Harapan terhadap Kepengurusan PSSI yang Baru
Penting bagi PSSI memiliki peta jalan prestasi yang jelas dan terukur, serta kekompakan di tubuh internal PSSI, juga penegakan etika. Pelanggaran etika dan sportivitas akan berdampak pada kredibilitas dan kemajuan PSSI.
Pada 16 Februari 2023, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI akan menyelenggarakan kongres luar biasa.
Mencermati bahwa di dalamnya melekat frasa luar biasa, sangat wajar jika pada KLB PSSI 2023 ini ada harapan kemendesakan untuk melakukan pembenahan, perubahan, dan bahkan perombakan, baik menyangkut visi, misi, perangkat nilai (values), maupun personel yang akan menduduki struktur organisasi PSSI pada masa bakti 2023-2027.
Banyak pihak berharap organisasi yang lebih tua ketimbang republik ini memiliki peta jalan prestasi yang jelas dan terukur bagi sepak bola Indonesia. PSSI ke depan diharapkan menjadi organisasi yang efektif, efisien; dan adanya rasa memiliki dari masyarakat serta membanggakan bangsa di pentas dunia.
Lewat tulisan ini, penulis menitipkan empat harapan besar untuk kepengurusan PSSI periode 2023-2027.
Baca juga: Tidak Digaji, Mengapa Jabatan Ketua Umum PSSI Begitu “Seksi”?
Kohesivitas yang positif
Harapan pertama menyangkut ”kekompakan” di tubuh internal PSSI (group cohesiveness). Kohesivitas kepengurusan mestinya ditandai oleh kepuasan di antara anggota pengurus yang dilandasi rasa saling menghormati (mutual respect) dan saling percaya (mutual trust).
Kohesivitas positif akan menjaga keeratan (to cleave) dan kebersamaan (to stick together) di antara anggota pengurus. Meski demikian, perlu dicatat kepaduan kelompok yang berlebihan dapat menimbulkan fenomena group-think.
Dalam kondisi kohesivitas negatif, anggota atau pengurus bisa saja resistan terhadap perubahan atau pembaruan.
Pembaruan malahan dianggap mengganggu keharmonisan kelompok dan zona nyaman. Group-think akan mengembangkan ”sensor” yang memilah informasi, pendapat, dan nilai mana saja yang sejalan dengan beberapa oknum di organisasi. Ujungnya, gejala group-think di suatu organisasi merupakan faktor penghambat kemajuan dan perkembangan organisasi.
Baca juga: Runtuhkan "Lingkaran Setan" Penyebab Akar Masalah PSSI
Situasi ini akan menciptakan riak kecil, yang disebut ”klik”, yakni kelompok kecil tanpa struktur formal. Klik atau kubu-kubuan terbentuk karena ketidakpuasan, perlakuan diskriminatif, sikap favoritisme, dan pengambinghitaman. Situasi ini perlu diwaspadai karena sangat berpotensi memfitnah, merongrong, bahkan menyabotase. Singkatnya, klik merupakan ”duri dalam daging”.
Kohesivitas organisasi tak berarti organisasi adem-ayem saja karena konflik pasti akan terjadi. Konflik harus dikelola karena organisasi yang hanya mengutamakan keharmonisan hanya akan menghasilkan keluaran yang sifatnya kontraproduktif. Sebab, anggota organisasi takut berbuat salah atau mengambil risiko, kompromistis, apatis, dan tak mau berkompetisi secara sehat dengan sesama rekan kerja.
Penulis menaruh harapan besar, pimpinan PSSI ke depan mampu mengembangkan kohesivitas organisasi yang positif, apa pun gaya kepemimpinan yang akan diambilnya nanti.
Organisasi pembelajar
Philip Guedalla (1889-1944), seorang sejarawan dan esais, seorang pop kultur asal Inggris, pernah menyatakan L’histoire se repete, sejarah mengulang dirinya sendiri. Berbagai peristiwa yang terjadi saat ini biasanya memiliki preferensi dengan peristiwa di masa lalu.
