Kejahatan Siber Internasional Bisa Menyasar Tetangga Sendiri
Polri mencatat peningkatan 1.400 persen kejahatan siber di Indonesia pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, yakni dari 612 kasus menjadi 8.831 kasus. Butuh komitmen negara untuk menanggulangi masalah serius ini.
CNN Internasional (14/3/2023) memberitakan pernyataan Kementerian Dalam Negeri Kamboja soal para pelaku kejahatan siber yang menyasar kalangan profesional di seluruh Asia.
Laporan itu mengingatkan kita pada berita Kompas, 5 Agustus 2022, tentang 172 pekerja migran Indonesia yang jadi operator penipuan daring, investasi bodong di Kamboja dengan target WNI di Tanah Air. Para pekerja itu mengikuti informasi lowongan kerja di Kamboja dengan gaji menggiurkan. Mereka harus bekerja dari pukul 08.00 hingga 01.00. Semua dokumen disimpan majikan, dilarang ke luar rumah, dan dipaksa mencapai target tertentu.
Melalui upaya tingkat tinggi, akhirnya mereka bisa diselamatkan. Dalam pendalaman, mereka dikategorikan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), ditampung dan dibantu kembali ke Tanah Air dengan selamat.
Kasus penipuan siber seperti itu sebenarnya bukan hal baru. Pada Mei 2015, Polri menangkap puluhan warga negara asing (WNA) asal China dan Taiwan. Mereka melakukan penipuan daring kepada warga negara China dan warga negara Taiwan. Aksi penipuan dioperasikan dari rumah yang disewa di beberapa tempat di Pondok Indah, Pantai Indah Kapuk, dan Cilandak.
Penipuan tersebut termasuk kejahatan siber, yaitu kejahatan menggunakan media internet atau kejahatan yang menyerang sistem internet itu sendiri. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi (TI) dan dampak yang menyertainya, kejahatan siber kini telah menjadi ancaman bagi setiap negara.
Baca juga : Literasi Keamanan Siber Makin Dibutuhkan Saat Ini
Baca juga : Usut Tuntas Sindikat Perdagangan Orang
Konsultan dan perusahaan keamanan siber ternama, Cybersecurity Venture, pada akhir 2022 memperkirakan kerugian akibat kejahatan siber secara global mencapai 190.000 dollar AS setiap detik atau 11,4 juta dollar AS per menit.
Interpol Global Crime Trend Report 2022 (IGCTR) mencatat, kejahatan siber yang terdiri dari ransomware, phishing, online scams, dan computer intrusion di seluruh 190 negara anggotanya sudah pada level ”tinggi atau sangat tinggi”.
Di dalam negeri, Bareskrim Polri mencatat peningkatan 1.400 persen kejahatan siber di seluruh Indonesia pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, yakni dari 612 kasus menjadi 8.831 kasus.
Tantangan kehidupan, tak punya atau kehilangan pekerjaan, usaha yang gagal, dan lain-lain memaksa setiap orang untuk mencari pekerjaan apa pun dan di mana pun. Gencarnya informasi lowongan kerja di media sosial mengalahkan logika, mendorong mereka berangkat ke negara yang bukan tujuan pekerja migran Indonesia, bahkan tingkat ekonominya juga tak lebih baik dari Indonesia.
Di sisi lain, penipuan siber dalam skala besar memerlukan perangkat yang tidak murah, tentu ada pemodalnya. Mereka terus mencari dan menarik orang untuk mengoperasikan mesin uangnya. Warga negara China dipekerjakan untuk menipu sesama warga negara China, WNI dipekerjakan untuk menipu sesama WNI, dan seterusnya.
Penyelamatan ratusan korban TPPO di Sihanoukville, Kamboja, itu hanya contoh kecil karena masih ada puluhan ribu korban lain. Seperti fenomena gunung es, saat ini di Kamboja saja diperkirakan masih ada sekitar 1.000 WNI, sementara yang lain terus berdatangan. Bahkan meluas di negara lain, seperti Myanmar dan Laos melalui Thailand.
Langkah P3K
Dalam kasus TPPO ini, paling tidak ada dua kejahatan siber, yaitu penyampaian informasi tidak benar untuk menarik calon korban dan tindakan korban melakukan penipuan daring. Kejahatan siber yang disebutkan targeting professionals across Asia tentu tak hanya terjadi di kawasan Asia. Dengan target yang tinggi, operator WNI akan menyasar sesama WNI di mana pun, termasuk pekerja migran Indonesia atau tetangga yang sedang bekerja di negara lain.
Melihat ragam, penyebaran, kerugian, dan dampak kejahatan siber internasional, setiap negara harus punya komitmen untuk menanggulanginya. Langkah generik yang harus dilakukan ialah pencegahan, penindakan pelaku, pelindungan korban, dan kerja sama dalam penanganan (P3K).
