Kasus ini memberi pelajaran bahwa infrastruktur keuangan untuk industri digital sangat rapuh. Ketika terjadi kenaikan suku bunga bank, ternyata pendanaan juga ikut menghilang. Institusi keuangan tak kuat menopang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AFP/GETTY IMAGES/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/JUSTIN SULLIVAN
Sebuah truk lapis baja Brinks diparkir di depan kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) yang ditutup pada 10 Maret 2023 di Santa Clara, California, AS. SVB ditutup pada Jumat pagi oleh regulator California dan dikendalikan oleh Federal Deposit Insurance Corporation AS.
Kasus yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB) menjadi pelajaran berharga baik bagi industri keuangan maupun industri teknologi digital. SVB yang fokus memberikan pinjaman untuk perusahaan-perusahaan teknologi dan usaha rintisan (start up) sejak 1980-an kehabisan dana simpanan sehingga bank berukuran menengah ini tidak bisa dipertahankan untuk tetap bertahan sendiri. Situasi SVB ini mengguncang pasar global serta menyebabkan simpanan dan aset miliaran dollar AS milik perusahaan dan investor telantar.
Kasus ini merupakan kegagalan bank terbesar di Amerika Serikat sejak krisis keuangan sepuluh tahun lalu. Regulator perbankan Amerika Serikat buru-buru menyita aset SVB, Jumat (10/3/2023). SVB, bank terbesar ke-16 di AS, mengalami kegagalan setelah para deposan yang mayoritas pekerja perusahaan teknologi dan perusahaan dengan dukungan modal ventura mulai menarik uang mereka karena khawatir dengan kondisi bank itu (Kompas, 11/3/2023).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyatakan bahwa kasus ini tak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang memiliki kondisi yang kuat dan stabil. Namun, masalah yang menimpa SVB itu akan membuat investor lebih berhati-hati dalam mendanai usaha rintisan (Kompas, 13/3/2023).
Hingga kemarin masih banyak pihak yang menduga penyebab inti dari kasus SVB. Berbagai analisis itu belum memuaskan sejumlah kalangan. Salah satu sisi yang belum terungkap adalah sejauh mana faktor tata kelola (governance) menjadi penyebab keruntuhan bank ini. Di berbagai kasus kegagalan bank, masalah tata kelola memang menjadi penyebab yang tidak kecil peranannya.
Meski demikian, kita sudah bisa memetik beberapa pelajaran dari masalah ini. Kasus ini menyentuh dua sisi, yaitu industri keuangan dan industri teknologi digital. Oleh karena itu, ada yang menyebut SVB memiliki model bisnis yang berbeda sehingga membutuhkan pencermatan dan penanganan berbeda. Regulasi tentang operasi bank semacam ini belum memadai sehingga otoritas perlu mencermati secara detail hingga ditemukan pengawasan yang lebih tepat.
Dari sisi industri teknologi digital, kasus ini memberi pelajaran bahwa infrastruktur keuangan untuk industri ini ternyata masih sangat rapuh. Ketika terjadi kenaikan suku bunga bank, ternyata pendanaan juga ikut menghilang. Institusi keuangan yang harusnya menopang mereka ternyata tidak siap dan malah runtuh.
Bagi Indonesia, pelajaran yang bisa dipetik adalah, apakah potensi kasus seperti ini mungkin terjadi di Indonesia? Kecil kemungkinan kasus seperti ini di Indonesia. Setidaknya tidak ada model bisnis bank seperti SVB di Indonesia. Kita mungkin lebih menengok di perusahaan teknologi finansial (tekfin). Perhatian lebih perlu kita berikan pada 25 tekfin peer-to-peer lending dengan rasio kredit macet melebihi 5 persen.