Manusia memiliki kemampuan belajar untuk bisa melakukan antisipasi, analisis, atau apa pun bentuknya demi kehidupan yang lebih baik, dengan belajar dari hikmah atau refleksi dari suatu peristiwa.
Banyak pihak berharap organisasi yang lebih tua ketimbang republik ini memiliki peta jalan prestasi yang jelas dan terukur bagi sepak bola Indonesia.
Organisasi juga menghadapi berbagai perubahan yang cepat, tiba-tiba, tidak terantisipasi, dan sukar diramalkan dampaknya (disruptive changes). Organisasi dituntut memfasilitasi anggotanya untuk mengembangkan organisasi pembelajar (learning organization). Menjadi pembelajar yang mampu mengenali risiko, mampu memecahkan masalah yang lebih baik, dan mengelola konflik (Tobin, 1993 dalam Budihardjo, 2014).
PSSI sudah mengalami begitu banyak peristiwa yang menyebabkan prestasi sepak bola kita seperti jalan di tempat.
Dibandingkan tetangga ASEAN, prestasi sepak bola kita sudah beda kelas. Sudah sewajarnya PSSI harus menciptakan ”pembelajaran adaptif”, selain ”budaya pembelajaran” dalam organisasi. ntinya tidak membiarkan kesalahan yang sama berulang kali terjadi karena hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama.
Pengurus baru harus membuka diri belajar dari berbagai sumber, seperti pengalaman, keberhasilan, dan kegagalan sendiri ataupun organisasi lain.
Wujud nyata program organisasi pembelajar, antara lain, (1) sertifikasi wasit sampai kelas FIFA, (2) sertifikasi pelatih yang bisa melatih di klub negara lain, (3) coaching clinic dengan mendatangkan pakar sport science. Selain itu, (4) memfasilitasi pemain untuk bisa mendapatkan menit bermain di klub luar negeri. Menyediakan berbagai alat bantu pembelajaran, seperti pemusatan latihan yang modern dan terkoneksi dengan aneka data yang diperlukan bagi pemantauan prestasi, kebugaran fisik, dan kesiapan psikologis dan mental.
Peta jalan prestasi
Pada tahun 1970-an, prestasi Jepang di Asia tidak lebih baik ketimbang Indonesia, apalagi olahraga ini waktu itu tidaklah sepopuler sumo dan bisbol.
Indonesia, lewat Liga Sepak Bola Utama (Galatama) yang digulirkan pada 1979, menjadi pionir liga profesional yang pertama di Benua Asia. Dari beberapa catatan, delegasi Jepang pernah berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari kompetisi semiprofesional Galatama. Pada tahun 1993, J-League profesional dijalankan sebagai bagian dari ”rencana 100 tahun sepak bola Jepang”.
Disiplin, persistensi, dan konsistensi menjalankan peta jalan dan perbaikan yang berkelanjutan dinilai sebagai salah satu faktor pemicu munculnya bibit-bibit unggul pesepak bola Jepang saat ini.
Bagaimana dengan PSSI sejauh ini? Setiap ganti kepengurusan selalu dicanangkan minimal kita juara SEA Games dan AFF, hasilnya? Sudah 31 tahun sejak 1991 kita tidak pernah juara SEA Games dan PSSI memegang rekor runner up terbanyak di kejuaraan AFF.
Menjadi penting untuk PSSI agar ”penetapan sasaran” (goal setting) dilandasi kesungguhan, kedisiplinan, dan keberlanjutan program, seperti halnya di Jepang dan Korea Selatan yang kini selalu jadi pelanggan Piala Dunia, bahkan di Piala Dunia Qatar 2022, keduanya lolos sampai 16 besar.