Untuk pencegahan, salah satunya adalah kampanye penyadaran publik tentang migrasi yang benar dan aman. Di Singapura, hampir di setiap kawasan ada spanduk/signboard berisi pesan agar hati-hati terhadap kejahatan siber. Meski berbeda konteks, upaya pencegahan serupa juga ada di kampung-kampung Kabupaten Subang dan Purwakarta. Di sana bisa dijumpai spanduk dengan pesan agar masyarakat hati-hati, jangan sampai terjerat pinjaman daring.
Di Singapura, hampir di setiap kawasan ada spanduk/signboard berisi pesan agar hati-hati terhadap kejahatan siber. Meski berbeda konteks, upaya pencegahan serupa juga ada di kampung-kampung Kabupaten Subang dan Purwakarta.
Pesan dua contoh tersebut berbeda. Namun, keduanya sama, yaitu upaya pencegahan. Mengingat tingkat literasi masyarakat Indonesia beragam, kampanye penyadaran publik harus dilakukan melalui berbagai platform agar masyarakat lebih sadar dan paham bahaya informasi yang tidak benar. Apalagi berangkat ke luar negeri tanpa persiapan dan tidak sesuai prosedur.
Langkah penindakan merupakan kunci efek jera. Dalam hal informasi tidak benar, janji kepada calon korban biasanya dilakukan dalam bahasa yang dimengerti dan dilakukan oleh orang yang dikenal. Ini menjadi tantangan berat bagi Polri untuk menemukan pelaku dan menghukumnya.
Malaysia memiliki Anti Fake News Act, 2018. Ancaman bagi yang membuat, menyebarkan berita tidak benar, adalah denda hingga 500.000 ringgit atau penjara tak melebihi enam tahun, atau keduanya. Singapura punya Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act (POFMA), 2019. Orang yang membuat dan menyebarkan informasi tak benar diancam denda hingga 50.000 dollar Singapura atau penjara hingga lima tahun. Jika kebohongan dilakukan oleh korporasi/media, dendanya mencapai 500.000 dollar Singapura. Jika kebohongan dilakukan secara daring, denda dan hukumannya dua kali lipat.
Indonesia juga memiliki UU No 11/2008 yang direvisi dengan UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tata cara pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik serta sanksinya. Ancaman pelanggaran UU ini juga tak kalah berat. Pemberi informasi tak benar dan pembawa pekerja migran Indonesia ke luar negeri yang tak sesuai prosedur hingga bermasalah bisa dijerat dengan UU No 21/2007 tentang TPPO.
Pelindungan korban adalah kewajiban negara. Maka, pendalaman setiap kasus sangat penting untuk penetapan status, pemberian bantuan, dan pelindungan secara proporsional. Dalam beberapa kasus, Polri menemukan seseorang yang mengaku sebagai korban TPPO, ternyata adalah juga sebagai pelaku.
Dalam pelindungan WNI di luar negeri ini sering terjadi pemahaman dan harapan yang kebablasan. Pelindungan tidak tanpa batas, dilaksanakan dalam koridor: mengedepankan peran pihak yang bertanggung jawab; tak mengambil alih kewajiban dan tanggung jawab perdata ataupun pidana; sesuai hukum negara setempat, hukum internasional dan perjanjian bilateral (jika ada).
Untuk kerja sama, sesuai kewenangannya, tak mungkin sebuah lembaga dapat menuntaskan sendiri kasus kejahatan siber antarnegara. Penangkapan dan deportasi warga negara China dan Taiwan pelaku kejahatan siber di Jakarta perlu kerja sama dengan pihak lain. Demikian pula dengan keberhasilan Pemerintah RI menyelamatkan ratusan korban TPPO dari Kamboja, merupakan buah dari kerja sama dan diplomasi tingkat tinggi yang tidak sederhana.
Kerja sama bilateral antarkepolisian merupakan salah satu skema paling umum, tetapi sangat tergantung pada sistem dan penegakan hukumnya. Semakin baik sistem dan penegakan hukum di negara kita dan negara mitra, semakin lancar dan besar kemungkinan untuk berhasil. Sebaliknya, jika sistem dan penegakan hukum di salah satu negara atau keduanya kurang baik atau negara dalam kondisi tak stabil, semakin rumit dan tipis kemungkinan berhasil.
Kerja sama bilateral antarkepolisian merupakan salah satu skema paling umum, tetapi sangat tergantung pada sistem dan penegakan hukumnya.
Komitmen dan penegakan hukum
Kerja sama juga dapat melalui skema regional dan internasional. ASEANAPOL yang merupakan wadah kerja sama antarkepolisian di ASEAN bisa dioptimalkan untuk menangani kejahatan siber di kawasan. Secara global, ada Interpol yang memiliki jaringan di 190 negara anggotanya. PBB juga memiliki The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC), dikenal dengan Palermo Convention, 2000, sebagai rujukan setiap negara dan kerja sama antarnegara.
Instrumen hukum nasional, kerangka kerja sama regional, dan internasional sudah ada. Tinggal komitmen dan penegakan hukum yang pada akhirnya sangat menentukan keberhasilan dalam mengatasi kejahatan siber internasional.
Didik Eko PujiantoSekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri