Amar putusan hakim dalam kasus gugatan Partai Prima terhadap KPU, terkait pengabulan pelaksanaan putusan serta-merta, mengandung konsekuensi tidak mudah. Pelaksanaan putusan ini sangat mungkin menimbulkan ketidakpastian.
Oleh
UMAR MUBDI
·3 menit baca
Publik tersentak manakala mengetahui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (2/3/2023). Putusan a quo amatlah problematis. Khususnya ketika putusan a quo mengabulkan tuntutan penggugat untuk penundaan Pemilihan Umum 2024.
Artikel ini pada dasarnya akan mengulas putusan a quo dari beberapa aspek hukum acara perdata. Hal ini juga akan tiba pada area mengenai kewenangan absolut lembaga peradilan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Salah satu asas hukum yang krusial dalam hukum acara adalah res judicata pro veritate habetur (Ali, 2012). Asas tersebut mengandung kedalaman makna bahwa setiap putusan hakim yang dijatuhkan haruslah dianggap benar. Pengacualiannya adalah apabila ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya. Artinya, pada saat ini, putusan tersebut perlu tetap dihormati sebagai hal yang benar namun tak boleh tertutup dari penilaian kritis publik.
Sebagai konteks, Partai Prima menggugat KPU karena merasa dirugikan akibat kelalaian verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan KPU dalam rekapitulasi hasil verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu. Hal tersebut menyebabkan Partai Prima tidak dapat turut serta dalam Pemilu 2024. Partai Prima menggugat KPU dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata).
Dalam tuntutannya, Partai Prima antara lain (i) memohon agar KPU membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500.000.000 dan (ii) pemulihan kerugian imateriil dengan mewajibkan penundaan Pemilu 2024 selama kurang lebih dua tahun. Pada amar putusan, majelis hakim mengabulkan seluruh tuntutan Partai Prima sebagai penggugat.
Tiga catatan
Terkait dengan hal di atas, paling tidak ada tiga catatan penulis dalam perspektif hukum acara perdata. Pertama, persoalan terkait kewenangan (kompetensi) mengadili kasus a quo. Secara umum kewenangan mengadili terbagi ke dalam dua bentuk. Masing-masing adalah kewenangan absolut dan kewenangan relatif.
Kewenangan absolut dapat dipahami sebagai kewenangan sebuah badan pengadilan dalam memeriksa perkara tertentu yang sifatnya mutlak dan tidak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lainnya (Rasyid, 2015). Sedangkan kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah hukum atau yurisdiksi suatu pengadilan.
In casu a quo, pertimbangan hukum hakim menyatakan bahwa PN Jakarta Pusat berwenang secara absolut dalam memeriksa kasus tersebut. Alasannya adalah obyek sengketa tersebut lebih terletak pada KPU tidak melaksanakan sepenuhnya perintah dari amar putusan penyelesaian dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tertanggal 4 November 2022. Persoalannya sekarang adalah apakah tindakan mengkualifisir perbuatan melawan hukum ke dalam obyek sengketa tersebut telah tepat?
Menurut UU Pemilu sebagai lex specialis penyelesaian sengketa pemilu, pelaksanaan putusan Bawaslu wajib dilaksanakan oleh KPU yang pada umumnya dalam bentuk keputusan.
Padahal, menurut UU Pemilu sebagai lex specialis penyelesaian sengketa pemilu, pelaksanaan putusan Bawaslu wajib dilaksanakan oleh KPU yang pada umumnya dalam bentuk keputusan. Hal ihwal apakah keputusan KPU tersebut telah atau belum melaksanakan putusan Bawaslu sepenuhnya menjadi kewenangan absolut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apalagi, tindakan tidak melaksanakan putusan Bawaslu merupakan bagaian dari perbuatan melawan hukum oleh pemerintah.
Kedua, amar putusan yang menilai kerugian imateril pihak penggugat dikompensasi ke dalam penundaan Pemilu 2024 juga mengundang pertanyaan. Pertimbangan hakim untuk itu adalah para penggugat telah menderita kerugian terkait hak dan kepentingan Partai Prima untuk menjadi partai politik peserta pemilu.
Bagi yang belajar mengenai hukum acara perdata akan memahami bahwa kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran formil. Artinya, majelis hakim seharusnya tidak masuk ke dalam ranah materiil untuk menentukan apakah penggugat telah memenuhi syarat sebagai partai politik peserta pemilu. Sederhananya, garis demarkasi pembuktiannya ada pada apakah tergugat melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan Bawaslu RI.
Ketiga, amar putusan hakim terkait pengabulan pelaksanaan putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad) mengandung konsekuensi yang tidak mudah. Pelaksanaan putusan serta-merta artinya adalah putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi meskipun belum berkekuatan hukum tetap (Harahap, 2007).
Pelaksanaan putusan serta-merta akan sangat mungkin menimbulkan ketidakpastian. Sebagai contoh, putusan a quo telah dieksekusi kaitannya dengan pembayaran ganti rugi dan penundaan Pemilu 2024. Namun, di pengadilan tinggi menyusul adanya upaya banding, putusan a quo lalu dibatalkan. Konsekuensinya, harus ada pemulihan ke kondisi semula (restitutio ad integrum) dan hal tersebut sangat sulit diimplementasikan.
Lebih lanjut lagi, terdapat Surat Edaran Mahakamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 yang berisi pedoman agar hakim berhati-hati dalam memutus tuntutan mengenai putusan serta-merta. Rambu-rambunya antara lain hakim tidak menjatuhkan putusan serta-merta kecuali hanya untuk perkara gugatan dengan akta autentik, utang-piutang, sewa-menyewa, pembagian harta perkawinan, gugatan provisionil, gugatan berdasarkan putusan inkracht, dan sengketa mengenai bezit. Apabila mencermati syarat tersebut, casu a quo tidak satu pun memenuhi ketentuan putusan serta-merta.
Upaya hukum dan respon publik
Paling tidak masih tersedia upaya hukum banding terhadap putusan a quo untuk memperbaiki tiga catatan di atas. Pengadilan di tingkat banding sudah seharusnya melihat secara komperhensif dan mendetail obyek sengketa yang diajukan. Pada titik tertentu, Komisi Yudisial juga perlu mengerahkan pengawasannya agar proses penyelesaian perkara dapat berjalan secara independen dan imparsial.
Respon publik yang cepat dan kritis harus dianggap sebagai bagaian dari pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman. Sebab, kita tidak ingin cedera dan sikap abai terhadap hukum formil akan berakibat buruk pada demokrasi dan keadilan.
Umar Mubdi, Dosen Hukum Acara Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada