Ukuran kebahagiaan makin berkembang. Kita makin sering melihat orang mengkreasi sendiri kebahagiaan menurut mereka sendiri dengan cara-cara unik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ukuran-ukuran bahagia tidak bisa dipatok dengan ukuran tunggal. Banyak orang merasa bahagia dengan ukuran masing-masing. Orang semakin memiliki alasan tersendiri untuk bahagia.
Negara-negara di dunia saling berlomba mengejar pertumbuhan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun, besarnya pendapatan, pendidikan yang baik, dan tingginya kualitas layanan kesehatan nyatanya tidak serta-merta membahagiakan masyarakat. Kebahagiaan masyarakat dipengaruhi banyak hal, bukan ekonomi semata.
Kita tidak mudah menghubungkan antara pembangunan ekonomi dan kebahagiaan. Terlebih, makna kebahagiaan bagi setiap orang berbeda. Belum lagi nilai dan falsafah hidup yang dianut setiap orang juga tak sama. Mereka yang kalah secara ekonomi bisa saja lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang sukses secara ekonomi (Kompas, 20/3/2023).
Bhutan menjadi salah satu contoh negara yang membuat ukuran kebahagiaan tersendiri. Mereka menjaga luasan hutan agar tetap sekitar 70 persen. Mereka juga membatasi wisatawan yang datang. Bhutan juga tergolong negara negatif karbon. Mereka malah membantu negara lain untuk menyerap karbon dioksida. Bhutan memilih menggunakan indikator kebahagiaan nasional bruto dibandingkan menggunakan ukuran ekonomi makro yang lazim digunakan untuk pengukuran pertumbuhan sebuah negara.
Dalam skala komunitas kita bisa melihat beberapa kelompok yang memilih hidup dengan konsumsi sumber daya yang minim, menggunakan sumber daya yang bisa didaur ulang, memilih laku organik, dan lain-lain. Mereka memilih langkah itu bukan karena terpaksa. Mereka bahagia dengan pilihan tersebut di tengah pasar dengan pilihan produk yang mungkin lebih murah dan mudah diakses oleh masyarakat, tetapi merusak.
Kita juga bisa melihat pribadi-pribadi yang memilih bahagia dengan versi masing-masing. Ada yang memilih pindah ke kota kecil daripada menetap di kota besar. Ada yang memilih bekerja bebas atau tidak terikat (freelance) dibandingkan kerja formal. Ada yang memilih menggunakan transportasi publik, meski tidak mudah, daripada menggunakan kendaraan pribadi. Tidak sedikit pribadi-pribadi yang merasa bahagia ketika membantu warga lansia, membagikan sebagian rezeki, bekerja sebagai sukarelawan, dan lain-lain.
Ukuran kebahagiaan hanya dengan ukuran ekonomi semata memang sudah usang. Orang lebih melihat ukuran kesehatan jiwa raga, kemampuan bersosialisasi, kemampuan menambah pengetahuan, berguna bagi orang lain, dan lain-lain sebagai ukuran kebahagiaan. Ukuran kebahagiaan makin berkembang. Kita makin sering melihat orang mengkreasi sendiri kebahagiaan menurut mereka sendiri dengan cara-cara unik.
Berkait dengan tingkah laku pejabat dan keluarganya yang gemar memamerkan harta kekayaannya, kita bisa berkesimpulan tidak sedikit orang yang masih memiliki paradigma lama soal kebahagiaan. Mereka mungkin merasa bahagia ketika memiliki suatu barang yang kemudian bisa dipamerkan di media sosial. Zaman sudah berubah, mereka belum berubah. Kita beruntung memiliki warganet yang mengingatkan tingkah mereka.