Pemerintah didesak mengusut jaringan pelaku yang menipu pekerja migran dari sejumlah daerah di Indonesia. Sepanjang April-Juli 2022, Migrant Care terima pengaduan dari para korban di Kamboja, Filipina, dan Thailand.
Oleh
agnes theodora, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
ARSIP PRIBADI
Para pekerja migran asal Indonesia yang mengalami penipuan kerja di Kamboja berada di asrama perusahaan di kota Sihanoukville, Kamboja. Mereka berharap bisa segera dipulangkan ke Indonesia dan upah mereka dibayarkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja migran Indonesia di Kamboja, Filipina, dan Thailand diduga kuat menjadi korban perdagangan manusia dengan beragam modus daring dan luring. Selain menjamin perlindungan dan pemulangan korban sesegera mungkin, pemerintah didesak serius mengusut tuntas jaringan pelaku yang berada di Indonesia dan negara penempatan.
Pada periode April-Juli 2022, Migrant Care telah menerima pengaduan dari sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI) korban perusahaan investasi bodong di Kamboja, Filipina, dan Thailand. Saat ini, untuk kasus penyekapan PMI di Kamboja, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh sudah mengevakuasi dan mengamankan 62 PMI yang berada di Sihanoukville, Kamboja.
Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, Senin (1/8/2022), mengatakan, dari laporan yang diterima, mayoritas korban PMI di Kamboja terjebak dalam sindikat perdagangan orang yang dioperasikan oleh jaringan pelaku di Indonesia yang terkoneksi dengan jaringan di Kamboja. Modusnya beragam, baik daring maupun luring.
Sebagian besar dari mereka direkrut melalui lowongan kerja di media sosial Facebook dengan nama akun Lowongan Kerja Kamboja Indonesia, Komunitas Kamboja Indonesia, dan akun palsu lainnya. ”Selain Facebook, para calo sindikat juga secara intensif mendekati korban secara langsung. Jadi modusnya dua, online dan offline,” kata Anis dalam konferensi pers daring.
Yanto, perwakilan keluarga dari salah satu korban yang belum dipulangkan, menuturkan, adiknya sempat ditawari iming-iming gaji Rp 9 juta per bulan untuk bekerja di perusahaan bodong di Kamboja itu. Sebelum berangkat, ia juga diminta membayar Rp 4 juta. Tawaran itu awalnya disampaikan seorang teman keluarga, yang menghubungkannya dengan seorang agen.
”Awalnya keluarga sempat berdebat, kenapa harus bayar. Tetapi karena kami ingin sekali mempekerjakan adik kami, akhirnya kami menjual gelang emas dan simpanan kami. Kami tahu keberadaan (agen) di mana, tetapi kami belum ambil langkah hukum, masih konsultasi dulu,” ujar Yanto.
KOMPAS/KRISTI D UTAMI
Kepala Disnakertrans Jateng Sakina Rosellasari menunjukkan contoh pamflet berisi lowongan pekerjaan di Kamboja, Jumat (29/7/2022).
Temuan Migrant Care menunjukkan, PMI yang menjadi korban dijanjikan bekerja sebagai petugas operator, marketing, dan customer service di Kamboja dengan iming-iming gaji 1.000-1.500 dollar AS. Korban berasal dari sejumlah daerah, antara lain Medan (Sumatera Utara), Jakarta, Depok (Jawa Barat), Indragiri Hulu (Riau), dan Jember (Jawa Timur).
Anis menjelaskan, oleh sindikat, para korban ”dijual” dengan harga beragam, mulai dari 2.000 dollar AS, hingga berulang kali ke berbagai perusahaan. ”Mereka langsung dijual ke perusahaan lain ketika mereka melakukan kesalahan, komplain, dicurigai melapor ke KBRI atau ke Migrant Care, atau kalau mereka membantu pekerja lain yang disiksa,” ujarnya.
Penyiksaan
Mereka dituntut bekerja hingga 17 jam dalam sehari, melanggar standar jam kerja internasional, yaitu 8 jam dalam sehari. Sebagian besar tidak digaji dan kalaupun digaji, hanya mendapat 500 dollar AS per bulan. Kalau mau mengundurkan diri, mereka harus membayar denda yang tinggi sebesar 2.000-11.000 dollar AS.
Lingkungan kerjanya pun rawan kekerasan dan penyiksaan. ”Dari laporan dan bukti yang kami terima, mereka dipukul, dikeroyok, disetrum, hingga berdarah dan lebam-lebam. Mereka juga disekap dengan durasi beragam, ada yang 11 hari, ada yang lebih, bahkan sampai diborgol. Kondisinya menyerupai praktik perbudakan modern. Ini indikasi kuat yang memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” kata Anis.
