Menanti Keamanan Pangan Hasil Perikanan
Sistem pemantauan dan pengendalian jaminan keamanan pangan hasil perikanan di Indonesia belum memadai. Namun upaya perbaikan, termasuk mengatasi masalah cemaran kimia dari formalin, tak kunjung tuntas dilakukan.
Liputan utama Kompas edisi 27 Februari 2023 mengulas tentang makanan yang tercemar tidak hanya berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, tetapi ternyata merugikan perekonomian nasional hingga Rp 205,5 triliun. Disorot pula penolakan ekspor hasil perikanan dan belum memadainya uji petik pangan untuk pasar domestik serta contoh kasus keracunan pangan.
Penolakan ekspor hasil perikanan Indonesia 2021 yang tercatat sebagai re-impor dari sisi nilai melonjak 332 persen dari tahun sebelumnya menjadi 26.591.460 dollar AS atau setara Rp 390 miliar. Kasus penolakan ekspor dari sisi volume melonjak fantastis, mencapai 534 persen, dari 1.459,25 ton menjadi 9.254,33 ton atau sekitar 462 kontainer 40 feet.
Jika kasus penolakan ekspor hasil perikanan meningkat, biasanya otoritas negara tujuan ekspor akan mengirimkan auditor untuk mengaudit menyeluruh sistem jaminan keamanan hasil perikanan. Ini dimulai dengan pemeriksaan legal basis hingga sejauh mana otoritas kompeten Indonesia melaksanakan pemantauan dan pengendalian rantai pasok perikanan dari hulu ke hilir.
Baca juga: Keamanan Pangan
Audit Rosselkhoznadzor dari Russia dan DG Sante dari Uni Eropa menilai sistem pemantauan dan pengendalian jaminan keamanan hasil perikanan yang dilakukan otoritas kompeten Indonesia tidak memadai (insufficient). Akibatnya Indonesia dikenakan sanksi moratorium approval number (nomor registrasi), artinya tidak diizinkan mengajukan approval number baru.
Sanksi tersebut masih diberlakukan akibat belum tuntasnya perbaikan yang diminta negara mitra, sehingga menghambat ekspor hasil perikanan ke kedua negara tersebut. Belum tuntasnya perbaikan oleh otoritas kompeten Indonesia mencerminkan tidak adanya sense of urgency dalam upaya mengatasi masalah keamanan pangan hasil perikanan.
Air dan es
Liputan Kompas juga menyoroti kasus keracunan pangan di Malang yang menjadi biang keladi konon kandungan nitrit dalam air untuk memasak nasi. Air merupakan elemen yang sangat penting bagi keamanan pangan karena semua produk pangan memerlukan air dalam proses produksi. Air yang bersentuhan langsung dengan produk harus layak minum (potable water). Air juga digunakan untuk sanitasi peralatan produksi.
Ironisnya di banyak sentra produksi perikanan, persyaratan kualitas air belum memenuhi persyaratan air minum, bahkan pasokan volume air yang dibutuhkan tidak mencukupi. Unit pengolahan ikan harus memiliki siasat membeli dari luar area dan harus swadaya memasang filter pengolah air agar memenuhi persyaratan kesehatan.
Jika Indonesia sudah menandatangani persetujuan kesetaraan bersama (mutual recognition agreement) dengan negara mitra tujuan ekspor hasil perikanan. Karena itu, persyaratan air yang layak minum dan persyaratan lainnya ini harus dituangkan dalam peraturan nasional agar harmonis dengan peraturan di negara mitra.
Produk perikanan sifatnya perishable (mudah busuk) sehingga rantai dingin merupakan hal yang krusial untuk menjaga kualitas dan keamanan pangan.
Produk perikanan sifatnya perishable (mudah busuk) sehingga rantai dingin merupakan hal yang krusial untuk menjaga kualitas dan keamanan pangan. Termasuk es yang digunakan mulai dari ikan ditangkap atau dipanen sampai didistribusikan ke tangan konsumen harus memenuhi persyaratan kesehatan karena es juga bersentuhan langsung dengan produk perikanan.
Air untuk memproduksi es jika tidak memenuhi persyaratan kesehatan, maka kontaminasi silang akan terjadi dan menyebabkan produk perikanan tercemar. Oleh karena itu, air dan es harus menjadi prioritas utama yang sangat krusial yang harus diperbaiki kualitasnya.
Keamanan pangan hasil perikanan juga tidak terlepas dari kasus keracunan pangan akibat terkontaminasi cemaran fisik, kimia, dan biologi. Di pasar domestik, cemaran kimia yang berasal dari bahan tambahan berbahaya seperti formalin ironisnya tidak pernah tuntas. Sesuai peraturan, bahan tambahan berbahaya tidak dijual bebas dan dibatasi peredarannya. Namun penyalahgunaan formalin dan bahan tambahan yang berbahaya lain masih saja ditemukan dalam produk pangan.
Penegakan hukum penyalahgunaan formalin selama ini bersifat sporadis di hilir dalam bentuk razia sewaktu-waktu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga tidak menyentuh akar permasalahannya. Upaya survei dan razia selama ini tidak mampu menghentikan penyalahgunaan bahan tambahan yang berbahaya seperti formalin. Masyarakat sesungguhnya sudah geram dengan penyalahgunaan formalin dan zat berbahaya lainnya karena membahayakan kesehatan.
Pemerintah seharusnya lebih serius melakukan kontrol yang sangat ketat kepada bahan tambahan yang berbahaya tersebut dengan cara mewajibkan produsen maupun importir bahan tambahan yang berbahaya untuk menambahkan perasa pahit bitrex (denatonium benzoate) atau extract brotowali. Biaya pengawasannya jauh lebih efektif dan lebih murah dibanding dengan razia yang sporadis di hilir.
