UU PPRT bukan hanya tentang perlindungan PRT, melainkan tentang Indonesia yang berkeadilan sosial. Di Indonesia, pekerja rumah tangga merupakan salah satu pekerjaan tradisional dan historikal. Sebuah jalan perubahan.
Oleh
DIAH IRAWATY
·3 menit baca
Pemerintah akhirnya menyampaikan dukungan terbuka pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Kita perlu menyambut serius dukungan ini agar RUU segera disahkan.
UU PPRT ini penting sebagai jalan transformasi sosial dari efek historis feodalisme dan kolonialisme yang masih kuat hingga kini, menuju Indonesia merdeka yang sesungguhnya, yang menempatkan keadilan dan egalitarianisme sebagai dasar utama berbangsa.
UU PPRT bukan hanya tentang perlindungan PRT, melainkan juga tentang Indonesia yang berkeadilan sosial. Di Indonesia, pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu pekerjaan tradisional dan historikal. Pandangan ini merujuk pada kenyataan PRT yang jadi bagian tradisi dan sejarah sosial-budaya masyarakat jauh sebelum kita menjadi Indonesia.
Dibandingkan beberapa negara lain yang memiliki sejarah perbudakan dan rasisme, dengan sejarah PRT, kita lebih memiliki keuntungan historis karena sejarah ini menyediakan fondasi historis bahwa sejak lama—dengan ukuran perikemanusiaan waktu itu—kita telah bersikap lebih ”manusiawi” saat berhubungan dengan pekerja dari kelas bawah seperti PRT.
Para majikan, baik dari lingkungan feodal maupun dari kolonial, tidak terlalu ”keberatan” untuk tinggal satu rumah bersama para PRT, sesuatu yang mustahil terjadi dalam sejarah perbudakan dan rasisme.
Namun, sejarah PRT yang melekat pada sejarah feodalisme dan berlanjut ke kolonialisme terus membebani kita untuk memosisikan PRT dan memandang statusnya dalam hierarki kelas sosial yang sangat kokoh. Dimensi historis hierarki kelas sosial yang melekat pada sejarah PRT mengalami naturalisasi dan normalisasi yang membuatnya terus bertahan bahkan hingga saat ini ketika feodalisme dan kolonialisme tidak lagi menjadi bagian resmi masyarakat kita.
Banyak pemberi kerja (employer) masih sangat senang bahkan menuntut disebut sebagai majikan (master/mistress) atau ndoro. Demikian juga masyarakat, yang juga lebih lentur menyebut employer dengan majikan, bukan pemberi kerja, dan PRT sebagai pembantu (servant), bukan pekerja.
Situasi sosial ini menjadi salah satu bentuk praktik dan artikulasi pandangan sejarah-budaya tentang hierarki sosial yang melekat pada PRT atas dasar feodalisme yang terus bertahan hingga kini.
Feodalisme (dan kolonialisme) sebagai sistem sosial menjadi tantangan terbesar dalam advokasi UU PPRT. Jika kita berhasil mengesahkan UU ini, satu fase transformasi dari feodalisme (dan kolonialisme) menuju Indonesia merdeka yang sesungguhnya, yang adil dan egaliter, akan bisa digapai.
Jalan perubahan
UU PPRT merupakan sebuah upaya rekonstruksi sejarah keindonesiaan (nation-state); UU PPRT bukan hanya tentang perlindungan bagi PRT, melainkan sebuah jalan perubahan Indonesia yang berkeadilan, yang lepas dari feodalisme. Bukan hal mudah untuk mengesahkan RUU PPRT di tengah attitude feodalisme yang masih kuat.
Dua hal, minimal, menjadi indikasi praktik dan paradigma feodalisme yang ”melegitimasi” hierarki sosial PRT. Pertama, perilaku ”ingin dilayani”, menikmati dilayani, atau seharusnya dilayani dalam hubungan PRT dan pemberi kerja. Kedua, kecenderungan mempekerjakan atau secara literal ”memiliki” (owning) PRT sebagai gaya hidup, jadi perwujudan status sosial di masyarakat modern, urban, metropolis. PRT jadi bagian dari artikulasi kekuasaan (power exercise) yang tak bisa dilepaskan dari paradigma dan ideologi feodalisme dan kolonialisme dan cara menunjukkan kelas sosial tertentu.
Keberhasilan pengalaman perjuangan kemerdekaan atas feodalisme dan kolonialisme pada 1945 yang membuat kita menjadi bangsa merdeka dan memperbaruinya melalui ”perjuangan kemerdekaan internal” gerakan reformasi 1998 perlu jadi sumber inspirasi sejarah perjuangan melakukan transformasi jadi bangsa yang menolak hierarki sosial berdasarkan status sosial dan pekerjaan.
UU PPRT merupakan sebuah upaya defeodalisasi dan dekolonialisasi, menyediakan tantangan bagi kita, manusia Indonesia ”modern”, untuk benar- benar lepas dari feodalisme sebagai sistem ketidakadilan yang menjadi dasar hierarki sosial.
Diah Irawaty,Kandidat PhD Antropologi, State University of New York; Peneliti Care Work dan Pekerja Rumah Tangga