Kondisinya menyerupai praktik perbudakan modern. Ini indikasi kuat yang memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang.
Selain memastikan perlindungan, bantuan hukum, dan pemulangan bagi WNI yang menjadi korban sindikat perdagangan orang di sejumlah negara tersebut, pemerintah dan kepolisian didesak untuk mengusut tuntas pelaku beserta jaringannya yang berada di Indonesia, serta bekerja sama dengan kepolisian Kamboja untuk mengusut jaringan di sana.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Nur Harsono mengatakan, meskipun langkah Kementerian Luar Negeri untuk segera memulangkan 62 korban yang disekap di Kamboja diapresiasi, hal itu saja tidak cukup.
”Kami tunggu aksi nyatanya, apakah pelaku kemudian akan dituntut secara tuntas agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Sebab, kalau tidak tuntas, pelaku akan mencari mangsa baru lagi di kemudian hari. Saya rasa tidak mungkin kepolisian tidak mengetahui pelakunya, baik yang di Indonesia maupun yang di Kamboja,” ujar Nur.
Pemerintah pusat, daerah, hingga desa juga diminta mengintensifkan pengawasan terhadap berbagai agensi perekrut PMI dan calo, baik yang bergerilya di lapangan maupun lewat media sosial, untuk mengidentifikasi jaringan ilegal dan mencegah kasus serupa berulang. Sebab, selama ini langkah pemerintah sebatas pasif dan hanya reaktif menunggu setelah kasus muncul.
Kalau tidak diusut tuntas, pelaku akan mencari mangsa baru lagi di kemudian hari.
”Iklan lowongan kerja palsu seperti ini sebenarnya sudah banyak beredar di Facebook, tetapi nyaris tidak ada kontra-narasi dari pemerintah, baik BP2MI dan Kementerian Ketenagakerjaan, untuk mengklarifikasi dan menjelaskan bahwa iklan-iklan itu bodong. Media sosial milik pemerintah justru lebih banyak dipakai untuk profiling pejabat dan seremoni,” kata Anis.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi berencana bertemu dengan Kepolisian Nasional Kamboja untuk membahas tindak lanjut penanganan kasus TPPO. Pertemuan yang akan berlangsung tertutup itu akan diadakan pada Selasa (2/8/2022). Kebetulan, Menlu sedang berada di Kamboja untuk menghadiri rangkaian Pertemuan Menlu Negara Anggota ASEAN.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, di Phnom Penh, mengatakan, saat ini pihaknya masih memantau WNI yang baru diselamatkan dari Sihanoukville. ”Mereka sudah tiba di Phnom Penh di tempat yang disediakan oleh kedutaan besar kita,” ujarnya, Senin.
Ada pembaruan data jumlah WNI yang diselamatkan dari 57 orang menjadi 62 orang. Sebanyak delapan orang adalah perempuan. Menurut Judha, seiring berjalannya penyelidikan, tidak menutup kemungkinan kepolisian setempat akan menemukan lebih banyak lagi korban TPPO.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Petugas mendata 53 calon pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Barat yang baru dipulangkan dari Jakarta di Mataram, Rabu (12/1/2022). Sebelumnya, rencana keberangkatan mereka untuk bekerja di negara-negara Timur Tengah berhasil digagalkan setelah inspeksi mendadak di sebuah rumah penampungan di Kota Bekasi, Desember 2021. Total ada 60 calon pekerja migran, termasuk 53 orang dari NTB, yang tidak disertai dokumen penempatan.
Judha menjelaskan, para korban akan diinapkan dulu di Phnom Penh untuk diperiksa kondisi kejiwaannya. Kemenlu juga mengupayakan pendampingan pemulihan trauma apabila ada yang membutuhkan.
Para korban ini direkrut oleh agen dari Tanah Air dengan iming-iming bekerja di bagian pelayanan pelanggan untuk perusahaan internasional. Setiba di Kamboja, mereka dibawa ke sebuah area industri di Sihanoukville yang terdiri dari berbagai perusahaan.
Di sana, mereka bekerja sebagai operator telepon yang menelepon WNI di Tanah Air guna menawarkan pinjaman bodong. ”Para korban mengaku disekap dan dilarang meninggalkan area industri tersebut. Beberapa juga ada yang gajinya tidak dibayar,” kata Judha.