Setelah setahun berlangsung perang Rusia-Ukraina, tak ada kuasa apa pun di dunia yang mampu membawa kedua pihak ke meja perundingan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dunia masih belum aman. Konflik bersenjata yang terjadi setahun terakhir masih berkecamuk di Ukraina. Kebutuhan persenjataan dan bisnis alutsista pun melonjak.
Kebutuhan itu tidak hanya untuk menunjang konflik di Ukraina, tetapi juga untuk negara lain yang merasakan ada ancaman sehingga perlu memperkuat diri dengan menambah atau memutakhirkan peralatan utama sistem persenjataan (alutsista) dan sistem pertahanannya.
Seperti kita baca di harian ini, Selasa (28/2/2023), hal ini dibuktikan, antara lain, dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga di sejumlah pabrik senjata. Perusahaan Perancis, Thales, misalnya, berencana merekrut lebih dari 12.000 karyawan tahun ini. Dari jumlah itu, 5.500 orang akan bekerja di Perancis dan lainnya di sejumlah negara.
Padahal, Thales berada di urutan ke-16 di antara produsen alutsista. Masih ada raksasa Amerika Serikat (AS), Lockheed Martin, di urutan teratas, lalu Raytheon, Boeing, dan Northrop Grumman. AS bisa dikatakan masih merupakan negara produsen mesin perang paling terkemuka di dunia.
Dengan kondisi dunia yang kembali dikuasai alam pikir geopolitik, dengan opsi perang atau konflik bersenjata, sebagai pilihan manakala negosiasi gagal, kondisi seperti diuraikan itu tampak masuk akal.
Alutsista canggih kian mahal karena merupakan produk riset teknologi dan sains yang membutuhkan dana besar. Hal ini mau tak mau juga diikuti dengan meningkatnya anggaran belanja pertahanan. Perancis, seperti dinyatakan Presiden Emmanuel Macron, Januari lalu, akan menaikkan anggaran pertahanan lebih dari sepertiganya pada tahun mendatang.
Dipicu kondisi keamanan yang kurang kondusif di wilayah Asia-Pasifik, negara di kawasan ini mau tak mau juga merasa perlu mempertimbangkan peningkatan kemampuan militernya. Meski pertimbangan itu masuk akal, pemerintahan di banyak negara juga menyadari bahwa kondisi perekonomian tidak sedang baik-baik saja, bahkan ancaman resesi global masih terus membayangi dunia.
Pilihan ”pedang versus bajak”, antara kemampuan militer dan kesejahteraan ini, senantiasa dihadapi negara di berbagai belahan dunia. Tatkala keberlangsungan eksistensi negara jadi taruhan, negara tidak punya pilihan lain, kecuali sekuat tenaga meningkatkan kemampuan pertahanan.
Hal ini kita akui memprihatinkan, tetapi faktanya tata kelola dunia tidak, atau belum, mampu mencegah pecahnya konflik. Perang Ukraina adalah contoh yang paling mutakhir.
Kita lebih prihatin lagi, setelah setahun berlangsung, tak ada kuasa apa pun di dunia yang mampu membawa pihak bertikai ke meja perundingan dan mengakhiri perang yang tidak saja menyengsarakan rakyat Ukraina, tetapi juga mengguncangkan rantai pasok global, yang akibatnya dirasakan oleh negara yang secara geografis jauh dengan wilayah konflik.
Atas dasar itu, berita tentang meningkatnya industri alutsista tidak bisa dipandang dan dimaknai dari sisi permukaan semata, tetapi perlu kita renungkan implikasi lebih jauhnya.