”Quo Vadis” Bank Digital?
Kesuksesan bank-bank digital ditentukan oleh banyak faktor, antara lain akses ekosistem digital, kemampuan teknologi, pilihan manajemen, dan arah kebijakan regulasi.

Seorang nasabah sedang bertransaksi menggunakan aplikasi Bank Raya. Bank Raya adalah bank digital bagian dari BRI Group
Bank digital adalah bank yang memanfaatkan teknologi digital secara intensif, tidak mengandalkan jaringan cabang seperti umumnya bank-bank tradisional. Bank digital digadang-gadang sebagai terobosan dunia perbankan.
Di Indonesia, fenomena ini dimulai dengan bank Artos yang diubah menjadi bank Jago oleh Jerry Ng. Hal ini segera menjadi tren. CT Corp mengakuisisi Bank Harda menjadi Allo Bank, Sea Group (pemilik Shopee) mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi menjadi SeaBank, dan Akulaku mengubah Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce.
Grab dan Emtek pun berpatungan mengakuisisi bank Fama untuk diubah menjadi bank digital. Bank-bank besar pun tak ketinggalan. BRI mereposisi BRI Agro menjadi Bank Raya, BCA mengakuisisi Bank Royal menjadi BCA Digital, dan BNI berniat menjadikan Bank Mayora sebagai bank digital mereka.
Kinerja saham bank-bank digital sempat sangat fantastis. Pada Januari 2022, Bank Jago pernah mencapai kapitalisasi pasar Rp 260 triliun dan menjadi emiten terbesar peringkat ke-5. Namun, saat ini kapitalisasi Bank Jago anjlok 85 persen dari puncaknya menjadi hanya sekitar Rp 40 triliun.
Mirip dengan Bank Jago, kapitalisasi Bank Raya turun 84 persen menjadi Rp 10,5 triliun. Kapitalisasi Allo Bank turun 80 persen menjadi Rp 35 triliun dan Bank Neo Commerce melorot 76 persen menjadi hanya Rp 8 triliun.
Salah satu faktor sukses bank digital adalah akses ke ekosistem digital.

Seorang warga sedang berjalan melewati logo Bank Jago.
Membaca arah
Quo vadis bank digital? Ke mana arah nasib bank-bank digital?
Salah satu faktor sukses bank digital adalah akses ke ekosistem digital. Ini tidak berbeda dengan zaman dulu ketika hampir semua konglomerat memiliki bank masing-masing. Salim memiliki BCA, Lippo memiliki Lippo Bank, Sinar Mas memiliki BII, dan CT memiliki Bank Mega. Bank-bank tersebut menjadi sumber dana murah bagi kelompok usahanya dan sebaliknya mereka juga memanfaatkan captive bisnis kelompok usahanya.
Di era digital, strateginya mirip. Bank Jago berharap bisa mengeksploitasi ekosistem GoTo. Allo Bank menggarap bisnis CT Corp. BNC memanfaatkan basis pengguna Akulaku, SeaBank berfokus pada ekosistem Shopee. Adapun ekosistem Grab dan Emtek dipersiapkan untuk digarap oleh Bank Fama. Bedanya, cara menggarapnya lebih berfokus pada pendekatan business to consumer (B2C) serta dilakukan secara digital dengan pengalaman pengguna (user experience) yang lebih terpadu dengan proses bisnis di sektor riil.
Kepemilikan dan akses terhadap ekosistem digital yang eksklusif memungkinkan bank digital menekan biaya akuisisi nasabah untuk mendapatkan dana murah, sekaligus untuk menyalurkan kredit dan layanan lainnya. Derajat eksklusivitas terhadap ekosistem digital akan memengaruhi keberhasilan suatu bank digital. Misalnya, akses Bank Jago terhadap ekosistem GoTo yang tidak seeksklusif akses Seabank terhadap Shopee atau akses BNC terhadap Akulaku membuatnya kurang optimal dalam menggarapnya.
Sementara itu, bank digital yang dimiliki kelompok usaha yang sudah memiliki bank tradisional punya tantangan tersendiri. Bank Raya harus bersaing dengan BRI dalam memanfaatkan ekosistem BRI. Allo Bank harus berbagi ekosistem CT Corp dengan Mega, BCA Digital berbagi segmen dengan BCA, dan nantinya Bank Mayora harus berbagi dengan BNI. Tanpa konsesi yang jelas, bank-bank digital tersebut akan sulit berkembang.
Baca Juga: Menghadapi Kejahatan Transaksi Keuangan Digital

