Transisi Energi di Perdesaan
Ribuan Desa Mandiri Energi dan orang-orang desa yang telah memanfaatkan potensi lokal dalam sumber-sumber energi terbarukan memberi jawaban bahwa transisi energi adalah sebuah keniscayaan.

Januari lalu, Universitas Parahyangan, Bandung, menyelenggarakan seminar tentang kesiapan Indonesia melakukan transisi energi. Semua narasumber sepakat bahwa atas nama perubahan iklim, penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil sudah harus ditinggalkan, beralih ke sumber-sumber energi terbarukan.
Berbagai upaya dan kebijakan diarahkan untuk mendorong peralihan tersebut. Bank Indonesia dengan rancangan program pembiayaan hijau, misalnya, akan memberikan insentif bagi para calon debitor yang mendukung penggunaan energi terbarukan.
Di Indonesia, secara umum produk energi diperlukan untuk tiga keperluan, yakni kelistrikan, mobilitas moda transportasi, dan memasak. Pengelompokan ini tidak bersifat kaku, sebab bisa saja kegiatan memasak dan transportasi menggunakan energi listrik.
Namun, sebagian besar rumah tangga di Indonesia tidak menggunakan listrik untuk memasak. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tahun 2021 sebesar 83,36 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan elpiji untuk memasak. Begitu pula dengan moda transportasi, mobilitasnya sebagian besar menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun menunjukkan, 64 persen listrik di Indonesia dihasilkan dari batubara (tahun 2020). Lengkaplah dominasi sumber energi fosil dalam peta energi kita. Sekitar 87 persen energi di Indonesia berasal dari bahan bakar fosil. Atas nama mitigasi perubahan iklim dan ketahanan energi, Indonesia harus melakukan upaya nyata untuk melakukan transisi energi, menjauh dari bahan bakar fosil.
Lengkaplah dominasi sumber energi fosil dalam peta energi kita. Sekitar 87 persen energi di Indonesia berasal dari bahan bakar fosil.
Berita baiknya adalah jika kita menengok sumber-sumber energi yang digunakan di wilayah perdesaan Indonesia, transisi energi telah dan sedang terjadi. Pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan tidak hanya sebagai pembangkit listrik di perdesaan seperti pernah saya tulis di kolom ini (”Energi-energi Terbarukan untuk Desa”, Kompas, 5 Juli 2022), tetapi juga untuk kebutuhan di luar itu.
Baca juga : Renewable Energy for Villages
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F24%2F20201124WEN15_1606197271_jpg.jpg)
Warga melintasi tiang-tiang kincir angin laboratorium pembangkit listrik tenaga bayu di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/11/2020). Penggunaan energi bersih saat ini menjadi tuntutan bersamaan dengan menguatnya isu perubahan iklim.
Desa Mandiri Energi
Desa Mandiri Energi (DME) adalah sebuah program pemerintah yang diluncurkan pertama kali pada tahun 2007. Sebuah desa disebut sebagai DME jika minimal 60 persen kebutuhan energinya dapat disediakan secara mandiri di desa tersebut dengan mengandalkan sumber energi terbarukan. Ketika itu, Desa Tanjungharjo di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, dijadikan percontohan. Penduduk Desa Tanjungharjo diharapkan dapat menggunakan minyak jarak hasil tanaman mereka sebagai sumber energi, terutama untuk keperluan memasak.
Sayangnya, program DME ini gagal. Petani yang telanjur berharap menikmati hasil dari penjualan jarak yang ditanamnya harus menelan kekecewaan karena harga jual hasil tanaman itu jauh di bawah harapan mereka. Konon, pabrik minyak jarak juga tidak sempat beroperasi.
Kegagalan DME versi awal tak menyurutkan upaya desa-desa lain untuk menggali potensi sumber energi di daerah masing-masing. Di seluruh Nusantara, kisah tentang desa-desa mandiri energi atau orang-orang desa yang memanfaatkan sumber energi terbarukan mudah ditemukan.
