Pembangunan yang Membahagiakan
Kemajuan ekonomi dan besarnya pendapatan tak selalu menjamin kebahagiaan masyarakat. Stabilnya situasi sosial politik dan keamanan juga memengaruhi kebahagiaan. Namun, apa pun kondisinya, semua orang tetap bisa bahagia.
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara di dunia saling berlomba mengejar pertumbuhan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun, besarnya pendapatan, pendidikan yang baik, dan tingginya kualitas layanan kesehatan nyatanya tidak serta-merta membahagiakan masyarakat. Kebahagiaan masyarakat dipengaruhi banyak hal, bukan ekonomi semata.
Direktur Institute for Advance Studies in Economic and Business Universitas Indonesia Turro S Wongkaren, di Jakarta, Minggu (19/3/2023), menegaskan, tidak mudah menghubungkan antara pembangunan ekonomi dan kebahagiaan. Terlebih, makna kebahagiaan bagi setiap orang berbeda. Belum lagi, nilai dan falsafah hidup yang dianut setiap orang juga tak sama.
”Mereka yang kalah secara ekonomi bisa saja lebih bahagia dibandingkan yang sukses secara ekonomi,” katanya.
Demokratisasi, keluarga yang harmonis dan kuat, hingga kebebasan informasi yang meningkatkan percaya diri dan keberhargaan diri menjadi institusi positif yang bisa memengaruhi kebahagiaan.
Ketidakselarasan antara peningkatan pendapatan dan pertambahan kebahagiaan masyarakat itu sudah diamati ekonom Amerika Serikat, Richard Easterlin, yang melahirkan Paradoks Easterlin tahun 1974. Peningkatan pendapatan masyarakat pada satu titik tertentu memang meningkatkan kebahagiaan. Namun, saat pendapatan terus naik, kebahagiaan masyarakat tidak ikut bertambah.
Situasi itu juga tergambar dalam Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021. Provinsi-provinsi dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi justru memiliki nilai kebahagiaan yang relatif rendah. Sebaliknya, provinsi yang dianggap lebih miskin, pendidikan kurang, dan usia harapan hidup rendah justru lebih bahagia.
Karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 2013 menggagas Hari Kebahagiaan Internasional yang dirayakan tiap tanggal 20 Maret, hari ini. Perayaan ini untuk mengingatkan negara-negara bahwa kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari meningkatnya pendapatan atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan dan kebahagiaan warganya.
Meski menimbulkan paradoks, nyatanya banyak negara masih terfokus pada pembangunan ekonomi untuk membahagiakan warganya. Upaya itu juga tidak salah karena berkaca dari pengalaman AS, Inggris, Jerman, dan Italia antara tahun 1820 dan 2009 yang dipelajari Daniel Sgroi dan Eugenio Proto dari Inggris menunjukkan membaiknya ekonomi dan peningkatkan pendapatan masyarakat memang membuat masyarakat bahagia.
Namun, ternyata ada hal lain yang bisa membuat bahagia, bahkan lebih bahagia. Dikutip The Economist, 16 Oktober 2019, faktor kesehatan dan hidup yang damai alias tidak ada perang atau konflik justru bernilai lebih penting dalam membuat masyarakat bahagia. Bertambahnya usia harapan hidup 1 tahun bisa meningkatkan produk domestik bruto (PDB) nasional 4,3 persen. Namun, perang selama setahun bisa menurunkan PDB sebanyak 30 persen.
Sementara itu, Kepala Pusat Bimbingan dan Konsultasi Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta Meiske Yunithree Suparman menambahkan, selain kondisi kesehatan dan kepribadian, struktur demografi, kehidupan sosial, budaya, hingga agama atau kepercayaan juga bisa memengaruhi kebahagiaan masyarakat.
Baca juga: Laporan Tematik Kebahagiaan
”Demokratisasi, keluarga yang harmonis dan kuat, hingga kebebasan informasi yang meningkatkan percaya diri dan keberhargaan diri menjadi institusi positif yang bisa memengaruhi kebahagiaan,” katanya.
Pengajar teori kesejahteraan di Program Doktor Pembangunan Sosial dan Kesejahteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nurhadi, mengatakan, meski kemiskinan dan kebahagiaan berbeda, keduanya tidak perlu dipertentangkan. Pembangunan yang ideal adalah yang bisa mengejar aspek material dengan menekan serendah mungkin kemiskinan serta mewujudkan aspek nonmaterial, yaitu kebahagiaan.
”Jangan nilai IPM yang tinggi dijadikan dalih untuk menutupi rendahnya kebahagiaan warga, demikian pula sebaliknya,” katanya. IPM yang digunakan untuk mengukur kualitas manusia dan indeks kebahagiaan perlu dicapai bersama-sama.
