada sejumlah ibu dengan anak autistik di Indonesia mengindikasikan bahwa masih ada perasaan malu, frustrasi, dan stigma sosial yang dialami para orangtua ini (Riany, et al, 2016). Masalah perundungan (bullying) juga kerap terjadi pada siswa autistik yang bersekolah di jalur reguler dan inklusi.
Riset etnografi dari Elizabeth Tucker (2013) menunjukkan bahwa terdapat keluarga di Indonesia yang menganggap anak autistik sebagai beban keluarga. Topik autisme menjadi isu sensitif dan keluarga cenderung menutupi situasi yang mereka alami. Hal ini terutama terjadi pada wilayah dan keluarga yang belum terjangkau oleh kampanye edukasi kesadaran mengenai autisme.
Dua dekade belakangan, isu autisme cukup banyak diperbincangkan dalam pemberitaan media. Edukasi dalam bentuk kampanye publik pun telah diinisiasi oleh organisasi dan komunitas—mayoritas diinisiasi orangtua anak autistik. Misalnya, kampanye yang digagas Yayasan Autisme Indonesia (YAI), Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (MPATI), Rumah Autis, serta inisiasi dari lembaga perguruan tinggi, seperti London School Center for Autism Awareness (LSCAA). Selain itu, komunitas self-adcovate yang digawangi individu autistik dewasa, seperti Pemuda Autistik Indonesia (PAI), juga mulai menyuarakan identitas mereka, berbagi pengalaman dari sudut pandang neurodiversitas yang lebih inklusif.
Memahami autisme secara inklusif
Lima tahun belakangan, paradigma neurodiversitas (neurodiversity) makin kencang digaungkan komunitas autistik internasional. Istilah neurodiversitas (keragaman saraf) pertama kali dicetuskan sosiolog Judy Singer (1996). Singer mendefinisikan autistik sebagai representasi dari identitas diri yang beragam, sama halnya dengan identitas jender dan ras yang berbeda.
Dalam pandangan neurodiversitas, menjadi autistik atau memiliki perkembangan saraf yang berbeda adalah bagian dari keragaman dalam jati diri manusia. Konsekuensinya, individu autistik memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda dengan individu ”normal” (non-autistik), termasuk cara berkomunikasi dan berinteraksi yang berbeda (Hersinta, 2018).
Tahun ini, PBB mengumumkan tema ”Transformation: Toward a Neuro-Inclusive World for All” dalam merayakan Hari Kepedulian Autisme Sedunia. Dikutip dari laman resminya, PBB menyatakan pentingnya mengubah narasi ”model medis” (medical model of disability) yang terfokus kepada menyembuhkan atau mengubah individu autistik, untuk lebih menitikberatkan kepada inklusivitas dan neurodiversitas, yaitu penerimaan (acceptance), mendukung, dan mengadvokasi hak-hak autistik.
Di Indonesia, autisme lebih banyak dilihat dari sudut pandang ”model medis” yang menitikberatkan kepada kekurangan atau hambatan yang dimiliki penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas kerap dipandang sangat tergantung dan sebagai obyek belas kasihan (charity and object of pity), dengan kebutuhan rehabilitasi untuk memperbaiki ”ketidaknormalannya” (Dibley & Tsaputra, 2019).
Padahal, pada 2011 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau CRPD) dari PBB dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Artinya, kerangka hukum dan aturan di Indonesia terkait disabilitas telah bertransformasi dari narasi medis ke model sosial yang lebih inklusif. Berbeda dengan model medis, prinsip dari model sosial menitikberatkan kepada kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel bagi para penyandang disabilitas, termasuk autistik, untuk dapat berpartisipasi penuh sebagai warga negara.
Pandangan neurodiversitas membuka kesadaran kita bahwa autisme adalah bagian dari keberagaman umat manusia, bukan sebagai ”kecacatan” atau kekurangan. Sudah waktunya kita melibatkan individu autistik, mendengarkan suara mereka, memberi jalan seluas-luasnya bagi mereka untuk berkontribusi pada masyarakat, serta mendukung hak mereka untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.