Desa Wadas dan Desa Batu Kerbau menguji komitmen para pengambil kebijakan atas penerapan konsep pembangunan berkelanjutan.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Permintaan warga agar aparat ditarik dari Desa Wadas banyak diserukan lewat poster-poster dan spanduk yang terpasang di berbagai sudut Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, seperti terlihat pada Senin (14/2/2022).
Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dan Batu Kerbau di Kabupaten Bungo, Jambi, adalah dua desa yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini. Dua desa itu menguji komitmen para pengambil kebijakan atas penerapan konsep pembangunan berkelanjutan.
Peristiwa yang terjadi di dua desa itu juga berkaitan dengan sektor ekonomi yang sama: kegiatan penambangan, sektor yang paling menantang dalam upaya menerapkan pembangunan berkelanjutan.
Sejak diperkenalkan oleh Brundtland Commission tahun 1987, konsep pembangunan berkelanjutan seolah menjadi mantra bagi perumus kebijakan dan pengambil keputusan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi-generasi yang akan datang (Brundtland Commission, ”Our Common Future”, 1987).
Ada tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan ekonomi (pemenuhan kebutuhan), kelestarian lingkungan (keberlanjutan pemenuhan kebutuhan untuk generasi yang akan datang), dan keadilan sosial (dalam satu generasi yang sama dan antargenerasi). Pembangunan berkelanjutan diharapkan mampu memberikan kesejahteraan ekonomi, menjamin kelestarian ekologis, dan mendorong keadilan sosial pada generasi saat ini dan generasi-generasi selanjutnya.
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan menjanjikan win-win situation antara pihak yang pro-pertumbuhan ekonomi dan pihak yang pro-kelestarian lingkungan serta keadilan sosial. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ekonomi diupayakan juga mendorong upaya melestarikan alam, sekaligus memperbaiki distribusi pendapatan.
Pembangunan berkelanjutan diharapkan mampu memberikan kesejahteraan ekonomi, menjamin kelestarian ekologis, dan mendorong keadilan sosial pada generasi saat ini dan generasi-generasi selanjutnya.
Double dividend antara upaya peningkatan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan bisa ditemukan di beberapa sektor, salah satunya eco-tourism. Secara logis, alam dan lingkungan yang lestari adalah modal dalam kegiatan eco-tourism. Upaya mempertahankan kelestarian dan keasrian alam berarti menjaga modal demi keberlanjutan usaha ”bisnis” pelakunya.
Dalam beberapa kasus, praksis pertanian organik juga menjanjikan double dividend. Produktivitas sawah organik lebih tinggi dibandingkan sawah konvensional. Harga beras organik juga lebih mahal dibandingkan beras non-organik.
Namun, tidak semua sektor ekonomi ”seberuntung” eco-tourism dan pertanian padi organik. Penambangan adalah salah satu sektor yang tidak beruntung itu.
Wadas dan Batu Kerbau
Rencana pembangunan Bendungan Bener yang akan mengambil batu andesit hasil penambangan di Desa Wadas menuai pro-kontra. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa bendungan diperlukan untuk mengamankan pasokan air, bukan untuk Desa Wadas, tetapi untuk wilayah hilir yang lebih luas.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Bermacam mural berisi penolakan rencana penambangan batu andesit dibuat di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (10/2/2022).
Pihak yang menolak memiliki argumen bahwa penambangan andesit berpotensi merusak lingkungan Wadas. Risiko kerusakan lingkungan antara lain hilangnya bentang alam akibat penambangan terbuka di area seluas 145 hektar serta potensi longsor. Selain itu juga hilangnya 28 sumber mata air yang bisa berakibat kekeringan serta hilangnya pertanian, sumber mata pencarian utama warga desa.
Cerita Batu Kerbau sedikit berbeda. Penambangan emas tanpa izin (PETI) sudah beroperasi di hulu Sungai Batang Pelepat sejak beberapa tahun yang lalu. Pencemaran logam berat telah menyebabkan lenyapnya beberapa lubuk larangan, tempat warga setempat mengelola sumber daya ikan secara lestari.
Dua puluh tahun yang lalu ketika saya berkunjung ke Batu Kerbau, tantangannya berbeda. Sebagian warganya menggantungkan kehidupan mereka sebagai penebang kayu di hutan (logger). Hidup di desa terpencil, menjadi petani karet dianggap tidak memberikan hasil sebaik menjadi penebang kayu yang dimodali tauke.
Kembali ke jalan lurus
Wadas dan Batu Kerbau adalah contoh sulitnya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Kegiatan penambangan (terbuka) hampir dipastikan akan mengubah bentang alam. Penambangan emas secara tradisional di Batu Kerbau menambah masalah karena adanya pencemaran merkuri pada lingkungan sekitar.
Untuk mengurangi gesekan, semua pihak terkait atau para stakeholders harus bertemu, termasuk ahli perencanaan wilayah dan ahli lingkungan, untuk kembali berdiskusi. Konsep pembangunan berkelanjutan dijadikan pedoman.
Menutup PETI di Batu Kerbau akan menimbulkan gejolak. Membatalkan proyek Bendungan Bener akan mengubah banyak rencana proyek lain. Untuk mengurangi gesekan, semua pihak terkait atau para stakeholders harus bertemu, termasuk ahli perencanaan wilayah dan ahli lingkungan, untuk kembali berdiskusi. Konsep pembangunan berkelanjutan dijadikan pedoman.
Dalam kasus Batu Kerbau, selain mengatasi pencemaran logam berat, harus dicari alternatif penambangan yang lebih ramah lingkungan. Selain masalah lingkungan, perlu pula memastikan hasil kegiatan penambangan dinikmati oleh warga lokal. Pengamatan dua puluh tahun lalu, warga desa yang terlibat pembalakan hutan justru makin banyak utangnya ke tauke.
Dalam kasus Wadas, perlu diskusi terbuka, dengan semangat kesetaraan. Sulit? Pasti, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Saya hargai upaya Gubernur Jawa Tengah yang menemui warga Desa Wadas. Awal yang baik, tinggal dilanjutkan oleh pejabat-pejabat lain untuk mewadahi semua kepentingan secara seimbang: ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial.
Bulan Maret tidak hanya identik dengan Earth Hour. Paling tidak ada tiga hari peringatan lain yang berkaitan dengan kelestarian alam: World Wildlife Day, World Forestry Day, dan World Water Day.
Semoga hari-hari peringatan tersebut mengingatkan semua pihak untuk kembali pada komitmen penerapan pembangunan berkelanjutan untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah perdesaan.