Kolektif
Mendefinisikan bahagia juga tidak mudah karena setiap negara memiliki model kebahagiaan berbeda. Menurut Turro, sesuai tujuan bangsa yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, kebahagiaan yang ingin dicapai masyarakat Indonesia adalah kebahagiaan kolektif, bukan kebahagiaan individu seperti yang dianut AS atau negara Barat lain.
Kehendak mencapai kebahagiaan bersama itu diterjemahkan Orde Baru melalui Trilogi Pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan. Aspek pemerataan sulit tercapai karena kurang memikirkan pemerataan sisi hulu, seperti pemerataan kesempatan atau faktor produksi. Namun, fokus ke pemerataan dan abai dengan pertumbuhan ekonomi juga berisiko.
Pembangunan kebahagiaan juga bukan program semalam dan sering kali tidak selaras dengan periodisasi politik lima tahunan. Berbagai hal mendasar dan strategis perlu disiapkan, seperti pembangunan infrastruktur dan penuntasan tengkes (stunting). Selain pembangunan fisik, pembangunan karakter juga harus diperhatikan karena akan memengaruhi pandangan masyarakat tentang kebahagiaan.
Dalam perspektif kebijakan, pembangunan yang membahagiakan harus memandang manusia sebagai aset yang terus dikembangkan, dimudahkan hidupnya, ditingkatkan kualitasnya, dan bisa meneruskan nilai-nilai positif mereka untuk generasi berikutnya.
”Konsep kebahagiaan yang dikembangkan di Indonesia sejak dulu adalah adanya keseimbangan dan keselarasan,” tambahnya. Model ini juga mendorong kedermawanan masyarakat hingga mereka mudah membantu komunitasnya, bahkan orang yang tidak mereka kenal sekalipun. Masyarakat percaya, setiap investasi yang diberikan anggota masyarakat ke komunitas, hasilnya akan kembali ke mereka dalam berbagai bentuk.
Meski demikian, kebahagiaan kolektif rentan dimanipulasi oleh kepentingan elite dan pasar. Namun, menurut Nurhadi, itu justru menjadi tantangan untuk menumbuhkan kesadaran individu tentang makna bahagia sesungguhnya.
Di sisi lain, kebahagiaan masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh situasi sosial politik. Buruknya indeks persepsi korupsi, stagnasi indeks demokrasi, dan rendahnya indeks pembangunan gender bisa mengurangi kebahagiaan warga. Keterbelahan sosial dan politisasi agama hanya menimbulkan sikap saling curiga yang pada akhirnya bisa mengurangi kebahagiaan masyarakat.
”Tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mempraktikkan ajaran agama dan apatisme politik akibat perilaku pejabat negara yang tak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat juga bisa menurunkan kebahagiaan,” kata Nurhadi.
Kebahagiaan masyarakat juga dipengaruhi oleh struktur penduduk negara. Menurut Turro, sebagai negara dengan penduduk muda dan tengah berada di masa bonus demografi, maka kebahagiaan terkait material akan mendominasi. Sesuai perkembangannya, penduduk usia muda memiliki kebutuhan ekonomi yang besar. Belum lagi sebagai generasi sandwich, mereka juga harus menopang anggota keluarga yang lebih muda dan lebih tua.
Selain itu, saat ini hampir 60 persen penduduk Indonesia tinggal di kota. Kondisi itu mengancam nilai-nilai komunal dan meningkatnya individualitas hingga rentan mengurangi kebahagiaan masyarakat. Namun, Nurhadi optimistis situasi ini belum dihadapi Indonesia mengingat proses pengotaan yang ada banyak terjadi di Indonesia baru sebatas pengotaan fisik dan sarana, bukan pengotaan sosial.
Baca juga: Meski Dihantam Pandemi, Masyarakat Lebih Bahagia
Di tengah diskursus antara pembangunan ekonomi dan kebahagiaan itu, menurut Meiske, semua orang bisa bahagia, apa pun kondisinya. Dalam perspekstif personal, mereka yang berasal dari ekonomi kurang beruntung, tinggal di lingkungan kacau atau terisolasi, usia muda atau tua, tetap punya kesempatan yang sama untuk bahagia karena bahagia itu tidak ditentukan oleh lingkungan.
”Bahagia itu tidak ditentukan oleh ukuran dan standar kebahagiaan orang lain,” tambahnya.
Baca juga: Memahami Indeks Kebahagiaan
Dalam perspektif kebijakan, pembangunan yang membahagiakan harus memandang manusia sebagai aset yang terus dikembangkan, dimudahkan hidupnya, ditingkatkan kualitasnya, dan bisa meneruskan nilai-nilai positif mereka untuk generasi berikutnya. Jika proses pengembangan manusia itu berjalan, Meiske yakin berbagai aspek pembangunan yang positif akan terbentuk hingga menciptakan masyarakat yang sejahtera dan bahagia.