Akulaku merupakan salah satu aplikasi yang menawarkan kredit dengan persyaratan yang mudah.
Kemampuan digital
Faktor kemampuan teknologi digital jelas memegang peranan penting. Bank digital yang dimiliki kelompok usaha pemain digital, seperti Seabank, BNC, serta Grab dan Emtek, akan mendapatkan keuntungan karena kemampuan teknologi digital yang dimiliki oleh induknya. Sebaliknya, bank digital yang dimiliki bank tradisional atau kelompok usaha yang bukan digital harus mau berinvestasi untuk membangun kemampuan teknologi digital yang kuat jika ingin berhasil.
Faktor manajemen bank juga amat menentukan. Bank digital yang induknya punya bank tradisional, cenderung mengimpor personel manajemen dari bank tradisionalnya. Risikonya, budaya bank tradisional yang cenderung konservatif dan birokratis akan terbawa ke bank digital. Niatnya jadi bank digital, tetapi jalan pemikiran dan ”tingkah laku” tetap konvensional.
Bank digital yang dimiliki induk digital cenderung memasang manajemen lebih agresif. Seyogianya ada keseimbangan antara kehati-hatian dan progresivitas manajemen.
Sebaliknya bank digital yang dimiliki induk digital cenderung memasang manajemen lebih agresif. Seyogianya ada keseimbangan antara kehati-hatian dan progresivitas manajemen. Unsur kehati-hatian bisa diperoleh dari orang perbankan yang berpengalaman, sedangkan progresivitas didapat dari kalangan muda di dunia teknologi finansial (fintech) atau digital lain.
Visi dan selera pemegang saham pengendali juga penting. Jika mereka hanya mementingkan keuntungan jangka pendek, akan sulit untuk berinvestasi dengan sehat. Sebaliknya, jika terlalu berani, misalnya sampai bakar duit berlebihan, bisa berakibat fatal. Investasi modal seharusnya dipakai untuk membangun kapabilitas, bukan sekadar membeli pangsa pasar.
Baca Juga: Memahami Wacana Digital Rupiah

Faktor lain yang memengaruhi kesuksesan bank digital, tetapi belum terlalu jelas, adalah regulasi. Dengan disahkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), apakah bank-bank digital akan tetap diatur dan diawasi seperti halnya bank-bank tradisional di bawah Kepala Eksekutif Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau pindah ke bawah pengawasan Kepala Eksekutif Teknologi Finansial? Apakah OJK akan mengeluarkan aturan-aturan yang spesifik untuk bank digital?
Arah kebijakan ini akan memengaruhi probabilitas kesuksesan bank-bank digital secara relatif terhadap bank-bank tradisional. Jika diatur dan diawasi secara spesifik dan dibedakan dari perbankan tradisional, perbankan digital berpotensi lebih cepat berkembang. Sebaliknya, jika disamakan, perkembangannya cenderung tidak optimal karena terbebani aturan tradisional yang kurang sesuai dengan dunia digital.
Jika diatur dan diawasi secara spesifik dan dibedakan dari perbankan tradisional, perbankan digital berpotensi lebih cepat berkembang.
Satu faktor lagi yang tidak boleh dilupakan adalah kenyataan bahwa bank-bank tradisional juga bertransformasi. Mereka meng-upgrade proses bisnis mereka supaya menjadi lebih digital. Mobile banking mereka juga menjadi lebih modern. Untuk beberapa tahun ke depan, bank-bank tradisional tersebut dapat memanfaatkan jaringan cabang mereka dengan didukung kanal digital yang semakin modern.
Jika bank-bank digital tidak segera memanfaatkan efisiensi biaya dan memberikan pengalaman nasabah yang lebih baik, bank-bank tradisional yang sudah melakukan transformasi digital akan bisa membuat value proposition bank digital menjadi komoditas dan tidak relevan lagi.
Kesuksesan bank-bank digital ditentukan banyak faktor, antara lain akses ekosistem digital, kemampuan teknologi, pilihan manajemen, dan arah kebijakan regulasi. Rasanya masih terlalu awal untuk menjawab pertanyaan quo vadis bank digital.
*Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society