Diajukannya harapan ini tidak dimaksudkan menggurui pengurus PSSI karena anggota pengurus hasil KLB adalah individu-individu yang kompeten dan berpengalaman luas dalam berorganisasi, tetapi sekadar masukan dan penyegaran.
Penetapan sasaran diawali oleh perumusan keinginan dan tujuan secara definitif atau pasti.
Penetapan sasaran diawali oleh perumusan keinginan dan tujuan secara definitif atau pasti. Dalam penentuan keinginan dan tujuan ini hendaknya tidak bersifat umum, seperti ”Meningkatkan kinerja organisasi” atau ”Menjadi organisasi pembaru”. Apa, mengapa, bagaimana, tujuan organisasi pembaru perlu dirumuskan secara jelas.
Faktor penyebab kegagalan dalam penetapan sasaran adalah sasaran yang tidak spesifik, sasaran terlalu banyak, sasaran tidak terukur, dan sasaran tidak dipantau, serta munculnya gejala demotivasi dalam melaksanakan sasaran.
Untuk menghindari atau meminimalkan kegagalan di atas, dapat dirujuk formula SMART yang merupakan kependekan dari S=specific, M=measurable, A=action oriented, R=realistic, dan T=timely.
Dengan menggunakan formula SMART dalam penetapan sasaran ini, selanjutnya PSSI bisa merumuskan indikator keberhasilan kinerja (key performance indicator) dari program kerja yang diterapkan.
Misalnya, ”Pada tahun 2023 dilakukan sertifikasi 50 wasit nasional”. Rumusan ini jelas spesifik (sertifikasi wasit), terukur (50 wasit) berorientasi tindakan (melaksanakan sertifikasi), redistik (50 wasit, bukan 100), dan merujuk waktu tertentu (tahun 2023).
Etika dan nilai sportivitas
Prioritas ketiga adalah penegakan etika yang selama ini dilupakan, bahkan diabaikan, tak hanya di bidang olahraga, tetapi juga bidang kehidupan lain, seperti pendidikan (penyuapan penerimaan siswa), pemerintahan (bupati korupsi), politik (politikus memfitnah/ menyebarkan hoaks).
Di bidang olahraga terjadi pelanggaran sportsmanship dan fair-play, seperti pengaturan skor, penyuapan, dan perjudian. Mengapa perlu program penegakan etika olahraga pada pemangku kepentingan olahraga? Jawabannya, jika pelanggaran etika ”dihalalkan”, bahkan pengurus terlibat dalam tindakan yang mencoreng olahraga, akan berdampak pada kredibilitas lembaga kepengurusan dan kemajuan olahraga di Indonesia.
Mengapa perlu program penegakan etika olahraga pada pemangku kepentingan olahraga?
Perekrutan dan seleksi anggota pengurus PSSI mestinya tidak lagi semata-mata berdasarkan pengalaman, kompetensi, dan komitmen, tetapi yang paling penting rekam jejak yang bersangkutan dalam hal ”integritas diri” (memegang prinsip, teguh dan taat asas dalam menghadapi ajakan atau godaan untuk melanggar aturan).
Menanamkan integritas ini tidak hanya berlaku bagi anggota pengurus, tetapi juga hendaknya diberlakukan bagi pelatih, pemain, anggota tim kepelatihan, dan wasit, serta anggota masyarakat yang berniat merusak dunia olahraga (penyuap, pengatur skor, dan tidak peduli pada etika).
Besar harapan penulis, empat hal di atas dijadikan masukan dan bahan pertimbangan dalam KLB PSSI 2023. Penulis meyakini PSSI akan menjadi organisasi tertib, profesional, modern, dengan integritas pengurus yang tinggi. Semuanya ini demi kemajuan persepakbolaan pada umumnya dan kejayaan kesebelasan sepak bola Indonesia di tingkat regional dan internasional.
Enoch Markum,Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dewan Pembina Ikatan Psikologi Olahraga