Jika AA Navis (1924-2003) dalam cerpennya ”Robohnya Surau Kami” (1956) menyampaikan suatu kritik sosial atas situasi masa itu, maka hari-hari ini kritik sosial yang senapas dengan pemikiran beliau menjadi aktual lagi. Jangan-jangan yang roboh kali ini bukan surau, melainkan hati nurani kami.
Berita-berita tentang pelecehan seksual yang terjadi di lembaga keagamaan di Tanah Air dilakukan pengasuh lembaga itu sendiri, masih susul-menyusul diberitakan.
Pembacokan, pengeroyokan yang berdampak kematian, pembunuhan berantai, pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, penyiksaan asisten rumah tangga, penghancuran mobil karena alasan sepele, seperti tidak habis-habisnya terjadi di Indonesia. Itu yang diberitakan, belum lagi yang tidak masuk pemberitaan.
Pertanyaannya, ”Fenomena apa yang sedang terjadi di sekeliling kita di Indonesia, sekarang?” Kelihatannya ada orang-orang Indonesia yang tidak punya atau telah kehilangan hati nurani.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hati nurani didefinisikan sebagai: hati yang telah mendapat cahaya Tuhan, perasaan hati yang murni dan sedalam-dalamnya, dan lubuk hati yang paling dalam.
Dari definisi itu jelas bahwa pelaku-pelaku tindak amoral dan kekerasan tersebut adalah orang-orang yang hatinya belum mendapat cahaya dari Tuhan, khususnya para pengasuh lembaga keagamaan. Orang-orang yang perasaan hatinya kotor dan dangkal, lubuk hatinya juga dangkal atau bahkan tidak punya lubuk hati.
Membaca cerpen ”Robohnya Surau Kami” dan merefleksikannya pada situasi sekarang, dapat disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan dan moral baru sebatas pada hal-hal yang bersifat ritual dan kognitif semata. Tidak menyentuh hati anak didik secara afektif, maknawi, yang kemudian mendorong mereka bekerja dan melakukan kebaikan untuk sesama.
Hati nurani atau perasaan hati yang murni tidak terbentuk atau tidak terasah baik. Perlu banyak ”Ajo Sidi” yang menyuarakan kritik sosial-religi yang menyadarkan orang Indonesia bahwa beragama itu tidak sekadar menampilkan atribut fisik dan taat beribadah secara ritual, tetapi juga membangkitkan dan mengasah hati nurani sehingga mendapat cahaya Tuhan.
Idiom Islam, ”habluminallah dan habluminannas”, dan idiom Kristen, ”cintailah Tuhanmu dengan segenap hatimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”, kiranya dapat diterapkan dengan segenap hati oleh orang Indonesia.
Gunawan SuryomurcitoPondok Indah. Jakarta 12310