Fakta Sosial dan Hukum Hubungan Kerja PRT
Banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT membuktikan bahwa filosofi ”hubungan kekeluargaan” yang selama ini diagungkan dalam hubungan kerja PRT dan pemberi kerja justru menunjukkan kegagalan dalam memberikan pelindungan.
Ide tulisan Diah Irawaty bertajuk ”UU PPRT dan Indonesia Berkeadilan (Kompas, 22/2/2023) menarik dicermati. Artikel tersebut mengemukakan bahwa pengesahan RUU PPRT akan menjadi transformasi watak feodalisme masyarakat Indonesia menuju masyarakat egaliter.
Ada hal mendasar yang perlu diluruskan agar tak menjadi jebakan yang justru digunakan oleh fraksi- fraksi besar di DPR untuk menyandera RUU ini di Badan Musyawarah dan atau tergeletak saja di meja Ketua DPR.
Dalam artikel itu dinyatakan bahwa kita lebih memiliki keuntungan historis karena kita bersikap lebih manusiawi, antara lain dengan membolehkan pekerja rumah tangga (PRT) untuk tinggal satu rumah. Pernyataan ini bisa sangat menyesatkan.
Apalagi jika mengacu kepada konteks historis perbudakan di Indonesia pada era kolonial dan konteks sosialnya hingga saat ini. Dengan argumen terdapat ”nilai moral-budaya, kearifan lokal, dan aspek kekeluargaan” serta ”PRT berada di sektor informal”, PDI Perjuangan (PDI-P) dan Golkar menolak pengesahan RUU ini (pendapat Fraksi PDI-P dan Golkar pada rapat Baleg, Juli 2020).
Banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT membuktikan bahwa filosofi ”hubungan kekeluargaan” yang selama ini diagungkan dalam hubungan kerja PRT dan pemberi kerjanya justru menunjukkan kegagalan dalam memberikan pelindungan terhadap PRT.
Baca juga : UU PPRT dan Indonesia Berkeadilan
Kasus-kasus tersebut, juga yang terjadi pada PRT/TKW kita di luar negeri, menunjukkan adanya ketidakadilan struktural dalam hubungan kerja PRT dengan pemberi kerja. Perlindungan hukum adalah salah satu cara mendekonstruksi hubungan kekeluargaan yang sesungguhnya merupakan sebuah cara untuk melanggengkan hubungan yang menindas itu.
Adanya perlindungan hukum tidak otomatis menghilangkan aspek kekeluargaan di dalamnya. Slogan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) untuk RUU PPRT, ”Hapus Perbudakan Modern”, merepresentasikan kondisi menindas hubungan kerja PRT tersebut.
Dalam konteks sosio-historis era kolonial, khususnya saat perbudakan, adalah aktivitas perdagangan legal, maka PRT dan terutama perempuan PRT adalah kelompok paling rentan karena berada dalam lokus rumah tangga tertutup. Karena itu pula, PRT masuk dalam perlindungan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) 2004.
Fakta hukum hubungan kerja PRT
Argumen lain yang dikemukakan fraksi-fraksi besar itu, bahwa PRT adalah pekerja sektor informal yang tidak perlu diatur oleh negara. Argumen ini jelas sangat diskriminatif terhadap perempuan miskin mengingat bahwa sektor informal diokupasi oleh mayoritas pekerja perempuan.
Dikotomi sektor formal dan informal hanya cara ekonom membedakan kelompok usaha yang mendapat dukungan dan pelindungan negara dan kelompok usaha yang mandiri, tanpa dukungan apa pun. Oleh karena itu, dikotomi tersebut tidak relevan dijadikan argumen untuk menolak memberikan pelindungan hukum bagi PRT.
Pendapat ini juga bertentangan dengan definisi pekerja dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 1 Ayat 2 dan 3 UU ini tidak membedakan status pekerja berdasarkan lokasi tempat bekerja.
Setiap orang yang bekerja di bawah perintah untuk menghasilkan barang atau jasa dengan menerima upah masuk dalam pengertian pekerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015, meski lebih mengatur penyalur, juga telah menegaskan bahwa PRT adalah pekerja. Pengakuan ini sangat terlambat mengingat sejak zaman kolonial, berbagai peraturan telah dikeluarkan untuk memberikan status pekerja dan melindungi PRT.
Misalnya, Staatblad (Stb) 1825 Nomor 44, meski dibuat dalam konteks perbudakan, berisi larangan bagi budak yang sudah berkeluarga untuk tinggal di keluarga majikannya.
Argumen lain yang dikemukakan fraksi-fraksi besar itu, bahwa PRT adalah pekerja sektor informal yang tidak perlu diatur oleh negara.
Selain itu, pemilik budak wajib bertindak baik terhadap budaknya dan melarang menganiaya mereka. Jika terjadi penganiayaan, mereka dianggap melakukan kejahatan yang diancam pidana.
Ini berarti bahwa dalam aturan perbudakan pun terdapat kewajiban untuk tidak tinggal satu rumah dan wajib memperlakukan budak-budak itu dengan baik. Pada tahun 1879, dengan Stb Tahun 1879 Nomor 256, hubungan kerja PRT-pemberi kerja diatur dengan Pasal 1601-1603 KUHPerdata.
