Konstruksi bahasa memiliki lebih dari satu pola, dalam tataran apa pun. Karena itu, penelaahan suatu konstruksi hendaknya dilihat dari berbagai sudut agar tidak terjebak pada benar atau salah.
Oleh
Yanwardi
·3 menit baca
Prof Harimurti Kridalaksana beberapa tahun lalu menyatakan bahwa obat tidur adalah konstruksi yang tidak logis. Dalam kata-kata yang berbeda tapi bernada serupa, Eko Endarmoko, penulis Tesamoko, baru-baru ini juga mempertanyakan konstruksi obat nyamuk.
Logika konstruksi pertama dipertanyakan karena berbeda dengan logika obat flu dan obat batuk, misalnya, yang berpola lebih kurang diambil dari manfaat obat tersebut, yakni ”obat/A untuk menyembuhkan orang yang berpenyakit B/flu/batuk”.
Akan halnya obat tidur justru dikonsumsi untuk membuat orang tidur, bukan untuk menyembuhkan orang yang berpenyakit tidur melulu. Sebab itu, logikanya, jika mengikuti logika konstruksi obat flu, hal itu tidak jalan atau tak logis. Jangan-jangan, jika minum obat tidur, kita jadi lebih susah tidur. Namun, mengikuti logika ”A untuk B” masih logis (obat untuk tidur).
Soal keterterimaan adalah soal sosial dan konvensi.
Bentuk obat nyamuk demikian pula. Mengikuti pola obat flu tidak jalan. Manfaat obat itu membunuh nyamuk, bukan membuat nyamuk jadi ”sembuh” atau untuk nyamuk. Jadi, yang lebih masuk akal adalah obat antinyamuk. Mungkin karena pola tersebut belum tertanam dalam benak penutur, jadilah tidak terbentuk.
Konstruksi rangkaian kata (kata majemuk, frasa, dan lain-lain) dalam bahasa Indonesia umumnya merupakan bentuk pemadatan dari bentuk panjangnya. Demi efisiensi komunikasi, penutur melakukan elipsis. Elipsis ini yang menghasilkan pola-pola konstruksi yang berbeda.
Minyak kemiri, umpamanya, berbeda dengan minyak bayi karena berasal dari elipsis yang berbeda. Minyak kemiri berasal dari elipsis (terbuat) preposisi ”dari”: A/minyak dari B/kemiri. Yang termasuk dalam pola ini adalah minyak kelapa dan minyak ikan.
Di sisi lain, minyak bayi berasal dari elipsis preposisi ”untuk (pemakaian)”: A/minyak untuk B/bayi. Yang termasuk ke dalam pola ini, umpamanya, minyak rambut dan minyak mesin (jahit).
Bagaimana dengan obat tidur dan obat nyamuk? Kedua konstruksi itu merupakan pola yang berbeda dalam hal kegunaan A atau obat. Pola obat tidur berbeda dengan pola obat flu, ”A/obat bukan untuk menyembuhkan tidur/B”, justru obat untuk membuat orang tidur. Sebab itu, logika pola itu tidak bisa dipakai di sini.
Demikian pula obat nyamuk berbeda pola dengan pola obat flu, ”A/obat bukan untuk menyembuhkan B”, melainkan ”obat untuk membunuh nyamuk”. Sebenarnya, jika dianalisis sebagai pola ”A untuk B”, obat flu dan obat tidur termasuk ke dalam pola yang sama. Jadi, bagi saya tidak ada masalah, obat tidur adalah logis dari sisi semantis.
Konstruksi obat nyamuk bisa dianalisis dari sisi elipsis lain, yakni analogi pola hari kanker dan badan korupsi/narkotika. Kedua tipe itu sering muncul dalam pemakaian, alih-alih yang lebih komunikatif jika dikatakan hari antikanker dan badan antikorupsi/antinarkotika. Namun, soal keterterimaan adalah soal sosial dan konvensi. Jika diterima masyarakat, makna kedua konstruksi tadi, misalnya, bisa dilihat dari konteks pemakaiannya. Kebiasan dan ketaksaan dapat diminimalkan.
Inti dari tulisan ini, konstruksi bahasa memiliki lebih dari satu pola, dalam tataran apa pun. Dengan demikian, kita hendaknya menelaah suatu konstruksi dari berbagai sudut, tidak hanya linier, agar tidak terjebak ”benar” atau ”salah” saja. Pada gilirannya, telaah demikian akan menghasilkan suatu hasil yang mewakili sistem bahasa yang hidup, tidak artifisial.