Baca juga: Ditolak di Luar Negeri, Tak Dijamin Keamanannya di Dalam Negeri
Kewajiban importir dan produsen formalin menambahkan perasa pahit pada formalin akan sangat efektif karena menjangkau seluruh jenis pangan termasuk ikan, mi basah, tahu, ayam segar, dan pangan lainnya akan terbebas dari masalah zat tambahan berbahaya. Namun upaya ini tentu memerlukan payung hukum untuk memberikan sanksi yang berat kepada importir dan produsen formalin jika tidak menambahkan perasa pahit pada formalinnya.
Penambahan rasa pahit pada formalin akan membuat jera para penggunanya termasuk nelayan, pedagang karena konsumen tidak akan menyukai rasa pahit. Pemantauan ketat di sisi hulu sekaligus akan meringankan beban BPOM dan aparat penegak hukum dalam upaya mencegah penyalahgunaan bahan tambahan yang berbahaya. Ini ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, penyalahgunaan bahan tambahan (additive) yang berbahaya dapat dihentikan tuntas sekaligus menghemat anggaran negara.
Selain cemaran bahan tambahan yang berbahaya, ada pula cemaran lain seperti histamine yang kandungannya melampaui batas maksimum yang diperbolehkan. Scromboid toxin secara alami terkandung dalam ikan scrombridae family, contohnya ikan tuna, cakalang, tongkol, makarel. Jika terjadi penyimpangan suhu ikan melampaui 4,4 derajat celcius setelah ikan mati dalam waktu kumulatif tertentu cemaran histamine akan terbentuk.
Pada kebanyakan kasus keracunan, jumlah kandungan histamine yang dapat menyebabkan penyakit adalah di atas 200 ppm (200 mg/1.000 gr), namun dampak toksiknya akan berbeda terhadap orang yang sensitif terhadap ikan. Keracunan histamine dapat menyebabkan gatal-gatal, bibir bengkak, mual, muntah, kejang bahkan kematian. Untuk melindungi konsumen dari keracunan histamine, Amerika menetapkan kadar histamine maksimum 50 ppm, sementara untuk Uni Eropa maksimum 100 ppm, sedangkan standar nasional Indonesia (SNI) menetapkan 100 ppm (mg/kg).
Alasan penolakan produk perikanan Indonesia di Amerika Serikat 88 persen didominasi salmonella dan filthy, sisanya histamine, mislabeling, dan listeria (2021). Filthy bukan berarti kotor, tetapi terkait dengan tingkat kesegaran yang buruk (decomposed). Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (US Centers for Disease Control and Prevention) mencatat 1,35 juta orang sakit akibat salmonella, 26.500 orang dirawat di rumah sakit, dan 420 orang meninggal setiap tahun sehingga salmonella merupakan cemaran yang disoroti di Amerika.
Alasan penolakan produk perikanan Indonesia di Amerika Serikat 88 persen didominasi salmonella dan filthy, sisanya histamine, mislabeling, dan listeria (2021).
Upaya mengendalikan keamanan pangan ekspor maupun pasar domestik tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya yang serius dari semua pihak melakukan pencegahan di hulu yang menjadi sumber penyebab kasus keracunan akibat cemaran pangan yang berbahaya. Kasus penolakan ekspor hasil perikanan Indonesia di negara tujuan utama dapat diakses siapa pun, di lain pihak kita masih kesulitan untuk mencari informasi rinci produk pangan impor yang berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan ditolak masuk oleh otoritas kompeten Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia seharusnya mampu memasok bahan baku ke unit pengolahan ikan dari hasil penangkapan ikan nasional. Namun ironisnya pengambil kebijakan lebih memilih impor terbukti impor hasil perikanan cenderung meningkat. Pada 2022 nilai impor ikan melonjak fantastis sebesar 82,44 persen, bahkan dari sisi volume impor ikan melonjak 77,57 persen. Lonjakan impor ikan di sisi lain harus diwaspadai, tidak tertutup kemungkinan terjadinya kasus pencemaran ikan impor yang membahayakan konsumen.
Otoritas kompeten Indonesia seharusnya meniru sistem pengawasan produk impor hasil perikanan yang dilakukan oleh negara lain agar ada pengawasan yang setara (equal treatment). Sistem peringatan cepat (rapid alert system) keamanan pangan harus segera dibuat oleh otoritas kompeten yang tujuannya untuk melindungi konsumen Indonesia. Oleh karena itu informasi jenis produk pangan yang berbahaya bagi kesehatan baik produk pangan impor yang ditolak dan yang ditarik dari pasaran harus dibuka kepada publik.
Baca juga: Risiko Makanan Tercemar yang Diabaikan
Masalah keamanan pangan nasional sudah saatnya ditangani serius. Hasil perikanan merupakan salah satu sumber protein yang penting untuk menekan tengkes (stunting). Namun, jangan sampai asupan pangan hasil perikanan malah menimbulkan penyakit dan membahayakan jiwa generasi masa depan bangsa. Lembaga pengendalian dan pencegahan untuk pelindungan konsumen perlu diperkuat peran dan kapasitasnya.
Keamanan pangan hasil perikanan di dalam negeri harus lebih ditingkatkan untuk melindungi konsumen sehingga pengawasannya harus setara dengan pengawasan untuk pasar ekspor. Kasus penolakan ekspor hasil perikanan harus diminimalkan, aksi perbaikan pemantauan dan pengendalian keamanan pangan harus segera dituntaskan untuk mengakhiri sanksi moratorium approval number. Semoga semua pihak semakin sadar dan lebih serius terhadap pelindungan konsumen dan tidak lalai dalam menjaga keamanan pangan dalam negeri sendiri.
Hendra Sugandhi, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)