Hubungan perbudakan diganti dengan hubungan penyewaan pekerja rumah tangga dan pekerja-pekerja kasar. Hubungan kerja mereka didasarkan pada perjanjian dengan waktu tertentu. Meskipun demikian, watak kolonial peraturan ini sangat kental.
Misalnya, Pasal 1603 KUHP, pada pokoknya menyatakan bahwa dalam masa perjanjian kerja para pelayan (biasanya disebut babu/jongos) dan tukang tak boleh meninggalkan pekerjaan mereka dan sebaliknya mereka juga tak boleh diusir dari pekerjaan mereka.
Jika majikan mengusir mereka, upahnya wajib dibayarkan berikut ganti rugi selama enam minggu terhitung sejak mereka diusir. Dengan demikian jelaslah bahwa sejak zaman kolonial, meski aturan tersebut berpihak kepada pemberi kerja (majikan), status PRT telah memperoleh perlindungan hukum.
Hubungan kerja mereka adalah hubungan kerja kontraktual. Kontrak kerja harus memuat tentang besarnya upah, pembayaran upah tahun sebelumnya, uang muka yang harus dibayar, dan lamanya waktu perjanjian kerja.
Setelah kemerdekaan, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (UU P4), kasus-kasus antara PRT dan pemberi kerjanya diselesaikan melalui Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P).
Namun, sangat disayangkan, pada tahun 1959, P4P membuat keputusan yang menyatakan bahwa P4D/P tidak mengurus urusan PRT dan hanya menerima kasus-kasus dalam hubungan kerja formal-industrial (Sofiani, 2020).
Pengalaman penulis saat masih di LBH Jakarta ketika menangani kasus-kasus pemutusan hubungan kerja PRT yang bekerja di kedutaan-kedutaan atau orang asing, aturan-aturan dalam KUHPerdata dan UUP4 itu masih dapat digunakan.
Meski demikian, setidaknya terdapat dua peraturan daerah di DKI, Jawa Timur, dan Yogyakarta, yang telah mengatur hubungan kerja PRT dan pemberi kerja sebagai hubungan formal dan kontraktual, meski ketiganya lebih banyak mengatur tentang penyalur untuk kebutuhan retribusi kepada pemerintah daerah setempat.
Sekali lagi, kelompok PRT, sebagaimana juga TKW, telah dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai penambang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD/APBN) atau devisa negara.
Fakta hukum sejak zaman kolonial sampai masa merdeka sekarang ini jelas merupakan kontra-argumen terhadap pendapat bahwa PRT adalah pekerja sektor informal yang tidak perlu diatur oleh negara.
Artinya, sejak UU Ketenagakerjaan yang pertama setelah kemerdekaan, sampai saat ini, negara ini telah menetapkan bahwa PRT adalah pekerja. PRT kita yang bekerja di negara-negara yang mengakui PRT adalah pekerja (misalnya Hong Kong) memperoleh banyak keuntungan dengan adanya perlindungan hukum tersebut.
Perlindungan hukum itu tidak hanya melindungi PRT, tapi juga pemberi kerjanya. Keduanya dapat meminta pengadilan perburuhan untuk mengadili dan atau memediasi jika terjadi konflik kepentingan.
Artinya, sejak UU Ketenagakerjaan yang pertama setelah kemerdekaan, sampai saat ini, negara ini telah menetapkan bahwa PRT adalah pekerja.
”Quo vadis” DPR kita?
Sebagai wakil rakyat, seharusnya DPR mendengarkan suara rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS). Bersama fraksi pendukung, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, MUI, KUPI, mereka telah secara intensif mengampanyekan pengesahan RUU PPPRT.
Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD juga sudah meminta DPR agar RUU tersebut segera dibahas.
Para PRT juga sudah menulis surat kepada Ketua DPR Puan Maharani untuk segera menetapkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR dan membahasnya di panitia khusus.
Dukungan dari berbagai media massa juga telah diberikan. Kompas bahkan menempatkan aksi demo KMS di halaman pertamanya (2/2/2023 ).
Keengganan Fraksi PDI-P cukup mengherankan karena di awal justru ”partainya wong cilik” inilah bersama dengan P3 yang mempromosikan RUU ini hingga dibahas pada 2013.
Komisi IX bahkan telah melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina serta melakukan uji publik ke beberapa daerah, tentunya dengan anggaran yang besar.
Afrika Selatan adalah contoh yang baik bagi perlindungan PRT yang tentu dapat dijadikan contoh bagi perlindungan PRT kita. Negara tetangga, seperti Filipina, juga memiliki UU Perlindungan PRT yang cukup komprehensif.
Lalu sekarang, quo vadis fraksi-fraksi besar yang menolak atau menunda-nunda pengesahan RUU PPRT ini? Rasanya tidak patutlah, membuat PRT, yang juga telah memungkinkan para anggota DPR itu bisa bekerja dengan nyaman, dibiarkan menunggu sampai 19 tahun lamanya. Fakta sosial dan hukum yang telah disinggung di atas telah menggugurkan semua argumen fraksi-fraksi yang menolak untuk segera mengesahkan RUU PPRT tersebut.
Ratusan surat dari PRT pun telah dilayangkan, ratusan demo di depan Gedung DPR sudah dilakukan, bahkan dilaksanakan pada setiap hari Rabu. Quo vadis DPR? Mbak Puan, mengapa Anda bergeming dan diam seribu bahasa?
Nursyahbani Katjasungkana Ketua Pengurus Asosiasi LBH Indonesia