Pemanfaatan gas rawa juga dilakukan oleh penduduk Desa Rajek di Kabupaten Grobogan, bahkan sejak tahun 2013. Penduduk Desa Sukorejo di Kabupaten Sragen memanfaatkan biogas dari kotoran sapi ternak mereka sebagai sumber energi.
Desa Bantar di Kabupaten Banjarnegara melakukan transisi energi dari elpiji ke gas rawa (biogenic shallow gas). Tahun 2020, Dinas ESDM Jawa Tengah membangun instalasi gas rawa di desa tersebut dan kini ada 100 rumah tangga yang mendapatkan manfaat dari sumber energi tersebut. Pemanfaatan gas rawa juga dilakukan oleh penduduk Desa Rajek di Kabupaten Grobogan, bahkan sejak tahun 2013.
Penduduk Desa Sukorejo di Kabupaten Sragen memanfaatkan biogas dari kotoran sapi ternak mereka sebagai sumber energi. Bukan suatu kebetulan jika desa-desa yang saya sebutkan tadi semuanya berada di Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi Jateng menyatakan, ada 2.353 DME yang menggunakan sumber-sumber energi terbarukan di wilayahnya
Meski demikian, bukan berarti transisi energi tidak terjadi di wilayah lain. Di Sumedang, Jawa Barat, penduduk Dusun Giriharja, Desa Kebonjati, memanfaatkan biogas yang diolah dari limbah tahu. Di Pasuruan, Jawa Timur, ada Desa Balunganyar yang penduduknya memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan biogas untuk sumber energinya.
Baca juga : Pembangunan Desa Berkelanjutan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F03%2F13%2F6e27c8e9-b6fb-4793-9af3-c4bcfd1bcb53_jpg.jpg)
Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/2/2021). Sebagian besar dari 48 kincir angin yang dibangun pada 2013 lalu itu hingga kini masih berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekitar.
Di luar Jawa, pemanfaatan air sebagai pembangkit listrik skala mikro juga banyak dilakukan. Warga Desa Kamanggih di Nusa Tenggara Timur dan Desa Batanguru di Sulawesi Selatan mendapat aliran listrik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Daftar DME akan sangat panjang jika dilanjutkan, berjumlah ribuan, tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Sumber energi lokal
Ada beberapa kesamaan dari kisah-kisah DME di seluruh Indonesia. Pertama, semua DME mengandalkan sumber energi lokal yang bersifat terbarukan. Semangat menggali potensi sumber-sumber daya lokal untuk pemenuhan kebutuhan energi secara mandiri pantas dijadikan contoh. Transisi energi seharusnya memang beralih ke sumber energi yang tersedia berlimpah di dalam negeri, bukan hasil impor, sekalipun itu sumber energi terbarukan.
Kedua, DME memberikan contoh pengadaan energi yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Bahkan, di banyak kasus, pengelolaan dalam pemanfaatan energi juga berbasis komunitas. Mereka secara bersama-sama mengelola keberlanjutan DME secara mandiri. Skema ini memiliki sisi positif, yaitu meningkatkan kedaulatan penduduk desa dalam memenuhi kebutuhan energi mereka.
Transisi energi seharusnya memang beralih ke sumber energi yang tersedia berlimpah di dalam negeri, bukan hasil impor, sekalipun itu sumber energi terbarukan.
Ketiga, DME terwujud sebagai hasil gotong royong atau kolaborasi berbagai pihak. Orang-orang desa, dengan bantuan berbagai pihak (institusi bisnis swasta, lembaga-lembaga nirlaba, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah), mampu memanfaatkan potensi sumber-sumber energi lokal dan menjadikan penduduk desa mandiri dan berdaulat atas pasokan energi yang dibutuhkan.
Kemandirian dan kedaulatan energi penting untuk mencapai ketahanan energi. Aspek penting yang harus diperhatikan Indonesia sebagai alasan perlunya transisi energi, selain alasan perubahan iklim. Ribuan Desa Mandiri Energi dan orang-orang desa yang telah memanfaatkan potensi lokal dalam sumber-sumber energi terbarukan memberi jawaban bahwa transisi energi adalah sebuah keniscayaan.